Lokasi Lepau Cerpen AA Navis

Adek Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

Ada empat cerpen AA Navis berlokasi-cerita di lepau kopi atau warung. Yaitu, Politik Warung Kopi (PWK), Kisah Seorang Amir (KSA), Orang dari Luar Negeri (OdLN), Bertanya Kerbau pada Pedati (BKpP). PWK, KSA, OdLN, serta dua cerpen lain ditulis periode 1955-1960, dihimpun dalam Hujan Panas (Nusantara, Bukittinggi, 1964). Pada cetakan ke-2 (Djambatan, Jakarta, 1990), judul kumpulan ini berubah jadi Hujan Panas dan Kabut Musim, dan memuat 10 cerpen.

BKpP ditulis di Padang 14 Januari 1985, dimuat pertama kali dalam Horison No.11/ 1985, kemudian masuk dalam kumpulan Bianglala cetakan ke-2 (Grafikatama, Jakarta, 1990) yang berisi 10 cerpen. Kumpulan Bianglala sendiri pertama terbit pada 1963 (Nusantara), memuat lima cerpen. Bianglala versi cetakan ke-2 diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2001 dengan judul Bertanya Kerbau pada Pedati, serta mengganti dua cerpen yang ada di dalamnya, namun jumlahnya tetap 10.

Perubahan judul dan isi dua kumpulan itu akan sedikit menyulitkan pengamat, namun tulisan ini tidak bicara soal itu, melainkan “meninjau” lokasi lepau kopi atau warung dalam empat tersebut (PWK, KSA, OdLN, dan BKpP). Sebab bila dicermati, terkesan bahwa lepau atau warung pada keempat cerpen itu mengacu ke model-lokasi serupa, yaitu lepau kopi/warung di kawasan tertentu di kota kelahiran pengarang.

Kesan itu muncul, karena: (1) gambaran lokasi lepau atau warung yang sama pada dua cerpen, serta ciri yang menguatkan dalam cerpen lain; (2) keterangan tempat “kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”, yang terdapat pada cerpen berbeda; dan (3) keterangan “kota kelahiranku” di salah satu cerpen juga disertai nama kota, yaitu Padang Panjang. Dan, akan dilihat pula nanti apa yang mendorong Navis memakai model-lokasi lepau itu.

Lokasi Lepau

Cerpen PWK bercerita tentang orang-orang yang mendiskusikan situasi politik tahun 1950-an sambil minum kopi di lepau, dibuka dengan: “Di warung Mak Lisut, di simpang tiga dekat rumahku di kampung, saban waktu bisa terjadi sidang politik yang menarik.” Lokasi lepau pada kalimat pembuka PWK ini bisa menjadi titik-tolak untuk menelusuri lokasi lepau cerpen lain, sehingga gambaran serupa lalu kita temui pada cerpen KSA. Umpamanya: “ia berkata di lepau kopi di simpang tiga kampungku”; “diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan lepau kopi di simpang tiga”; “sebelum ia pergi ke kantor, ia mampir dulu di lepau kopi simpang tiga”.

Nama pemilik lepau pada kedua cerpen ini juga mirip. “Lisut” pada PWK, dan dalam cerpen KSA: “Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan.”

Cerpen KSA bercerita mengenai pendatang “di kampungku”. Mulanya, Amir, si pendatang diterima warga dengan baik. Ia terkesan ramah, berpengetahuan, amtenar pula. Ia pun ditraktir, dan dijamu. Tapi kedoknya lalu terbuka satu-satu. Puncaknya, saat ia keliru sebagai imam dan tidak mau diluruskan. Rupanya, Amir cuma bermulut besar, mau enak sendiri, demi perutnya yang tidak pernah kenyang.

Dalam cerpen OdLN dan BKpP, memang tidak disebut lepau atau warung itu “di simpang tiga dekat rumahku di kampung”. Tapi dilukiskan cirinya, juga ciri lokasi luasannya (“kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”) dan nama “Padang Panjang”.

OdLN mengisahkan orang “kota kelahiranku” yang tidak pandai hidup, walau belajar di luar negeri. Padahal, tulis Navis membuka OdLN: “Padang Panjang adalah kota yang berbahagia. Aku di situ lahir. Hampir seperlima abad aku dihidupinya. Kota itu memang banyak memberi hidup.”

Walau banyak lapangan hidup, tetapi orang-orang “kota kelahiranku” dari luar negeri gagap, aneh-aneh kelakuannya. Ada yang “suka datang ke kedai di mana kami biasanya menghabiskan hari”. Sebab, “di kota kelahiranku” orang bisa “duduk-duduk atau bermain kartu di kedai-kedai kopi sambil mengutang segelas kopi, tanpa dapat masam muka dari si empunya kedai”. Tapi, walau “sesering itu kami ngobrol di kedai kopi, haram sekali ia membayar.”

Sedangkan BKpP adalah cerpen alegoris, tentang derita kerbau penarik pedati. “Aku”, dari depan “warung ayah” yang terletak “di tepi jalan raya di pendakian yang panjang”, selalu melihat iring-iringan pedati dari “pesisir”. Setelah “sehari semalam” di jalan, melalui “Lembah Anai”, konvoi itu sampai “di kotaku”, “berhenti beberapa saat di depan warung ayah”. Muatan pedati berat sehingga kerbau “terberak-berak”, “terkencing-kencing”. Tukang pedati tidak peduli derita kerbau. Syukur “kotaku kota penghujan”, jadi kotoran itu lenyap sendiri.

Lalu, suatu ketika, terjadi keanehan. “Aku” seperti mendengar kerbau bertanya pada pedati, pedati meneruskan pada muatan, dari muatan ke tukang pedati: “Wahai tukang pedati, kerbau bertanya, masih jauhkah pendakian ini?” Dan, “aku” marah saat tukang pedati berkata pada muatan: “Huss! Kau nyinyir amat. Kalau sedang di atas diam-diam sajalah. Kan bukan engkau yang payah?” “Aku” teriak menyuruh kerbau berontak. Kerbau “terlepas dari kungkungan”, pedati-pedati itu terbalik!

Dari “kode-kode” di atas, kini dapat disusun kalimat untuk memperjelas lokasi lepau kopi atau warung keempat cerpen itu. Yaitu: “di simpang tiga dekat rumahku di kampung, di tepi jalan raya di pendakian yang panjang, di kota kelahiranku Padang Panjang yang penghujan.”

Lokasi lepau semacam itu ada di kota Padang Panjang, yakni di kawasan yang disebut Lapau Panjang, di Silaiang, di tepi jalan yang mendaki pada pertigaan arah: pasar, Kampung Jawa, Lembah Anai/Padang. Dari rumah kelahiran dan masa kecil AA Navis di Kampung Jawa, lepau kopi Lapau Panjang sekitar puluhan meter saja.

Penggunaan Model

Pemakaian model untuk tokoh, atau lokasi-cerita, lazim pada penulisan sastra. Namun, apa yang mendorong Navis menggunakan model lepau kopi Lapau Panjang?

Beda dari Motinggo Busye yang dengan sadar memakai “temanku M Nizar” sebagai model Mat Kontan ketika menulis drama Malam Jahanam (Pelita, 1/7/1987), juga Pramoedya Ananta Toer yang (lewat) riset menjadikan Tirto Adhisoerjo model tokoh Minke untuk tetralogi Bumi Manusia, pada AA Navis pemakaian lepau Lapau Panjang lebih dipengaruhi unsur tak sadar. Lepau kopi atau warung di Lapau Panjang yang tentu diakrabi Navis waktu kecil/remaja, oleh suatu sebab, mungkin rindu, hadir begitu saja atau tanpa sengaja saat ia menulis keempat cerpen di atas.

Ada hal-hal menguatkan dugaan itu. Pertama, PWK, KSA, OdLN, ditulis pada 1955-1960. Navis saat itu tinggal di Bukittinggi dan Maninjau; perang saudara (PRRI) terjadi di Sumatera Barat. Hal itu menimbulkan rindu pada tanah lahir, apalagi zaman itu sulit bepergian (pakai surat jalan segala!). Dan khusus cerpen BKpP, rindu Navis adalah pada masa lalu, nostalgia. Cerpen ini ditulis saat usianya kian lanjut, 61.

Kedua, selama hidup (17 November 1924 – 22 Maret 2003) Navis tidak pernah merantau keluar Sumatera Barat. Jadi, mustahil ia tak kenal/melihat lepau dan warung lain, terlebih di Ranah Minang di mana lepau kopi di tiap pojok. Namun, lepau kopi di Lapau Panjang adalah “cinta pertama” Navis; sulit hilang, menghuni bawah sadar, dan juga kenang. ***

* ADEK ALWI, pengarang dan wartawan

Leave a Reply

Bahasa ยป