Adji Subela
http://www.sinarharapan.co.id/
Kira-kira, ini menurut perkiraanku sendiri, ada sekitar empat puluh orang pria yang bermata merah api berkilat-kilat, beramai-ramai menyeret tanpa ampun seorang pria tua renta lewat jalan berbatu gigi tajam. Uap kemarahan mengepul dari gerombolan yang bagai iblis telah merat dari neraka paling celaka itu. Sang Kakek telah menampik permintaan mereka. Cuma satu permintaannya, yaitu dia hendaknya menjadi raja mereka!
?Bodoh! Dungu! Pikun! Absurd!? teriak, jerit ataupun lolongan orang-orang yang biadab tak terkira-kirakan tadi. Kakek tersebut cuma mengulas senyum geli dibalut seringai dan geliat-geliat badannya yang terantuk-antuk bebatuan jalan. Mungkin siksaan itu telah menjelma menjadi nikmat bagi dirinya. Tak ada masa untuk bertanya padanya.
Napas para pria neraka pun mulai tersengal-sengal, mendengus-dengus, terlihat tenaganya mulai lolos meluncur lumat ketika mereka mendaki bukit terjal di ujung jalan berbatuan, dihela rasa benci berbuih-buih. Hanya sisa-sisa nafsu kemarahan berkobar yang mendorongnya terus hingga ke puncak bukit.
Bukit ini terletak di pinggiran kota. Jika engkau berdiri dan menghadap ke utara, kau akan menyaksikan gelombang bukit-bukit kecil gersang-tandus, meliuk-liuk ditingkahi semak-semak coklat tak berdaya. Hutan di sana sudah tandas mereka babati. Kayunya dijual ke tengkulak, ke tauke dan siapa saja yang berani membayarnya. Dan para pencuri, kampiun penjarah kayu itu menabur-naburkan rejekinya kepada para pejabat, atau siapa saja yang mereka takuti. Maka orang-orang oportunis menakuti mereka dengan setumpuk buku hukum dan segepok peraturan dan terkadang senjata-senjata. Lalu dengan itu kaum oportunis mendapatkan penghasilan selain jadi pejabat resmi. Rumah, atau tepatnya dangau para pria bermata api itu menyembul sesekali di bebukitan, seperti budak kecil malu-malu kucing mengintip dari balik pagar. Mereka tak pernah menjadi kaya. Pencurian dan kekayaan sungguh dua masalah yang berbeda tapi bisa menyatu dalam tubuh seorang bajingan tengik.
?Pak Tua, kami sudah berbaik hati. Lihatlah, kami sudah angkat engkau ke kursi kemuliaan. Ketika orang berebut-rebut posisi raja, dan bahkan menjarahnya, kau tolak kebaikan hati kami!? kata seseorang yang tampaknya paling tua di antaranya.
?Sudah aku katakan dengan kerongkonganku sendiri, aku tak mau jadi raja. Titik. Tak ada lagi koma, tapi langsung ke T…I….T…I…K!!!!? jelasnya lagi, masih dengan senyum anehnya.
?Kek, bukankah enak engkau jadi raja kami? Engkau akan disembah-sembah orang, dihormati, ditakuti, dan dimanja-manjakan orang?? tanya yang lain.
?Oh, tidak, tidak. Apakah enak menjadi raja kalian? Sama sekali tidak. Ketika aku sudah jadi raja, maka kalian akan berpura-pura menyembahku, membikin orang lain takut kepadaku, dan mengobar-ngobarkan kemuliaanku ke mana-mana agar orang di segala sudut bumi takluk kepadaku. Lalu apa? Kalian akan manfaatkan ketakutan itu untuk kebuasan nafsu kalian sendiri. Atas nama siapa? Atas nama raja yang mulia!!? jawab Kakek, kini lalu ketawa terkikik-kikik.
?Lantas apa lagi?? sambungnya, ?Kalian menyembah-nyembah aku agar aku bekerja keras dan memberi kalian kemurahan hati kehidupan. Kau menyembah dan aku memberimu anugerah. Dasar manusia bermental budak.?
?Sejarah selalu berulang-ulang. Kalian adalah budak-budak. Bermental buruk. Menengadahlah lalu tangan kalian ke atas atas sekepal nasi dan untuk itu kalian mau menyembah-nyembah rajamu. Lalu rajamu akan penuhi rongga kemalasan dalam tubuhmu sebagai pemuas loba hatinya akan keagungan semu. Ia jadi pongah dan bertingkah bagai Tuhan atas kalian dan seluruh isi alam. Ia boleh berbuat semau-maunya, karena kalian diam untuk kemudian meniru berbuat apa saja juga. Cuiiiiiih! Untuk apa menjadi raja seperti itu? Dan apa guna kawula seperti kalian??
Para pria bermata merah api itu mengunci mulut masing-masing, tapi satu dua di antaranya menyiapkan sebuah tiang gantungan yang kukuh. Di ujung bagian atas tiang itu dibuat sebuah penopang, di mana tali rami besar telah disiapkannya. Satu ujung tali itu disimpul sedemikian rupa hingga ketika leher dimasukkan ke dalamnya, akan sulit untuk dilepaskan kembali. Kemudian bila badan korban didorongkan ke depan, maka kakinya terlepas dari pijakan kayu yang sempit dan seketika jeratan tali rami besar itu akan mencekiknya. Bukan hanya itu saja. Segera sesudahnya, simpul tali akan mematahkan batang leher si korban sehingga batang otaknya pun ikut terputus dan tentulah tak ada lagi manusia normal yang akan bisa hidup. Nyawanya akan terbang hanya dalam beberapa detik saja. Untuk itulah segala ricuh-ricuh itu dimaksudkan: Menggantung seorang kakek renta yang menolak menjadi raja! Si tua yang sungguh gila, edan, absurd, sinting, pandir atau goblok itu.
?Siap?? teriak seorang pria berbadan kecil, kurus, berwajah tikus.
?Tali telah siap!?
?Hai, kakek renta. Tunjukkan sekali lagi kebodohanmu. Kenapa engkau menolak kami angkat menjadi raja. Ini kata terakhir, dan sesudahnya, bila kau tolak, maka simpul tali itu segera menelanmu.?
Orang tua itu pelan-pelan duduk di tanah. Ia menghela napasnya panjang-panjang.
?Orang-orang bodoh, katakanlah kenapa kalian memaksaku menjadi raja?? ucap si renta itu kemudian.
?Engkau harus menjadi raja, karena kami semuanya menghendaki engkau menjadi raja,? jawab seseorang di balik kerumunan, ?kami berbudi mulia sehingga menghargai dan memuliakan orang tua semacam engkau ini. Kami semuanya punya niat luhur yang harus kau hargai juga. Hargailah kami. Tidakkah engkau malu pada dirimu sendiri bahwa kau telah menampik kebaikan budi orang-orang yang baik seperti kami??
?Telah jatuh wangsit dari langit, bahwa engkaulah yang harus menjadi raja. Bukan orang lain,? kata seseorang yang lain lagi.
?Manusia-manusia bodoh. Pilihlah raja yang masih muda dan kuat badannya,? ejek si Kakek Tua renta itu dengan nada amat merendahkan.
?Tidak, kami perlu orang tua seperti kamu. Orang setua kamu adalah paling bijaksana dari sekalian manusia.?
?Orang-orang bodoh, munafik. Kalian menghendakiku karena aku sudah tua, segera mati dan karena aku nanti akan cepat mati, maka kalian terbebas dari hukuman. Segala rupa korupsi yang kalian lakukan akan kalian timpakan kepada mayatku dan hukum tak akan mampu menjamahku lagi. Kalaupun hartaku disita, hanyalah tertinggal sebuah dangau kecil, tikar lusuh dan sejumlah buku usang.?
?Diam kau! Dasar bodoh, tua, dungu!? hardik pria yang tangannya telah menghitam karena memompai minyak dari sumur-sumur yang tak terjaga.
?Kalian telah mencecap kejahatan kolosal dan spektakuler, orang-orang muda! Kalianlah bagawan curi-mencuri dan satria pemangsa sesama, sekaligus paria budi nurani. Pepatahmu merdu mendendang: Jadilah kau pencuri sebesar-sebesar pencuri sampai semua orang takut dan takluk dan mengakui kaulah pahlawan mereka.?
Kakek Tua itu terbatuk-batuk, dadanya tersengal-sengal menangkis napasnya yang kini mulai terputus-putus. Dahaknya terlompat keluar dan terdapat di situ titik-titik berdarah. Angin kini mengembus. Suatu kejadian yang jarang muncul. Panas matahari di sana selalu memanggang apa saja. Tak peduli apa saja. Dan angin tak pernah membelanya. Angin adalah angin dan panas matahari adalah panas surya. Tapi kini ada panas matahari dan ada angin. Sesuatu yang istimewa.
Kepulan debu tanah kuning-coklat mulai mengambur-ambur menyesakkan dada. Sesakan dada ini semakin membuat pria-pria itu memuncak amarahnya. Matanya kian memerah dan dada mereka kian menggemuruh gegap-gempita, napasnya kian memburu. Emosinya kini semakin merasuki dan menendang akal budi mereka keluar dari dada serta tempurung kepalanya.
?Gantung dia, gantuuuuuuuuuuuuunggg…..,? teriak seorang pria dengan kerasnya hingga kemudian jatuh pingsan di bawah sebatang pohon kemiri.
?Bunuuuuuuhhhh….bunuh dia sekarang jugaaaaa…jangan tunggguuuuuu….,? pekik yang lain lagi.
?Begini saudara-saudara. Janganlah ia dibunuh dengan cara kejam. Kita ini manusia yang baik budi dan berperasaan halus. Dengan kata lain kita ini berbudaya tinggi. Ia memang harus mati, tapi hendaknyalah dengan cara terhormat dan tidak terlalu menyakitkan, sehingga dapat membuatnya sengsara…..,? kata seorang pria dengan lagak sebagai pengkhotbah.
?Omong kosong! Ia telah mengkhianati kita! Telah menolak budi baik kita untuk menjadikannya raja. Ia telah menghina kita bulat-bulat tanpa rasa malu!?
?Harusnya dia dihukum picis, kita iris-iris badannya lalu kita tuangi lukanya dengan cuka enau! Itu setimpal!?
?Tapi saudara-saudara, digantung itu lebih dramatik. Praktik ini sudah dilakukan berabad-abad yang lalu oleh bangsa-bangsa beradab. Hukuman picis akan memberi stigma kepada kita bahwa kita ini orang barbar. Orang yang haus darah. Itu jangan sampai terjadi. Kita hukum dia dengan elegan.?
?Kalau begitu kita tembak saja dia, biar cepat mampus,? kata lelaki berperawakan kurus kering dan kulitnya menghitam.
?Bodoh! Memiliki senjata api tanpa izin itu dilarang, tolol! Itu melanggar hukum!? ini kata seorang bermata elang yang sejak awal berdiam diri.
?Aha, hukum apa yang tidak kalian langgar?? kata si Kakek Tua menyahut.
?Kalian membabati hutan, mencuri barang-barang perusahaan kayu, perusahaan minyak dan menjarahi ikan, meracuni sungai-sungai……,? lanjut si Kakek.
?Oho, kami tidak mencuri cuma meminta bagian atas hak-hak kami…..,?
?Secara hukum? Ha…ha…ha….,? tawa sang Kakek yang lalu terhenti ketika tubuhnya diangkat agar berdiri lalu ia didorong mendekati tali gantungan. Tubuhnya diangkat lagi agar dia berdiri di pijakan kayu. Ia kini dapat melihat punggung-punggung bukit yang tandus dan semak-semak meranggas itu dari lingkaran tali penggantung. Tali itu sebentar bergoyang ke kiri dan ke kanan.
?Ayo, tunggu apalagi, gantung saja, gantung saja……?
?Sebentar…… kita harus menghormati orang yang hendak menuju ke ajalnya. Ia harus kita tanya apa permintaan terakhirnya, kecuali satu yaitu: Membebaskannya dari hukuman gantung,? kata si ?pengkhotbah?.
?Hai, kakek, apa permintaan terakhirmu? Cukup satu saja dan jangan minta pengampunan. Itu tak mungkin lagi.?
?Jangan khawatir, permintaanku hanya satu: Perliharalah hutan kita, jagalah perusahaan minyak yang telah memberi kita kekayaan, bersihkan sungai dari polusi, kalian berhentilah menjadi perampok halus maupun kasar, nyata maupun tersembunyi dan didiklah anak-cucu kalian agar menjadi pandai dan ulet lantas mulailah bekerja dengan halal hingga ada produksi yang kalian hasilkan, jangan bermental pengemis atau bermental calo………,? kata si Kakek Tua dengan tenangnya.
……..hahaha ….hahaha….hahaha….lucu…lucu… macam pelawak saja dia…. hahaha…hahaha… itu ucapan orang yang mau mati saja………sok jadi filsuf….hahaha….hahaha…..hahaha…….prrrreettt (?Aduh, kurang ajar aku sampai..ehhh…?) …hahaha …..hahaha…..(?Cepatlah kau pergi ke kali di bawah sana, kau busuk menjijikkan?) …hahaha…hahaha…………………….
Tonggak kayu kecil yang dijadikan sebagai tempat berpijak si Kakek Tua tiba-tiba ditendang oleh seseorang dari belakang. Seketika tubuh Kakek itu tersentak ke bawah dengan hebat dan sebentar kemudian, matanya melotot, wajahnya merah padam dan lidahnya melelet menjulur ke luar, dan kotoran pun ke luar.
….hahaha ….hahaha…..ucapan orang tua bodoh……hahaha ….mana dia mau mati lagi…..lucu sekali jadinya…..kenapa ia tidak kita jadikan pelawak saja kalau dia menolak jadi raja….hahaha….kalau begitu jangan dibunuh dulu………biarkan ia mengoceh supaya tambah lucu…hahaha…..hahaha…..hahaha…..setuju, setuju……..
?TERLAMBAT! Kakek itu telah mati tergantung!!!?
Semuanya diam seketika! Mereka heran, siapa gerangan yang mendahului mengeksekusi Kakek Tua itu di luar perintah resmi.
Kesunyian tiba-tiba itu lalu terpecah lagi, ketika seseorang berteriak-teriak dari bawah bukit. Seorang lelaki muda terengah-engah datang mendekati kerumunan pria itu dengan napas megap-megap.
?Tolong jangan bunuh dulu Kakek Tua itu!? Teriaknya.
?Kenapa rupanya??
?Dialah orang yang tahu di mana tumpukan emas lantakan yang dikumpulkan tentara Jepang dulu disembunyikan!? katanya disela sengal-sengal dada.
?Kenapa repot? Kita geledah gubuknya!?
?Percuma! Peta itu tampaknya telah dihafalkannya lalu perkamennya mungkin saja telah dibakar habis. Kulihat abunya ada di gubuk dia.?
?Kenapa tak kau sampaikan dulu-dulu??
?Aku pun baru tahu tadi, setelah kubaca buku hariannya di gubuknya. Jadi jangan digantung dulu dia……….?
?Terlambat! Dia sudah mati tergantung!?
?Hei! Siapa yang mengeksekusi di luar perintah resmi tadi? Selidiki! Cari dan tangkap dia! Ini ada unsur kesengajaaan. Jangan-jangan dialah yang tahu peta itu. Cari!?
Tak perlu waktu berlama-lama lagi, maka perkelahian sengit pun pecahlah di bukit itu. Tak jelas, siapa musuh siapa, siapa kawan siapa. Beberapa orang pria yang tadi bermata merah itu kini badannya ranai oleh merah darah yang muncrat dari tubuh mereka. Mereka baku-pukul, baku-bunuh. Sejumlah orang pria mati menemani si Kakek Tua.
Diam…tenang, tenang sekali. Bunyi angin dan aroma anyir darah menggeser keriuhan gersang bukit itu. Pesta amarah itu telah berakhir, dan bukit tandus, tandas serta panasnya lecutan sinar matahari telah menjadi saksi atraksi kebodohan para manusia yang tubuhnya hanya dipenuhi oleh kebutaan-kebutaan, dan ruang rohaninya sangat merongga.
Bagan Batu, Riau, 2003