Sosok ”Orang Lain” dalam Sastra Bali Modern

Darma Putra
balipost.co.id

Penampilan sosok “orang lain” (the other) sebagai tokoh sentral cerita atau puisi sudah lama muncul dalam sastra Bali tetapi sifatnya sporadis. Lihatlah misalnya tokoh Cina dalam “Geguritan Sampek Eng Tay” (1915). Dalam karya-karya mutakhir, seperti cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” karya Made Sanggra, pembaca menjumpai tokoh orang Belanda. Selain sebagai tokoh cerita, sosok “orang lain” itu juga menjadi fokus tema, sarana, serta arena penjabaran estetika.

SASTRAWAN Bali modern yang dengan sadar dan berulang-ulang menggunakan sosok “orang lain” sebagai fokus dalam karyanya adalah Windhu Sancaya. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan puisi dan cerpennya yang baru terbit, yaitu “Coffe Shop” (2003), yang sudah ditetapkan sebagai penerima Hadiah Sastera Rancage 2004. Sosok asing yang ditampilkannya umumnya orang Barat termasuk turis. Selain itu ada juga sosok dari etnis Cina. Dominannya karya yang menampilkan sosok “orang lain” ini menjadi salah

satu ciri khas kumpulan “Coffe Shop”, yang tidak dijumpai dalam karya-karya sastrawan Bali lain. Salah satu sosok “orang lain” yang dijadikan sajak oleh Windhu adalah Roelof Goris. Doktor Jawa Kuna dari Belanda ini datang pertama ke Indonesia pada 1926 dengan tugas mempelajari bahasa-bahasa daerah terutama Jawa Kuna di Indonesia. Dia berkantor di Batavia. Ketika itulah, dia sempat jalan-jalan ke Bali tahun 1926 dan 1927 serangkaian dengan kunjungan sastrawan India, Rabindranath Tagore ke Bali.

Mulai 1928, Goris mendapat pos di Bali sampai tahun 1939, dengan berbagai tugas utamanya mempelajari sastra Jawa Kuna, prasasti, adat, dan agama Bali. Dia termasuk orang yang menentang program misionaris di Bali. Selama di Bali, dia menetap antara lain di Singaraja dan Bangli. Tahun 1940-an, Goris sempat bolak-balik Jakarta-Holland. Setelah kemederkaan, Goris menetapkan hati untuk menjadi orang Indonesia. Dia kembali ke Bali tahun 1950-an, bekerja di Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan (kini menjadi Balai Penelitian Bahasa). Tahun 1951, Goris sempat mengajar di SMA dan SGA Singaraja. Banyak sastrawan dan intelektual Bali dekat dengannya, antara lain Wayan Bhadra dan Panji Tisna.

Setelah memasuki masa pensiun tahun 1958, Goris mengabdikan dirinya menjadi pustakawan di Fakultas Sastra Udayana yang baru dibangun. Di Fakultas Sastra inilah dia kemudian menjadi “research profesor”. Tugasnya antara lain mengajar sejarah (Bali kuna) dan epigrafi.

Goris meninggal 4 Oktober 1965, dikuburkan di Denpasar, yang kemudian dipindahkan ke Mumbul. Fakultas Sastra terus mengenang jasa Goris, buktinya setiap HUT Faksas, warga Faksas mengadakan kunjungan suci ke kuburan Goris di Mumbul. Jasanya sebagai ilmuwan dan dosen (bukan dekan) yang berpengetahuan dalam dikenang sampai kini. Bukunya “Sejarah Bali Kuna” (1950) dan “Bali Atlas Kebudayaan” (1953) banyak diacu para sarjana.

Prestasi akademik Goris itulah yang tampaknya memukau Windhu Sancaya untuk menciptakan puisi berbahasa Bali berjudul “Roelof Goris”. Dari sajak ini terkesan bahwa Windhu kagum terhadap “orang asing” yang begitu menguasai ilmu bahasa Bali dan mengajari orang Bali ilmu bahasa Bali. Berbeda dengan penyair lain yang biasanya mendedikasikan puisinya kepada tokoh yang dikagumi, Windhu langsung menjadikan tokohnya sebagai judul sajak.

Goris dan Helen

Sajak “Roelof Goris” terdiri dari lima bait dan dengan tepat memotret sosok kecendekiaan Goris dan jasanya pada pengetahuan sejarah Bali kuna. Beginilah sajak itu dibuka: “titiang tan tandruh/ rumasa ring beloge kalintang” (saya tak tahu apa, terasa terlalu bodoh). Pembukaan yang merendahkan diri ini adalah hal biasa dalam sastra Bali (tradisional) karena hanya dengan demikian penyair bisa melambungkan tokohnya ke atas dengan puja-puji.

Pada bait ke-3, Windhu menulis kehebatan Goris sebagai ilmuwan yang karyanya dianggap sebagai sinar yang menerangi jalan untuk mengetahui sejarah Bali kuna: “ring lawat sastrane panggihin titiang/ pemargine tumus/ kasujatianne manguranyab/ mengendih/ manyunarin/ ngawinan prasida mamanggihin margine ring purwakala” (dalam sastra saya menjumpai/ sejarah lengkap/ kebenarannya bersinar/ menyala/ menyinari/ makanya bisa diketahui sejarah masa lalu).

Tentang apa yang dipelajari dari buku sejarah kuna Goris, sajak itu menulis: “ring purwakala/ titiang manggihin nateng bali sri ugrasena, udayana-gunapriya/ anak wungsu/ sriaji jaya pangus./ katatwan sameton ring wawengkon bintang danu/ tenganan pageringsingan, bebetin, serai, srokadan./ suksmane kalintang-lintang” (di masa lalu/ saya menjumpai raja Bali Sri Ugrasena, Udayana-gunapriya, Anak Wungsu, Sriaji Jaya Pangus. Filsafat masyarakat Bintang Danu (Kintamani), Tenganan Pagringsingan, Bebetin. Serai, Srokodana.Banyak-banyak terima kasih). Kekaguman penyair terhadap Goris juga disampaikan dengan ungkapan “yukti sutindih ring pulina bali’ (sungguh berani membela Pulau Bali). Komitmen Goris membela adat dan budaya Bali mungkin merupakan refleksi sikapnya yang anti-misionaris walau penyair tidak secara eksplisit mengungkapkan dalam sajak ini.

Sajak penghormatan kepada sarjana Barat yang begitu teguh meneliti bahasa-sastra Bali juga diciptakan Windhu untuk Dr. Helen Creese (ahli Jawa Kuno, Australia), Nyoman Umbara (nama samaran sarjana Parancis yang tengah berusaha menyusun kamus Bali-Perancis), dan Tuan Willem van Der Mollen (Belanda). Sarjana ini adalah orang-orang yang dikenal dekat. Windhu, misalnya, pernah membantu Helen untuk menstranskripsikan sejumlah naskah kuna. Sajak “Helen Creese” mengibaratkan Helen sebagai “sesapi putih”, ungkapan yang tidak saja menimbulkan asosiasi kepada orang yang berkulit putih tetapi juga kepada sosok dinamis berwawasan luas. Windhu melukiskan: “sesapi putih makebur nuju kaler kangin/ mengindang kampidnyane kebah/ ngigel maelogan/ ngulangunin/ suarannyane alit nyeksek ring keneh/ solahnyane alep tan pakrisikan/ manahnyane jimbar nguub sadaging jagat” (sesapi putih terbang utara-timur/ berputar-putar sayapnya mekar/ menari gemulai/ mengagumkan/ suaranya halus masuk sukma/ lagaknya kalem diam). Burung sesapi ini dikontraskan dengan “paksi gagak” yang bulunya penuh lumpur dan terbang ke arah selatan (arah yang cemar). Kontras ini tak hanya mempertegas sosok yang ditonjolkan tetapi juga membuat struktur puisi “Helen Creese” terasa indah.

Helen sering datang ke Bali, antara lain untuk penelitian dan seminar. Dia memang pendiam, tapi disegani sejawatnya karena karyanya banyak antara lain buku “Parthayana, The Journeying of Partha, an Eighteenth-century Balinese Kakawin” (KITLV, 1998). Yang mengenalnya akan merasa bahwa sajak Windhu dengan tepat menggambarkan sosok Helen yang pendiam tetapi lincah ibarat “burung sesapi” dalam dunia ilmu.

Pengkontrasan

Sajak-sajak Windhu dan cerpennya yang menampilkan orang asing tak hanya menambah tema-tema baru ke dalam khasanah sastra Bali modern, tetapi juga menunjukkan eksplorasi estetik penciptaan puisi berbahasa Bali. Salah satu pola estetika yang bisa ditangkap dalam karyanya adalah pengkontrasan gagasan seperti “cerdas vs tidak tahu” dalam sajak “Roelof Goris” dan “sesapi putih vs burung gagak” pada sajak “Helen Creese”. Estetika berpola kontradiktif ini juga terasa dalam sajaknya yang lain.

Pilihan Windhu menampilkan sosok “orang lain” dalam karyanya karena dia percaya terhadap pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak jelas”. Pandangan Windhu ini bisa disimak dari baris terakhir sajaknya yang berjudul “Coffe Shop” yang berbunyi “ipun manggihin tityang saking doh!” (dia menemui saya dari jauh). Yang dimaksud dengan “ipun” tentu adalah Goris, Helen Creese, Van Der Mollen, dan seterusnya.

Sosok “orang lain” dalam sajak-sajak Windhu agak berbeda dengan yang tampak dalam karya sastrawan lain, misalnya cerpen Made Sanggra “Ketemu ring Tampaksiring”. Tokoh Belanda dalam cerpen ini digunakan pengarang untuk mengungkapkan sisi humanis masa kolonial. Kalau penjajahan sering dikaitkan dengan penindasan, perang atau gerilya, dalam cerpen ini Made Sanggra justru mengungkapkan romantisme, pernikahan antara tentara Belanda dengan wanita Bali dan pertemuan tak terduga anak-anak mereka setelah lama berpisah. Pengenalan identitas ini juga mencegah terjadinya perkawinan adik-kakak alias inses.

Perlu segera dicatat bahwa perbedaan penggambaran sosok “orang lain” dalam sastra Bali modern bukan karena yang satu tampil dalam puisi, sedangkan yang lain dalam cerpen atau novel, tetapi lebih pada niat sastrawan dan narasi atau puisi yang dihasilkan. Dalam literatur postkolonial, “orang lain” cenderung dianggap ancaman (threat), dalam karya-karya sastrawan Bali yang dibahas di atas, “orang lain” adalah cermin (mirror) untuk mengenali budaya dan jati diri Bali. Penelitian terhadap lebih banyak teks sastra Bali modern yang menggambarkan sosok “orang lain” tentu akan bisa memperkuat atau menggugat kesimpulan sementara ini.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *