TE. Priyono
kr.co.id
Perjalanan sebuah karya sastra ternyata tidak dapat diceraikan begitu saja dari karakter dan watak penulisnya. Pengalaman hidup dan kekayaan batin penulis merupakan bumbu tersendiri, bagi cairnya proses kreatif, di samping sikap intelektual yang memberikan warna khas terhadap karya sastra itu. Kalau masih sepakat dengan sebuah keyakinan bahwa karya sastra tidak lepas dari ide dan bahkan intervensi empirik penulis terhadap dinamika kehidupannya.
Maka bukan tidak beralasan kalau sebuah karya satra bisa jadi merupakan penyaluran beban kegelisahan seorang penulis terhadap dinamika kehidupan yang dilakoni, dilihat, bahkan beban sosial masyarakat yang terekam ke dalam pengalaman batinnya. Untuk yang terakhir, lebih pada bentuk kepedulian seorang penulis dalam bersikap terhadap dinamika kehidupan lingkungannya. Gesekan sosial justru seringkali menjadi sumber inspirasi yang tiada pernah kering.
Membaca Kumpulan Cerita pendek karya Bakdi Soemanto, yang tersaji dalam “Mincuk” terbitan Gama Media Yogyakarta. Kita benar-benar disuguhi cerita cerita keseharian yang segar. Ide cerita yang prasaja, namun cukup memberikan nuansa akrab kalau kejadian dalam cerita itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang pasti dilakoni oleh setiap orang. Dari persoalan yang sangat sederhana sampai masalah masalah pelik yang menyangkut prosedur birokrasi, dengan lincah dan piawai penuh kecermatan mengalir menjadi untaian kisah yang cerdas dan segar.
Meskipun kumpulan cerita pendek ini bukanlah karya karya terbaru, seperti Ketiak (1970), Bau (1979), Kartu (1980) dan Wajah (1983), tetapi greget dari cerita itu terasa segar dan tetap njamani. Meskipun umur cerita sudah berkepala tiga, tetapi ide dan esensi cerita sepertinya tetap hangat dan tidak pernah basi. Itulah kelebihan yang dimiliki Bakdi dalam meramu cerpen-cerpennya, tidak kehilangan daya pikat dan aktualitas.
Dalam “Perahu Kertas” (1995), seorang Bakdi demikian cerdas menangkap masalah masalah nasional, soal korupsi, kolusi, nepotisme, ketidak adilan, dan kesewenangan para penguasa menjadi cerita yang seolah kejadian itu bagian dari permasalahan domestiknya. “Perahu Kertas” (judul yang mungkin mengadopsi Sajak Perahu Kertas-nya Sapardi Djoko Damono, hal. 80), seorang Bakdi begitu santainya menggiring kisah itu, bermain-main dalam imaji yang liar berpetualang ke dalam negeri air. Kendati esensi cerita terfokus pada ketidakbecusan para penguasa dalam mengatur mekanisme “air” di suatu negeri. Ketika musim kering, mengapa air tiba-tiba hilang dan begitu musim hujan, air berlimpah sampai menimbulkan bencana banjir. Ini jelas ada mekanisme yang tidak beres dalam pengaturannya. Ternyata itu semua disebabkan keruwetan prosedur birokrasi. Ini merupakan kesewenangan orang-orang atas dalam mengatur tatanan, sehingga pengaturan ke bawah menjadi carut-marut tidak karuan.
Kesederhanaan hidup, tidak terpengaruh dalam genre hedonis, meskipun kesempatan untuk itu ada peluang. Namun kesederhanaan dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas-tugas kantor tercermin pada kisah “Mincuk”, seorang gadis berpola pikir moderen dan cerdas, namun berakar kuat sikap hidup yang apa adanya, lugu, penuh kejujuran dan sangat prasaja. Keteladanan seorang Mincuk, tokoh sentral dalam kisah itu, sepertinya merupakan pandangan idealis seorang Bakdi terhadap realitas kehidupan orang-orang moderen sekarang ini, yang hampir kehilangan hati nurani karena terdorong oleh jabatan, kesempatan dan ketamakan. Sehingga sulit untuk melihat kebenaran dan kejujuran serta ketulusan arti cinta. Mincuk lebih memilih seorang penjaga malam bernama Tapir yang belum terkontaminasi pikiran-pikiran serakah. Dari pada Meneer Geronk van de Fits yang memiliki harta dan kedudukan di perusahaan tempatnya bekerja. Padahal setiap wanita di lingkungan kerjanya, sangat mendambakan “cinta” dari tuan Meneer itu.
Inilah realitas yang banyak terjadi di masyarakat kita, untuk mendapatkan harta rela mengorbankan segalanya, termasuk juga harga diri dan kehormatan. Tetapi bagi Mincuk semua tidaklah berarti, yang lebih penting adalah kejujuran dan ketulusan, sehingga dia tidak merasa bersalah dan malu kalau harus menangis sesenggukan sambil menciumi tangan Tapir yang tergeletak di ruang VIP rumah sakit atas biaya pribadinya.
Sebagian tema cerita yang ada dalam kumpulan cerita pendek “Mincuk” karya Bakdi Soemanto ini, merupakan tema-tema yang membumi. Maksudnya, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan kisah-kisah itu di dalam kehidupan keseharian kita. Meskipun kisah-kisah itu sederhana, namun di tangan seorang Bakdi semua kisah menjadi lebih hidup, berbobot sekaligus segar, full kejenakaan dan pasti geerrr. Sehingga untuk membacanya berulang kali akan tetap saja enak dibaca dan perlu (pinjam moto sebuah majalah). Begitu kita dituntun dalam alur cerita, muncul kejenakaan yang patut untuk kita tertawa, maupun sedikit senyum tipis. Meskipun pada akhirnya muncul pertanyaan juga, kepada siapa cerita itu ditujukan, karena kadang kita pun bisa jadi bagian dari kisah yang ditulis Bakdi Soemanto. Di sinilah, kejenakaan yang membawa kita untuk berani mawas diri, kepada siapa kita tertawa – untuk menertawakan diri sendiri, orang lain atau bahkan penulisnya. Tetapi itulah tangkapan yang akan didapat ketika kita membuka lembar demi lembar kumpulan cerita pendek “Mincuk”.
Dari cerita “Kartu” untuk mencari kerja, pembaca akan dibawa dalam aliran cerdas seorang Bakdi dalam membuat untaian kisah menjadi sebuah kekonyolan yang lugas dan memang patut diacungi jempol sebagai kecerdasan. Menikmati cerita “Kartu”, seperti kita menyaksikan tayangan Dagelan Mataram yang kini mulai langka, atau lawakan Srimulat yang konon sudah membubarkan diri, gulung tikar.
Begitu juga dengan cerita “Bau”, “Kacamata” dan “Ketiak”, permasalahan sederhana ternyata mampu memberikan daya pikat yang luar biasa. Sepertinya di tangan Bakdi sesederhana apapun tema itu mampu meninggalkan kesan, menggoreskan kejutan peristiwa di luar dugaan sebelumnya. Sekali lagi dengan gaya khas seorang Bakdi semua terkemas menjadi penuh kejenakaan, segar dan tahan lama.
Namun demikian bukan berarti tidak ada kisah serius yang membutuhkan perenungan dan solusi yang cermat. Dalam “Minten”, “Wajah” dan “Musilah Telah Mengusirnya…”, konflik internal seorang tokoh ditampilkan. Bagaimana pergulatan psikologis tokoh utama dalam menentukan alternatif pilihan pada kelangsungan hidup, meskipun ada yang kontroversial dalam menentukan pilihan seperti dalam “Musilah Telah Mengusirnya…”. Rupanya memang demikian yang harus terjadi ketika dalam perselingkuhan diharuskan untuk memilih. Inikah cinta buta itu? yang mengaburkan pikiran waras? Tampaknya inilah kenyataan, dan Bakdi sudah menuangkan kejujurannya.
Akhirnya, mungkin menjadi tidak berlebihan, kalau dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar di Fakultas Budaya Universitas Gadjah Mada, Bakdi Soemanto yang menyandang gelar Profesor itu menjadikan Kumpulan cerita pendek “Mincuk” ini sebagai tanda mata bagi para undangan yang menghadiri pengukuhannya tersebut.
***
*) Penulis adalah penikmat dan penulis cerpen, praktisi perbukuan, tinggal di Bantul.