Mangga

Ketut Yuliarsa
http://www.sinarharapan.co.id/

Sudah jadi tradisi bagi anak-anak desa mencuri mangga di kebun Pan Demit, yang tinggal sendiri di sebuah rumah berpekarangan lebar. Pan Demit tak disenangi karena angkuh dan kikir sekali. Makanya dijuluki Pan Demit, yang artinya ?bapak kikir?.

Di samping kebun luas, ia juga punya sawah berhektare-hektare, digarap petani yang oleh satu sebab, tidak lagi miliki sawah. Dari hasil inilah, Pan Demit bisa hidup tanpa harus kerja sendiri. Konon, sawah dan kebun itu dia dapat dari merebut warisan bagian saudara-saudaranya yang dia bunuh secara gaib.

Ini memang sukar dibuktikan, tapi hidup di desa tidak perlu bukti. Kalau seorang tidak ramah, tak mau bergaul atau bermasyarakat, itu sudah bukti yang bersangkutan bertabiat buruk. Tapi karena leluhur Pan Demit dulu ikut berjuang untuk kemerdekaan, penduduk masih segan ambil tindakan secara langsung menghukumnya.

Di samping itu, dia masih tetap bayar iuran DKMD (dana kesejahteraan masyarakat desa), termasuk bea denda, kalau tak ikut gotong royong membersihan jalan dan selokan desa.

Sedemikian jauh, penduduk hanya bisa berbisik membicarakan keburukan Pan Demit.

Reputasi buruk itu beri dorongan bagi anak desa untuk menjadikannya target gangguan. Tinggal sendiri, lagi-lagi karena kikir, tidak mau kawin, takut istrinya nanti akan mencuri hartanya. Maka, rumah sepi dikelilingi kebun mangga yang berbuah serat bergelantungan adalah sasaran ideal untuk ?diserbu?, dalam imajinasi gerombolan anak-anak nakal.

Mangga tersebut sebenarnya belum matang. Belum pantas dimakan, kecuali untuk rujak. Tapi karena ?pasukan? sudah berkumpul, strategi pun lalu diatur, penyerbuan mulai. Tengah hari, Pan Demit biasanya tidur sehabis makan siang.

Sekitar sepuluh anak, usia lima sampai sepuluh tahun, bertumpu pada pundak dan punggung satu sama lain, memanjat ke atas tembok, lompat turun, mencar ke pohon target masing-masing, cekatan bagai gerilyawan asli sejati.

***
Aku tak ikut memanjat pohon, sebab usiaku baru lima. Sebagai anggota termuda tugasku ?mengintai?. Ada lobang di tembok yang sengaja dijebol setinggi pengelihatanku, untuk mengawasi rumah Pan Demit, terutama pintunya. Kalau pintu itu tiba-tiba terbuka dan Pan Demit keluar, tugasku bersiul keras seperti pekikan burung ?prutut?, tanda bahaya dan aba-aba bagi gerombolan agar cepat meluncur turun dari pohon, meninggalkan medan.

Tradisi juga sudah buktikan strategi ini aman. Pan Demit yang pincang dan hampir buta, berjalan dengan tongkat, tidak akan mampu mencapai anak-anak dari jangka waktu tanda bahaya dibunyikan. Penyerbuan lebih sering tidak dapat perlawanan.

Artinya, Pan Demit tidak keluar. Tapi ada kemungkinan dia ngintip dari balik jendela, nunggu kesempatan. Sebab sekali dua kali, ada kejadian anak tertangkap. Terperosok jatuh waktu turun dari pohon, kaki anak itu keseleo tak bisa lari.

Dicengkeram Pan Demit sambil mengacung-acungkan tongkatnya, ?tawanan? kecil itu menjerit-jerit ketakutan. Anak-anak lainnya berteriak memanggil dan memaki-maki dari atas tembok. Lama juga ?pertempuran? itu berlangsung, sampai tetangga datang melarai.

Semenjak kejadian itu, hanya anggota yang lebih dewasa dan berpengalaman boleh naik pohon. Yang muda mengawasi dan mengintai.

Setelah itu tak ada lagi anak jadi tawanan. Pada masa pengintaianku, seringku lihat Pan Demit berdiri di balik pintu yang setengah terbuka. Mengintai grilyawan yang sedang beraksi di atas pohonnya, seperti menunggu saat menyerang. Tapi dia tak pernah keluar lagi. Berdiri di sana, di balik pintu, satu tangannya bertumpu di tembok, satunya lagi di balik gulungan sarung di bawah perutnya. Dari lobang pengintaianku tampak Pan Demit seperti mau kencing. Tapi, ku pikir, kenapa tubuhnya mengangguk-angguk begitu. Lagi pula, apa mungkin kencing di dalam kamar. Siulan tanda bahaya tidakku bunyikan, selama dia tidak keluar pintu.

Biar saja dia melotot dan bertumbu di balik pintu sambil goyang-goyang begitu, pikirku.

Tidak lama dada dan punggung anak-anak sudah kembung, penuh sesak dengan mangga. Ujung baju diikat kuat di pinggang, bagaian atasnya berfungsi sebagai karung mangga.

Tambahan beban ini sama sekali tidak mengurangi kelincahan mereka berayun dari dahan ke dahan.

Aku menarik napas lega melihat anak mulai turun dari pohon. Pintu rumah masih terbuka sedikit saja. Tapi, tak seperti biasa, Pan Demit tidak ada berdiri di balik pintu itu. Baru saja aku berpikir untuk membunyikan tanda bahaya, tiba-tiba, di lobang pengintaianku sebuah mata besar membelalak. Aku tersentak mundur, bersamaan dengan menjulurnya ujung tongkat dari lobang itu menyodok keningku. Aku terhuyung, kepalaku perih.

Sempoyongan aku berbalik dan lari meninggalkan medan. Dari lobang tembok suara menggeram : ?maling-maling cilik kan ku remas kalian…?.

***
Aku terus berlari tersaruk-saruk. Setiap hentakkan kaki, kurasa bumi berguncang. Langit tiba-tiba gelap, debu, dan kerikil halus berjatuhan dari udara. Jalan, pohon dan atap rumah terselubung warna kelabu. Banyak orang berlari ke sana-ke mari, berteriak-teriak memanggil nama anak-anak mereka, ada juga yang menyebut nama dewa-dewa. Sambil berlari, aku pun memanggil anak-anak gerombolan pencuri mangga, kuselang-selingi dengan siulan tanda bahaya.

Penduduk semakin kalang kabut karena teriakan mereka tak lagi terdengar, dilindas gemuruh letusan Gunung Agung. Dunia tiba-tiba gelap, langit runtuh dengan ledakan yang serta-merta menghabisi kesadaranku.

Aku tak tahu yang terjadi kemudian. Tidak tahu nasib anak yang terperangkap di kebun mangga. Katanya lahar mengepung, menyeret rumah-rumah di pinggiran desa, hancurkan pura, ratusan orang tewas terbakar gas panas.

Yang selamat diungsikan dan ditampung di bawah tenda-tenda darurat.

Sering aku bermimpi tiang-tiang penyangga tenda itu berubah jadi pohon mangga, buahnya lebat bergelantungan. Di tengah kejatuhannya menimpaku, mangga itu berubah jadi bongkahan batu. Aku lalu menjerit dan meronta, terlebih lagi setelah tenda-tenda pengungsian itu juga berubah jadi gunung.

Di puncak gunung Pan demit berdiri mengangkang, sarungnya terungkap, dari sana mengucur lahar, gas beracun dan debu, mengubur ingatanku. Waktu itu usiaku baru lima.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *