Tutup Ngisor : Kesenian sebagai Daya Hidup

Sunardian Wirodono
kr.co.id

SELALU ada gerak kesenian, di Tutup Ngisor, sebuah dusun dengan 182 jiwa yang terletak di desa Sumberan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Apalagi setiap pertengahan bulan Suro (Muharram, kalender Jawa-Islam), yang tahun ini jatuh pada minggu terakhir Maret 2002.

Hampir seminggu, Tutup Ngisor ingar bingar oleh irama musik perkusi yang menghentak. Oleh kaki-kaki berbalut gentorak, gemerincing membentuk irama dan komposisi-komposisi sederhana namun rampak. Para pemain musik, juga penari, serta penontonnya, adalah penduduk setempat dan sekitar. Mereka adalah petani, buruh penggali pasir, pedagang pasar, tukang ojek, penganggur, pembuat alen-alen ketela, pembuat tempe kedelai. Mereka berganti peran begitu rupa, tanpa upacara. Beberapa tahun terakhir, sumbangan acara datang dari berbagai komunitas kesenian di luar kota, seperti Yogyakarta, Sala, Surabaya, Jepara, dan lainnya.

Semua itu berlangsung tanpa ada kepanitiaan, emblim, cap, bahkan sponsor. Semuanya swakarsa, swadana, swadaya, swakelola. Pengumbang acara datang sendiri-sendiri, dari berbagai desa, menunjukkan kebolehan mereka bermain musik, menari jathilan, atau bahkan memainkan komposisi Sureng dalam trunthung (rebana kecil), yang dilakukan baik laki-perempuan, dari anak kecil hingga orangtua, yang latar belakangnya beragam pula.

Dua mobil pickup dengan bak terbuka, mengantar sekitar 50 orang dari Pakis, malam-malam, menembus jalan tak begitu mulus. Dari desa yang terletak di sebelah timur wilayah Magelang, menuju ke Tutup di wilayah selatan Magelang. Tidak ada honor untuk mereka, bahkan bisa dipastikan mereka nombok biaya, untuk latihan, dan bahkan mungkin beli jas rombengan, juga tentu saja bensin untuk dua pick-up itu.

Sementara itu, seorang anak kecil yang tergabung dalam wayang bocah (karena dimainkan oleh bocah), terpaksa menahan rasa sakit, sampai pentas selesai, untuk kemudian ia pingsan, hanya karena ingin menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam pentas itu, sebagai Raden Gatotkaca dalam “Mustokoweni Maling”.

Sementara, dalam ingar bingar seminggu itu, makanan dan minuman terus mengalir. Tak ada hentinya, seolah tak boleh ada gelas yang kosong pada para tamunya. Dari mana semuanya itu, mengingat mereka rata-rata adalah petani dan buruh miskin? Ternyata, dari penduduk sekitar lereng mereka (bahkan sampai Boyolali), mengirim berbagai kebutuhan itu, menurut kemampuan mereka. Ada yang membawa kayu bakar, roti, telor, ayam, jajan pasar, hasil panenan, ketela, gula pasir, dan lain sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa Rama Yasa (pinisepuh Tutup Ngisor) almarhum, masih turut menjaga keselamatan dan keselarasan masyarakat lereng Merapi.

Sementara itu, di sela-sela kegiatan, mengobrol dengan Bambang Santosa (penggerak kesenian di Tutup, anak Rama Yasa), bukan hanya melulu membicarakan solah dan rampaknya komposisi. Melainkan juga mengenai harga cabe yang sekilo Rp 3000. Atau sehari setelah perayaan usai, Sitras Anjilin, adik Bambang yang diyakini sebagai pewaris dan penerus Rama Yasa, memetik cabe di ladang bersama isterinya. Padahal, dalam perannya pada setiap ritual kesenian di Tutup Ngisor, sosok Sitras adalah orang yang didengar, dihormati, diikuti.

Kenyataan lain menunjukkan, usai “art festival” itu, orang-orang yang tadinya menabuh gamelan, drum, meniup terompet, menari jathilan, atau berlagak jadi Panembahan Senopati, kembali dalam peran kesehariannya. Kembali membuat kursi, bertani, memetik cabe, mencangkul di sawah, membuat tempe kedelai atau lempeng ketela, menggali pasir, dan sebagainya. Tak ada beban.

Dan kenyataannya, hampir dari 182 jiwa penduduk Tutup Ngisor, yang terbagi dalam dua RT (Rukun Tetangga) itu, secara fisik dan rohani, hidup dalam kesehatan dan kebahagiaan. Mereka hidup rukun dan damai, aman sentausa. Tak ada rumah yang dikunci, tak banyak rumah yang mempunyai kamar mandi dan WC. Toh Pak Dukuh bilang, rakyatnya tidak terserang penyakit yang aneh-aneh. Bahkan, penduduk usia lanjut, 80-an tahun ke atas, banyak ditemui masih beraktivitas, sebagaimana yang muda, bekerja di rumah atau di sawah.

Sementara itu, liputan media pada wilayah ini, membuat Tutup Ngisor dikenal luas. Itu pula yang menyebabkan, wilayah ini didatangi beberapa orang luar. Interaksi yang terjadi, berjalan mulus, karena orang Tutup Ngisor merasa yakin, bahwa tradisi yang mereka pegang, adalah tradisi yang menghargai hubungan-hubungan dengan pihak luar. Sehingga kesenian sebagai kata kerja, sebagaimana diistilahkan Umar Kayam (almarhum), menemukan bentuknya di sini.

Berbagai idiom dan “ideologi”, bukan bertabrakan, tapi ditekuk habis, dan dipertemukan dalam berbagai garapan kesenian yang dipamerkan di Tutup Ngisor itu. Melihat Tutup Ngisor, adalah melihat konsep post-modernisme diterapkan dan dipraktikkan tanpa ingar-bingar serta juru-bicara.

Kesenian, ternyata, adalah sesuatu yang biasa saja, sederhana saja, dan tanpa harus dilakukan dengan penuh ketegangan, intrik, disiplin dan perfeksionisme khas modernis. Persoalannya sangat manusiawi, ialah soal suka dan tidak suka, tetapi terserah pada masing-masing pilihan. Ketiadaan ikatan, juga berbagai pengkotakan, membuat semuanya bisa berlangsung sebagaimana fungsi kesenian itu sendiri. Membebaskan manusia dari belenggu, dan memberikan inspirasi bagi tumbuhnya daya hidup manusia sehari-harinya.

Yang bernama kesehatan, ujar Sitras Anjilin tetua adat Tutup Ngisor, bukanlah hanya dalam konsep dan pengertian fisik atau raga. Kesehatan juga menyangkut kerohanian, kebahagiaan, kesenangan. Dan kesenian, mengelola kesehatan fisik dan rohani itu secara berimbang. Hal tersebut, bisa mendorong tumbuhnya kehidupan dan pandangan hidup yang selalu memperbaiki dirinya. Dalam hal ini, manusia mesti sadar dan membatasi keinginan atas kemampuannya, agar ia tidak menjadi buto (raksasa, hedonis), yang menghalalkan segala cara, mengeksploitasi diri dan alam, tetapi tidak memiliki kesempatan mengeksplorasi diri dan alam.

Bisa jadi, masyarakat Tutup Ngisor mendengarkan ujaran itu. Tetapi yang membahagiakan, tidak ada eksklusif di Tutup Ngisor. Sebagai masyarakat terbuka, daya adaptif mereka luarbiasa, meneguhkan pengertian perubahan dalam konteks kebudayaan. Yakni, membiarkan terjadinya aksioma, simbiose, dan dialektika, menuju pada sintesa-sintesa kebudayan itu sendiri. Jika banyak warna muncul di Tutup Ngisor, itu karena kesadaran pergaulan mereka. Mereka tidak hanya sadar untuk diambil, tetapi juga untuk mengambil. Dinamika ini yang membuat kesenian di wilayah ini, bukan menjadi sesuatu yang menegangkan.

Aliran modernisme, telah banyak terbukti, tidak mampu menjawab berbagai fenomena kehidupan dan fenomena kebudayaan. Dalam berbagai aras pengetahuan seperti ekonomi, politik, arsitektur, filsafat, medis, pendidikan, seolah mengalami kebuntuan, karena formalisme yang mereka kukuhi. Modernisme pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang terbelenggu dengan formalisme, dan tidak mampu membebaskan diri untuk secara terbuka dan afirmatif melihat dan mendengarkan sekelilingnya.

Tutup Ngisor memunculkan fenomena lain, yakni sebuah tipologi yang berbeda dengan berbagai definisi yang pernah kita kenal. Pada mereka, kesenian adalah sesuatu yang inheren, bagian integral, tak terpisahkan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Namun berbeda dengan masyarakat Bali, masyarakat Tutup Ngisor tidak berada dalam posisi mengeksploitasi, demi dollar atau turis mancanegara yang menontonnya. Kesenian, pada sisi yang lain, memang lebih merupakan konsep ritus, menciptakan ruang atau media, bagi terjadi interaksi berbagai energi alam yang melingkupinya. Itulah mengapa “festival kesenian tahunan” di Tutup Ngisor dijatuhkan pada bulan Suro, lebih karena pendekatan ritualnya yang kuat.

Mereka percaya, dari media kesenian itu, alam akan berbaik hati memberikan inspirasi bagi hidup dan energi mereka. Dengan kata lain, mereka berkesenian karena memang harus berkesenian. Bukan untuk mendapatkan honorarium, popularitas, atau berbagai efek sebagaimana kalangan modernis memperlakukan. Berkesenian adalah untuk kebahagiaan, kesentausaan lahir-batin, dan karena itu hidup harus diberi makanan bernama kesenian itu.

Dalam lingkungan fikiran modernis, alangkah tampak, bagaimana kesenian selalu disemarakkan dengan dialog-dialog filosofis. Di situ nuansa ambiguitas seni menjadi muncul secara nyata: Yakni inferior namun unik, apalagi dengan menepisnya daya mitis-ritual di dalamnya.

Dalam kehidupan keseharian juga tampak jelas. Kesenian kemudian bukan lagi menjadi sebuah paradigma mayor, yang dapat mengkonstalasi secara utuh unsur-unsur kehidupan. Ia kemudian hanya disadari penting di dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak menemukan kalimat yang secara operasional bisa menjelaskan. Hingga akhirnya, ada penerimaan, bahwa jika pun tidak untuk masyarakat, kesenian tetap eksis di dalam setiap diri manusia secara individual.

Tegangan formalisme, memang akan riuh dengan pendefinisian, paradigma dan prasyarat-prasyarat serta tolok-ukur. Kesenian menjadi kelebihan beban, dan tidak lagi sederhana, spontan, naluriah. Apalagi seni kemudian sering dipahami sebagai sesuatu yang sukar untuk disentuh, didefinisikan atau diterjemahkan dengan bahasa yang tunggal. Apalagi munculnya keyakinan bahwa seni mampu mentransendensikan kenyataan.

Para penganut Plato sangat meyakini, seni adalah alat untuk penghalus budi, yang mampu mengendalikan nafsu duniawi, dan berdimensi sorgawi. Sekali pun Plato sendiri mengatakan, seni adalah sebuah mimesis terhadap alam. Dan (masih kata Plato), kalau alam itu sendiri adalah mimesis dari dunia ide, maka dari seni tidak mungkin kita bicarakan kebenaran atau “ketepatan”.

Lantas, bagaimana masyarakat Tutup Ngisor memahami kesenian dan seni? Mereka sendiri tidak mengerti, dan tidak mampu menguraikannya. Dan itu tidak penting. Karena, lebih penting lagi ialah mereka terlibat dalam kesenian, sama intensnya ketika mereka terlibat dalam kehidupan keseharian. Mereka memperlakukan kesenian itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Tak ada yang bisa menjabarkan, apa yang mereka harap dari media kesenian yang mereka lakukan itu.

Tapi tak penting definisi itu, karena lewat kesenian itu pula, eksistensi mereka, energi mereka, kebahagiaan mereka, mimpi mereka, terpenuhi. Dan itu telah merangsang tumbuhnya kromosom dalam adrenalinnya. Sehingga dengan demikian, sel darah putih dan saluran darah merah, selalu terpompa lancar. Dan hasilnya, nyata, bahwa kesenian berguna sebagai daya hidup mereka. Keyakinan itu, tak perlu mereka konfirmasikan pada ahlinya. Toh Rama Yasa dulu selalu mengajarkan bahwa kehidupan dan kesenian, haruslah berjalan bersama-sama.

Jika banyak wilayah memakai model Tutup Ngisor, membudidayakan kesenian sebagai kebutuhan kehidupan dan hidup itu sendiri, sesungguhnya kita tak perlu cemas, akan masa depan bangsa dan negara ini. Yakni, munculnya manusia yang terbuka, berbudaya, dan menghargai orang lain.!

Jakarta-Tutup Ngisor-Yogyakarta, April 2002.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *