M. Arman AZ
http://www.sinarharapan.co.id/
Jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu, mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu.
Musim baru saja berganti. Langit mendung dan dingin mengepung. Seperti senja kemarin, aku kembali duduk di beranda, bersama segelas kopi dan sebungkus rokok. Menunggu gerimis pertama luruh di awal bulan ini.
Bis kota yang miring ke kiri karena sarat penumpang berhenti persis di depan rumah. Lima orang bergiliran keluar dari pintu belakang. Seorang karyawan menjinjing tas kerja, dua pelajar SMU pulang sekolah, ibu separuh baya membawa bungkusan plastik hitam, dan gadis manis berpakaian modis. Letih campur cemas terpahat di wajah mereka saat melangkah di trotoar. Semoga hujan tak keburu tumpah sebelum tiba di rumah, mungkin begitu kata hati mereka resah. Bis kota kembali melesat. Lenyap di jalanan yang padat. Menyisakan asap knalpot hitam pekat.
Di halaman rumah ada pohon angsana meranggas disiksa kemarau. Kesiur angin merontokkan daun-daunnya yang kering. Menari gemulai di udara sebelum membentur aspal, atap, dan sebagian menistai jalanan. Sebentar lagi dedaunan itu tinggal riwayat. Lebur bersama tanah, jadi humus yang menyuburkan, lalu lahirlah daun-daun baru yang hijau segar.
Menikmati diorama senja di beranda. Memandangi seruas jalan yang tak pernah mati. Menyaksikan musim demi musim yang terus berganti. Aku tak sanggup membayangkan semua itu akan sirna, sebentar lagi.
Gerimis akhirnya luruh juga.
***
Kata orang, kita baru sadar bahwa pernah memiliki sesuatu yang berharga justru setelah sesuatu itu hilang dari kehidupan kita. Kupikir ada benarnya juga. Hari-hari belakangan ini, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Mengais-ngais kenangan yang masih tersisa sebelum raung buldoser meluluhlantakkan sejarah kami.
Almarhum kakek mewariskan empat rumah yang berderet di tepi jalan protokol. Sebagai anak tertua, bapakku menempati rumah paling kiri. Halamannya luas. Begitu juga ruangan-ruangan dalam rumah. Semasa kakek dan nenek hidup, rumah ini jadi tempat berkumpul keluarga besar kami. Jika ada hajatan atau hari raya, pasti riuh oleh tawa dan rengek bocah, juga percakapan orang-orang dewasa. Malamnya kami semua tidur menghampar di sembarang tempat. Di ruang tamu, ruang keluarga, atau di loteng atas. Tradisi itu masih terjaga hingga kini.
Pamanku, adik bungsu Bapak, menempati rumah di ujung kanan. Dua rumah di tengah adalah jatah kedua bibiku. Namun karena ikut suami, rumah itu mereka sewakan. Satu disewa sebuah perusahaan konsultan, satu lagi disewa pasangan suami istri yang baru menikah.
Beberapa bulan lalu seorang lelaki berpakaian perlente datang ke rumah menemui bapak. Dia utusan salah seorang pengusaha terkenal. Kata lelaki itu, pimpinannya berminat membeli tanah berikut keempat rumah kami. Dia menanyakan apakah bapak sebagai ahli waris berniat menjualnya. Meski tidak terang-terangan memberitahu tujuannya, kami yakin mereka punya rencana mendirikan ruko di atas tanah ini. Sejak beberapa tahun lalu tanah di tepi jalan protokol di kota kami jadi incaran orang-orang berduit dan berotak bisnis. Selain tempatnya strategis, juga menjanjikan keuntungan yang manis.
Setelah bapak dan ketiga adiknya berunding, akhirnya mereka sepakat menjual tanah berikut rumah. Memang tinggal empat rumah kami yang tersisa di ruas jalan ini. Rumah-rumah lain sudah lebih dulu dijual pemiliknya. Di kiri kanan rumah kami, kini tegak ruko-ruko mentereng. Semuanya sudah terisi. Bengkel perawatan mobil, tempat kursus, salon, warnet, dan lainnya. Ganjil juga melihat tempat tinggal kami terjepit di antara ruko-ruko itu.
Aku tak mau ikut campur dengan urusan mereka. Hasil penjualan tanah memang sangat besar. Syukurlah tak sampai terjadi pertikaian gara-gara rebutan warisan seperti dialami keluarga-keluarga lain. Sepasang suami istri itu sudah pindah setelah diberi ganti rugi. Tinggal menunggu perusahaan konsultan di sebelah rumah kami. Masa kontraknya selesai kurang dua bulan lagi. Setelah itu, kami harus angkat kaki.
Bapak dan paman telah membeli rumah baru yang letaknya agak ke luar kota. Aku sudah melihat kondisi dan lokasi rumah itu. Jauh dari hiruk-pikuk. Udara pun masih terasa segar. Tak lama lagi kami pindah ke sana. Dan beberapa hari belakangan ini, aku suka menghabiskan waktu di rumah saja. Termenung mengenang semua cerita yang bersemayam dalam rumah ini. Sungguh, tak bisa dihitung!
***
Rumpun mawar di pojok dekat pintu pagar senantiasa mengingatkanku pada dua sosok yang telah lama hilang. Andri, sahabat karibku semasa SMA, dan almarhumah ibu.
Sembilan tahun lalu, saat acara perpisahan sekolah, Andri memberiku kenang-kenangan sebutir peluru. Aku tercengang melihatnya. Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Semula ingin kukembalikan saja karena tak mau ada masalah di kemudian hari.
?Simpanlah peluru ini baik-baik. Jika panjang umur dan kita sempat bertemu lagi, aku ingin melihat peluru ini masih ada.?
Aku terharu mendengarnya. Sejak SMA dia memang bercita-cita jadi tentara, mengikuti jejak sepupu-sepupunya. Waktu berkunjung ke rumahnya, aku pernah melihat foto-foto lelaki gagah terpampang di dinding. Ada yang jadi pilot pesawat tempur, tentara, marinir, dan reserse. Andri bercerita panjang lebar tentang siapa saja dalam foto itu, juga cerita-cerita seputar pengalaman mereka. Andri juga mengaku jauh-jauh datang dari kota kabupaten, menumpang di rumah pamannya yang masih aktif di tentara; selain untuk melanjutkan pendidikan, juga agar pamannya membantu meloloskan niatnya.
***
Bapak dan ibu kebakaran jenggot waktu kuperlihatkan benda mungil sebesar biji tangkil itu. Ibu panik. Bapak marah. Mereka menyuruhku mengembalikan peluru itu atau membuangnya jauh-jauh.
Aku gamang. Membuang peluru itu sama saja membuang kenang-kenangan dari seorang sahabat. Menyimpannya berarti merawat masalah dengan orangtua. Sampai larut malam, kutimang-timang peluru itu sembari memikirkan jalan keluarnya.
Besoknya aku bangun pagi buta. Peluru itu kumasukkan dalam plastik bekas obat, kulipat sekecil mungkin, lalu kuikat dengan karet gelang. Kugali tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Setelah kurang lebih sejengkal kedalaman lubang, kutanam bungkusan itu. Kutimbun dan kutata lagi tanahnya seperti semula agar tak ada yang curiga. Ketika bapak dan ibu menanyakan perihal peluru itu, kubilang sudah kukembalikan ke pemiliknya.
Sampai kini, aku dan Andri belum pernah bertemu lagi. Kabar terakhir yang kudengar, dia sudah berhasil meraih mimpinya. Jadi tentara berpangkat rendah dan dinas di sebuah kota kecil di pulau seberang. Dia juga sudah menikah dan dikaruniai seorang anak.
***
Siang ini rumah sunyi. Sepi bernyanyi. Angin menari. Ruang-ruang dalam rumah telah kujelajahi. Bapak dan tiga adikku telah pergi. Entah kapan mereka akan kembali. Yang jelas, saat keluar tadi, mereka lupa mematikan televisi.
Kucomot remote di atas bantal gajah yang sudah peyot. Kupencet tombol merah. Benar kata seorang teman, televisi sudah jadi hantu elektronik. Setiap hari layar kaca menjejeli penonton dengan berita-berita buruk rupa.
Kemarin ada berita seorang pedagang sayur dibegal subuh buta. Motornya dibawa kabur setelah perampok menembak dadanya. Dua lubang sebesar biji tangkil itu membuat udara berhenti keluar masuk dari hidung si pedagang sayur. Kemarinnya lagi, ada berita polisi dan tentara baku tembak dalam diskotik. Konon rebutan wilayah kekuasaan. Kemarinnya lagi, seorang lelaki diciduk karena menyodomi duabelas bocah. Kemarinnya lagi, anak pejabat melepaskan tembakan di tengah kerumunan massa yang nyaris menghajarnya karena menabrak anak kecil. Kemarinnya lagi, bangkai bayi ditemukan terongok dalam kardus mi. Kemarinnya lagi, dua kampung tawuran gara-gara salah paham. Kemarinnya lagi, penguasa negeri membaca teks bahwa negeri ini aman terkendali. Dan setiap malam, sinetron dan kuis-kuis penonton meringis sinis.
Kupikir sudah saatnya dibuat peringatan baru, bahwa selain merokok, menonton televisi pun bisa menyebabkan serangan jantung dan sesak napas.
***
Dulu, di waktu-waktu yang tak tentu, aku sering mencuri waktu mengorek-ngorek tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Aku lega menemukan bungkusan berisi peluru itu masih ada. Terbayang dibenakku wajah seorang sahabat lama.
Siang itu langit mendung. Dingin mengepung. Rumpun mawar bergoyang-goyang ditiup angin. Ada beberapa kuncup mungil di sana. Sebentar lagi mawar-mawar merekah. Menguarkan aroma harum semerbak. Aku ingin sentimental sejenak dekat rumpun mawar itu.
Yeah, waktu adalah hakim yang paling adil. Tak bisa kulupakan peristiwa itu. Pertengkaran terakhir dengan ibu sebelum beliau meninggal.
Suatu hari ibu membeli bibit mawar yang dijual pedagang bunga keliling. Ibu mengorek-ngorek tanah di sekitar rumpun mawar untuk menanam bunga yang baru dibelinya. Tak sengaja ibu menemukan bungkusan plastik berisi peluru itu. Tak ayal lagi, ibu menuduhku telah mengelabuinya bertahun-tahun!.
?Benda ini biang masalah! Tak ada gunanya! Sudah kusuruh buang, eh rupanya sekian lama kau tanam dekat rumpun mawar itu! Bisa mati semua bunga kesayanganku?? Dan masih banyak lagi celoteh ibu. Meski aku ngotot ingin menyimpan peluru itu, ibu dan bapak tak juga menyerahkannya padaku.
Entah bagaimana nasib peluru itu di tangan mereka. Aku sudah mencarinya ke setiap sudut rumah. Tapi hingga kini tak pernah kutemukan jejaknya. Membayangkan kenang-kenangan itu sudah dibuang, aku termangu mengingat seorang sahabat.
Kesiur angin merontokkan sehelai daun mawar yang kuning digerus usia. Aku mendesah haru. Sebentar lagi rumah ini rata dengan tanah. Begitu juga rumpun mawar kesayangan almarhum ibu. Semuanya akan jadi sejarah.
Ah, jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, sungguh, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu. Mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu?.
Bandar Lampung, 2004