Kurniawan, Ahmad Rafiq
majalah.tempointeraktif.com
PENELITI teater dari dalam dan luar negeri yang hadir dalam Mimbar Teater Indonesia di Surakarta pekan lalu umumnya sependapat bahwa drama Putu Wijaya khas dan orisinal. Menurut Michael Bodden, profesor di University of Victoria, British Columbia, Kanada, belum ada penulis naskah lain yang memiliki gaya sama atau sekadar mirip dengannya.
Karya Putu, menurut dia, selalu mengajak penonton aktif berpikir, melalui metafora, logika, dan masalah yang dilontarkan, tanpa memberikan jawaban yang pasti. “Itu yang membuat karya Putu bagaikan teror,” kata Bodden, yang sudah puluhan tahun mempelajari teater Indonesia dan menerjemahkan beberapa naskah drama Putu Wijaya ke dalam bahasa Inggris.
Seperti karya Arifin C. Noer, ujar Bodden, naskah Putu juga sarat dengan kritik sosial, tapi dikemas sedemikian rupa sehingga mengandung banyak tafsir. Cara ini, kata Bodden, menjadi salah satu siasat Putu dalam menghadapi pemerintah yang tidak berpihak pada dunia sastra.
Penggarapan naskah Putu juga menjadi tantangan yang cukup menarik bagi dramawan. Putu, kata Bodden, sering menggunakan tokoh anonim dengan karakter yang tidak spesifik dan terkadang watak tiap tokoh berganti beberapa kali selama pertunjukan. “Sutradara harus memiliki imajinasi kuat dalam menggarapnya,” ujar Bodden.
Peneliti asing lain yang hadir dalam diskusi yang membahas naskah Putu Wijaya ini di antaranya Cobina Gillitt dari Amerika Serikat, Koh Yung-hun dari Korea Selatan, dan Tamara Aberle dari Inggris.
Salah satu pokok yang mereka bahas adalah “teror mental”, istilah yang digunakan Putu untuk konsep sastra dan teaternya. Intinya adalah kemampuan suatu karya untuk mengganggu, bukan menghibur, sehingga mementingkan akibat atau dampaknya pada penikmat. Teror itu tak selalu harus keras, tapi juga bisa lembut dan santun. “Misalnya, saat pernikahannya disahkan, seorang pengantin berbisik mesra kepada pasangannya, ‘Sebenarnya aku sudah menikah dengan orang lain’,” kata Putu mencontohkan.
Cobina Gillitt, pengajar di New York University, yang membawakan makalah “Putu Wijaya Melukis Sebuah Teater Teror Mental”, menganggap teror mental itu muncul melalui kemampuan Putu mengelola konflik di dalam naskahnya. Menurut dia, masing-masing tokoh dalam naskah Putu selalu membawa persoalan. Setiap tokoh yang muncul belakangan selalu menambah masalah baru untuk membuat suasana semakin ruwet. Meski demikian, suasana tetap terjaga, sehingga tidak terjadi kekacauan.
Adapun sutradara Teaterstudio Indonesia, Nandang Aradea, menganggap teror mental itu merupakan tanggapan atas kepahitan hidup, yang mampu memberikan ruang penyadaran secara kritis untuk melihat sebuah kenyataan.
Namun teror mental itu belakangan ini mulai tampak surut dalam naskah-naskah Putu. Genthong Hariono Selo Aji, aktor senior asal Yogyakarta, melihat teror itu mulai melemah dalam naskah-naskah baru Putu. Genthong menduga Putu sedikit demi sedikit telah mengubah gaya penulisan naskah dengan mengikuti perubahan zaman karena, “Pemerintah saat ini lebih terbuka dibanding zaman Orde Baru.”
Pengamat teater Halim H.D. juga melihat menurunnya teror mental Putu dalam sepuluh tahun terakhir. “Naskah Putu mulai terbuka dan blakblakan,” kata Halim.
***