Putra-putri Tradisi Utama Bali (2)
I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/
DESA Blayu, Tabanan, sepanjang pertengahan abad ke-19 hingga paruh awal abad ke-20 menjadi salah satu simpul denyut aliran sungai susastra-agama klasik Bali. Denyut itu ditandai dengan keberadaan Ida Pedanda Ngurah sebagai mata air sastra-agama di Geria Gede Blayu. Dari kawi-wiku, pendeta sekaligus sastrawan, inilah kelak mengalir tidak hanya sejumlah teks-teks koleksi dan salinan penting dalam khazanah susastra-agama di Bali, tetapi juga lahir karya-karya baru yang memperkaya isi lumbung peradaban batin-rohani Bali.
Pedanda Ngurah sudah dipastikan menciptakan kakawin Surantaka, geguritan Yadnyeng Ukir (atau Jayeng Ukir), kakawin Bhuwana Winnasa (atau Rundah Pulina), kakawin Gunung Kawi (atau Kusuma Wicitra), Singgala, Wretmareng Ukir. Diperkirakan juga menyurat kakawin Gunung Rinjani yang hingga kini belum ditemukan teks utuhnya. Dalam karya-karyanya, kawi-wiku kelahiran 1830-an yang sebelum menjadi pendeta bernama Ida Bagus Wayan Raka ini kerap menyuratkan Desa Blayu dengan istilah banwa subala. Artinya sama dengan bala rahayu, selamat, sejahtera. Dari sinilah konon kata Blayu berasal : bala + ayu = su + bala. Nama Pedanda Ngurah suka ”disembunyikan” dengan wipra atau resya nguraha, mangluraha, atau wipra subala. Kata wipra maupun resya berarti pedanda, ia yang mesti bertongkatkan sastra-agama.
Pedanda Ngurah diperkirakan sezaman dengan Ida Pedanda Wayan Kekeran dari Sanur, yang juga dikenal sebagai guru loka di Badung, sekaligus juga guru pertama Ida Pedanda Made Sidemen. Ketiganya memang dikenal sebagai sastrawan besar yang tidak saja tekun menyalin tetapi juga mencipta teks-teks baru. Pedanda Wayan dan Pedanda Ngurah mewakili abad ke-19, sedangkan Pedanda Made dari abad ke-20.
Bila Pedanda Made dari abad ke-20 justru lebih suka memilih tema-tema klasik, menekuni bahasa Bali dan Kawi saja, Pedanda Ngurah justru merekam peristiwa aktual saat-saat awal Bali bersentuhan dengan modernitas Barat, dan dikenal fasih berbahasa Melayu, bahkan ada dugaan juga mahir berbasa asing Belanda. Pedanda Ngurah pun punya hubungan baik dengan kontroler Belanda di Buleleng, L.C.Heyting.
Kakawin Bhuwana Winasa karya Pedanda Ngurah menjadi rujukan penting dalam merekonstruksi sejarah Bali. Lebih-lebih bila ingin melihat ”kehancuran jagat” Bali itu dari dalam, versi rohaniwan Bali. Bagi Pedanda Ngurah, kehancuran ”tanah pingit” Bali adalah karena daksina uluning jagat, selatan sebagai kepala. Kata bersayap ini bisa saja mengacu makna ”orang asing” sebagai pemimpin atau penguasa Bali. Kata daksina berarti selatan, makna yang diacunya secara konotatif bisa saja ”yang datang dari seberang lautan” alias asing. Itu menjadikan ideping wong salah unduk, pikiran orang kacau, salah laku. Bentuknya berupa amanda-amanda ring twan (memuja-muja tuan), salih bandugin (saling bersaing).
Sebagai pendeta-sastrawan, Pedanda Ngurah menjadikan keindahan sebagai jalan sadana memuja Hyang Mahakawi. Bentuk lakunya dengan berjalan, terus berjalan mendaki gunung, menapak tapak demi tapak tanah hingga menuju ketinggian puncak gunung. Perjalanan mendaki gunung itu bagi Pedanda Ngurah sama saja dengan latihan mendaki ”gunung-gunung” sebagai simpul pusat energi Kesadaran dalam diri.
Istimewa, memang, pengetahuan Pedanda Ngurah tentang gunung. Jagat Bali pun dipetakan dengan naik ke puncak gunung. Dari puncak gunung lantas dilukiskan perihal puncak-puncak gunung secara kosmis-geografis di seantero gumi Bali, sekaligus gunung-gunung di tanah Jawa dan Lombok yang tampak dari puncak gunung di Bali. Beliau juga lihai menjelaskan perihal ”gunung-gunung” dalam diri manusia yang di dalam teks-teks kerohanian Bali dinamakan sapta parwata, tujuh gunung.
Manakala Pedanda Ngurah merangkai aksara demi aksara menjadi kata, lalu kata demi kata menjadi baris, lalu bait-bait kakawin, kidung, dan geguritan itu tampak sama saja dengan perjalanan mendaki tapak demi tapak tanah hingga sampai di puncak gunung, kumpulan tanah tertinggi. Manakala rangkaian aksara demi aksara itu menjadi karya susastra-agama utuh, itu juga sejatinya telah menjadi gunung aksara. Di sana Hyang Paramakawi, Hyang Saraswati distanakan, dipuja, dan di dalam ”gunung-gunung” dalam diri Hyang Mahasuksma, Mahagaib, Mahahalus itu dijangkau dengan ”aksara” keheningan budi, kebeningan hati, dan kejernihan pikiran hingga terbit Kesadaran Ilahi.
”…. ngwang antyanta wimudha nindya lumakwa/nuhun ajnya sang huwus umoring suksma/nirarasa dudu yoga dudu brata//”surat Pedanda Ngurah: ”Aku yang teramat bodoh ini terus saja berjalan/menjunjung perintah Ia yang telah menyatu dengan Yang Mahahalus Mahagaib/yang tiada terasakan (bila) tanpa dengan yoga, tanpa brata. ”Maka, berjalan mendaki gunung-gunung kosmik dengan benar sejatinyalah juga laku yoga dan brata menuju puncak gunung Kesadaran Ilahi dalam Diri.