Mustafa Ismail
http://www.korantempo.com/
Cerita menjadi eksotik karena berlangsung di dunia pesantren.
Ini persoalan perempuan. Perempuan Berkalung Sorban bercerita tentang Annisa (Revalina S. Temat) yang berjuang untuk keluar dari “ketertutupan” pesantren, tempat ia dilahirkan. Annisa adalah anak Kiai Hanan (Joshua Pandelaky), pimpinan Pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur, yang konservatif.
Kiai Hanan berprinsip: perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Maka, ketika Annisa kecil terpilih sebagai ketua kelas di pesantren itu, pengajarnya lebih memilih menunjuk anak laki-laki yang mendapat perolehan suara di urutan kedua. Begitu pula ketika Annisa ingin melanjutkan kuliah di Yogyakarta, sang ayah juga melarang.
Bahkan, lebih jauh, Annisa mesti menuruti kehendak sang ayah untuk menikah dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak kiai di Pesantren Salaf, pesanteren terbesar di provinsi itu. Kenyataannya, sampai di sini, Annisa tidak dapat menolak. Ia justru makin terpuruk dalam rutinitas hidup dan perilaku suami yang menyebalkan.
Namun, ia terus berusaha keluar dari sana. Lalu, pada puncak kekalutannya, Khudori (Oka Antara) pulang dari sekolahnya di Kairo. Lelaki ini ialah paman Annisa dari pihak ibu, yang cukup dekat dan dicintai Annisa. Kehadiran Khudori menjadi titik penting yang membalikkan fakta hidup Annisa.
Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy. Abidah (kelahiran Jombang, 1 Maret 1965) dikenal sebagai sastrawan produktif. Mantan santri ini menulis puisi, cerpen, dan novel. Novelnya Geni Jora memenangkan juara dua sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Perempuan Berkalung Sorban adalah novelnya yang terbit pada 2000.
Mengambil latar sekaligus persoalan di dunia pesantren, Perempuan Berkalung Sorban dengan telak mengkritik hegemoni laki-laki. Ia sekaligus mengoreksi pemahaman sempit sebagian penafsir agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi subyek yang merdeka, mandiri, dan harus terus dituntun oleh laki-laki.
Sebetulnya, persoalan hegemoni laki-laki dan kekerasan terhadap perempuan bukanlah tema baru. Persoalan serupa kerap dihadirkan, baik di layar lebar maupun layar kaca. Bedanya, sinetron-sinetron itu lebih banyak menyajikan hegemoni tanpa ampun dan perempuan betul-betul berada di pihak yang lemah. Perempuan dikesankan sebagai makhluk lemah yang terpaksa menerima apa pun terhadapnya.
Begitu pula cerita perjodohan: sebetulnya ini mengulang klise Siti Nurbaya. Tapi, itu menjadi eksotik karena kejadian itu berlangsung di dunia pesantren. Ini sesuatu yang jarang diangkat ke dalam dunia kisah maupun layar sinema. Ditambah lagi perempuan tersebut adalah sosok yang tidak pernah menyerah pada keadaan yang menekannya.
Tokoh dalam film ini memang mewakili generasi perempuan cerdas, kritis, dan punya impian besar. Sikap semacam ini bukan tanpa dilema. Ia dihadapkan pada persoalan antara memperjuangkan keterbukaan, semangat untuk maju, dan cap membangkang pada agama–meskipun sebetulnya yang didobrak adalah tafsir agama, bukan agama itu sendiri.
Dari sisi ide, film ini bisa menghadirkan narasi yang cukup lugas meskipun dalam beberapa hal ada yang terasa berlebih karena “mengatakan” sesuatu secara berpanjang-panjang. Misalnya, adegan pelemparan Annisa dan Khudori yang dituduh berzina sebetulnya bisa dipadatkan. Klimaks juga terjadi lebih dari satu kali.
Alhasil, hal tersebut membuat film ini menjadi begitu panjang: lebih dari dua jam. Untungnya, kemampuan akting para pemain dan gambar-gambar yang ditampilkan lumayan membuat mata tidak sampai terpejam.
Perempuan Berkalung Sorban
Jenis Film: Drama
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis naskah: Hanung Bramantyo, Ginatri S. Noor
Novel: Abidah El Khalieqy
Pemain: Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian, Ida Leman
Produksi: Starvision