Menyemai Sastra dari Ujung Timur Pulau Dewata

Nyoman Tusthi Eddy
Pewawancara: Asti Musman
balipost.co.id

BAGI kalangan sastrawan, Kepala SMU Amplapura Nyoman Tusthi Eddy cukup dikenal. Pria kelahiran Pidpid, Karangasem tahun 1945 yang menyemai sastra dari ujung timur Pulau Dewata ini sering menulis puisi dan artikel di sejumlah koran. Selain koran lokal, juga jurnal budaya yang diterbitkan di Malaysia dan Brunei. Dalam pengamatan penulis yang telah menerbitkan 16 buku sastra ini, dunia mengarang, seringkali dipandang sebelah mata oleh para siswa, dan orang awam pun menilainya hanya sebagai pekerjaan seorang seniman yang hobi melamun. Padahal, menurutnya, mengarang akan membuka lebih luas gagasan dalam pikiran kita yang bisa disampaikan dalam kerja sehari-hari. Apakah Anda, sidang pembaca, salah satu orang yang benci dengan pelajaran mengarang? Jangan menjawabnya terlebih dulu sebelum Anda membaca hasil wawancara Bali Post kali ini. Hasil wawancara ini juga disiarkan di Radio Global FM, Sabtu (26/4) kemarin.

PELAJARAN mengarang kembali diaktifkan dalam ujian nasional, apa komentar Anda?
Sebenarnya pelajaran mengarang dari dulu sudah ada. Cuma dalam tes evaluasi tahap akhir nasional sejak tiga tahun yang lalu tidak muncul dalam Ebtanas. Sejak tahun ajaran 2002/2003, pelajaran mengarang dimunculkan kembali. Kemunculan kembali pengajaran mengarang ini sebagai ujian praktik dalam rangka menyongsong pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi. Dalam kurikulum itu, setiap pelajaran yang dipelajari siswa bukan saja harus dipahami secara teori, tetapi juga harus mempunyai kompetensi atau harus benar-benar memahami bidang terapannya. Nah, untuk itu, kembali pada bahasa Indonesia, bidang terapannya yang paling jelas adalah mengarang.

Apa keuntungan mengarang?
Jika orang mengatakan bahwa mengarang itu adalah pekerjaan merenung, sastra adalah hasil renungan, itulah citra yang terjadi berpuluh-puluh tahun ada dalam masyarakat. Ini karena masyarakat kita hanya ada beberapa persen yang memahami sastra. Karangan sebenarnya merupakan pengungkapan kehidupan nyata. Karena itu tidak benar kalau karangan itu hasil perenungan. Keuntungan karang-mengarang itu banyak. Misalnya, di perguruan tinggi seseorang harus menulis skripsi, lebih tinggi lagi menulis tesis, lalu disertasi. Orang yang saat sekolah kesulitan mengarang, lalu terbawa-bawa hingga keperguruan tinggi. Di sana ia akan setengah mampu kalau menyusun skripsi. Ini saya buktikan pada banyak mahasiswa. Banyak yang mengatakan sulit menulis skripsi.

Nah, ini artinya ia kesulitan karang-mengarang. Sebenarnya menulis skripsi itu paling mudah. Saya berpengalaman menulis skripsi walaupun hanya skripsi sarjana muda. Menulis skripsi itu sangat mudah karena bahannya tersedia dan teknik menulisnya juga ada. Pola-polanya sudah disediakan, tuangkan saja, kan banyak juga pembimbing. Menulis puisi, itu yang paling sulit. Bisakah saudara mendapatkan puisi dalam tiga bulan? Belum tentu. Kalau saya menargetkan skrispi itu dalam enam bulan, jika bahan sudah ada dan outline-nya disetujui, jangankan enam bulan, tiga bulan saja sudah selesai. Dulu skripsi saya diberi target tiga bulan, tapi dalam dua bulan sudah selesai.

Lantas bicara soal kualitas guru yang kurang memadai, apakah peningkatan finansial akan menggairahkan mereka?
Saya kira tidak selalu letaknya di sana. Gaji guru berapa kali naik? Di era otonomi daerah tunjangan guru lebih banyak sumbernya, misalnya dari daerah dapat, dan ada sumber lain. Musyawarah Guru Bidang Studi juga diadakan. Tetapi mutu guru tetap tidak meningkat. Memang ia jalan, namun hanya jalan di tempat. Jadi bukan soal uang. Kebanyakan bukan soal itu. Kecuali jika mau seperti imbauan pemerintah, jika saudara jadi guru terpaksa, itu sudah diketahui oleh pemerintah. Sekarang saudara sudah terjun ke sana. Cobalah saudara berdamai dengan profesi guru. Sama dengan orang dikawin paksa. Kalau mau dua atau tiga tahun tumbuh cinta antara keduanya, baguslah. Tetapi kalau sudah punya anak dan masih ada sekat yang sulit ditembus, pada akhirnya ia akan cerai. Baik itu cerai kamuflase atau cerai beneran.

Di sisi lain, Anda juga suka menulis puisi, apa keuntungannya?
Jawabannya, menulis puisi itu tidak punya arti apa-apa. Tetapi sebagai manusia, bagi saya, menulis puisi itu ada artinya. Sama saja, artinya jika manusia hanya mengurusi perut dan maunya enak tidur, itu artinya manusia itu tidak berevolusi. Manusia berevolusi itu bukan hanya fisiknya, namun juga mentalnya tahap budayanya juga berevolusi. Jika ada yang mengatakan, pak tidak ada gunanya menulis puisi, itu hanya klangenan. Jika ada yang mengatakan demikian, maka banyak hal di kebudayaan manusia ini tidak ada gunanya. Apa gunanya kesenian? Apa gunanya main layang-layang? Apa gunanya agama? Orang yang enggak beragama juga sehat-sehat, misalnya di Rusia zaman dulu, memang benar fisiknya sehat, namun bagaimana dengan jiwanya? Puisi adalah salah satu skrup yang mencirikan manusia adalah manusia. Itu hasil kebudayaan.

Dalam buku CD Louise diinterpretasikan tentang orang yang cacat fisik, maka untuk mengkompensasikannya mereka menulis puisi. Mengapa? Dengan menulis puisi-puisi mantra karena fisiknya tidak berjalan normal, mentalnya normal, maka puisi-puisinya memiliki tuah. Secara magis bisa dinikmati. Misalnya, panah-panah dibacakan puisi sebelum dipakai berburu. Sehingga apa yang diharapkan akan terjadi dalam kenyataan.

Lantas, pendapat Anda melihat perkembangan puisi saat ini?
Perkembangan puisi saat ini sangat kompleks. Ini beda jika dibandingkan awal saya menulis di Bali Post, karya-karya lebih seragam. Tema yang dipakai saat itu lebih banyak tema sosial atau filosofi kehidupan. Sedangkan sekarang, tema sosial memang ada, namun lebih mengarah ke protes. Struktur atau komposisi puisinya juga jauh lebih kaya dibandingkan dulu. Pada tahun 1970 hingga 1980-an puisinya masih konvensional, tidak jauh dari gaya puisi Angkatan 45. Sekarang rasanya hampir tidak dapat terdeteksi lagi.
Hanya Bali Post yang konsisten menerbitkan puisi.

Apakah ini mengkhawatirkan karena media lain tidak melakukan hal itu?
Ya, sebagai penulis puisi, itu memang kurang sehat, cukup mengkhawatirkan. Seharusnya semua media sekarang ini memberikan ruang pada itu.

Bagaimana dengan perkembangan puisi yang ditulis dalam bahasa Bali?
Sebelum ada putra Bali yang menerima hadiah Rancage, puisi-puisi berbahasa Bali yang dimuat di Bali Post memang kurang menggembirakan. Puisi hanya dipakai untuk menutup ruang kosong. Tetapi setelah sekitar delapan orang putra Bali yang menerima Rancage, pemuatan sastra Bali modern di Bali Post semakin bagus. Memang biasanya yang diprioritaskan yang berbahasa Indonesia, namun bagi saya itu tidak masalah, sama saja. Bahkan dulu ketika Saba Sastra Bali membuka ruangan di Bali Post, di sana spesial satu halaman untuk sastra Bali, baik cerita pendek, kajian dan puisi.
***

Anda akan tetap tinggal di Karangasem?
Saya ingat ketika pak Fuad Hasan menjadi Mendikbud, saya pernah meminta rekomendasi buku saya “Mengenal Bali Modern”. Lalu beliau menulis surat pada saya, “Dik Tusthi, saya tahu Karangasem, saya pernah berkunjung ke sana. Sebaiknya Anda tetap saja tinggal di Karangsem! Jangan berlatah-latah setiap penyair harus pindah ke Jakarta. Tinggallah di Karangasem, karena daerah itu kondusif, masih murni”.

Tetapi sebenarnya ada alasan lain, mengapa saya tidak pindah ke mana-mana. Karena saya guru, saya pikirkan masalah finansial. Dengan gaji seperti sekarang, saya bisa makan pasir di Denpasar! Kedua, saya ingat teori kreativitas. Di mana pun dia tinggal, dia akan tetap kreatif. Dalam biografinya Boris Pasternak, saat ia akan mapan sebagai pengarang, ia kembali ke desa. Dari sana ia mengarang. Saya lihat juga pengarang-pengarang yang lain. Misalnya seperti Umbu Landu Paranggi yang sekarang sangat membenci Yogya, katanya Malioboro sudah bukan Malioboro lagi. Bahkan Wianta juga kembali ke desanya. Jadi, di mana pun ia sebenarnya bisa berkreativitas. Ini bukan egonya seniman.

Anda guru dan juga seniman tulen, bagaimana upaya merangkum keduanya?
Saya rasanya bukan seniman tulen. Saya sedikit seniman palsu. Yang namanya ilham, namanya kreativitas, sering saya korbankan di meja kerja saya di sekolah. Ini contoh nyata, sekali waktu ketika saya mengerjakan tugas-tugas dinas, misalnya saya diobsesi oleh ilham untuk menulis cerpen saya segera menulis. Karena mencatatnya tidak suntuk dan saya masih tersita perhatian dengan tugas dinas, maka ketika saya lihat catatan itu kembali ilhamnya bisa hilang.

BIODATA
Nama : Nyoman Tusthi Eddy
Tempat/tgl lahir : Pidpid, Karangasem, 12 Desember 1945
Nama istri : Ni Nengah Wijani
Nama anak-anak : I Gede Agustina Adi Sumantri
Made Lily Hermayanthi
Ketut Budi Sastrawan
Putu Dedy Ariawan

Pekerjaan :
Kepala SMU Saraswati Amplapura
Asisten Dosen Universitas Mahasaraswati Denpasar Kelas Eksekutif di Amplapura/FKIP
Ketua Seksi Sastra Nasional Listibiya Kabupaten Karangasem
Penulis puisi, cerpen, esai, artikel dan resensi buku di Bali Post, Suara Karya, Kompas, Horison, Basis, Warta Hindu Dhrama, Sarad dan sejumlah media lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *