http://oase.kompas.com/
Sakitnya Melahirkan Kesadaran
Aku berlari di hatimu Karena takut kata-kataku mengering Kegersangan, kedangkalan, dan kebingungan
Di pantai ketiadaan Hidup dari tubuhku yang berwaktu Walau masa lalu kejam Kekinianku lebih kejam
Baru sekarang aku kesakitan Melihat kematian kesadaran
Padahal sadar itu milikku Menyadari juga milikku Mengapa dibiarkan Tersandung kekinian
Hidupku menjadi sampah Mati dan terlempar Aku tak ingin terbunuh oleh diriku
Malam Tak berdetak melihat di tepi rindu Kesunyian yang mengitari tradisi Hidup di ruang waktu Akan hampa Jika kita tak mampu memberi roh pada mereka
Yogya, 2010
Rancak Gelisah
Rancak gelisah, Menunggu jawaban Di tengah suburnya buah ranum sarjana-sarjana Sementara atap kita masih rumit Sementara kulihat di dalam kamar Sepasang songkok hitam di dua sayap garuda Menoleh kekanan tak melihat apa-apa Dengan berbagai kegelisahan tak selesai Diam tak menghiraukan duri bangsa Ia tak seperti taring-taring penguasa yang tak memiliki makna
Kututup pintu samudera Namun, sang waktu, diharap menutup luka-luka Akibat kekalahan melawan kebiadaban bangsa
Agustus-September 2010
Parodiden
Sungguh rumit mengurai ketakmengertian gelombang yang bergerak merayu Mendekati rumah kata, ranum, berbunga di halaman mata Besi, kayu, tubuh, air, imaji, semesta, atau apa pun Parodithen[1] mampu merubah menjadi debu, tanah dan semangat kekinian Kebingungan, kegelisahan dan kerenyuhan Jika parodithen susah dicari
Gas, minyak tanah, tak mampu merubah Semangat tradisi, yang kini masih menjadi spiritual, substansial, dan kata
Tiap pagi berangkat mencari, mengambil Untuk memasak, mendukung kekeluargaan atau apa saja Tapi, kekinian juga tak mau kalah Mengular waktu, bermain teori Mengigit tubuh-tubuh parodithen Membunuh nafas tradisi Entah apa yang harus kita beri Untuk menjaga eksistensi
Kekinian benar-benar melawan tradisi Mengulari semangat kemewaktuan, tapi Parodithen masih sadar, menyadari dan jadi tradisi kesadaran Dalam menyimak arti kehidupan ibu, kita dan mereka
Yogyakarta, 2010
Nyanyian Kesunyian
sebab jendela terbuka dan wajahmu menemuiku di dua jarak di luar hujan terus menyampaikan kata dalam luka kekinian pada kalender yang terlepas di waktu kehilangan itu terus menempel pada dinding. menyisakan jejak kebersamaan musim amis tercium permainan
yang terbayang dari kini keramaian gelisah. kematian rasa. menjadi bahasa yang tak sempurna tak kubiarkan buram kelam di jalanan pulang menjadi basah pada gambargambar itu di dalamnya: terlukis parodiden terpanjang
Yogyakarta, 2010
*Penyair yang lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura, ini adalah alumni Al-In’Am dan MA Al-Karimiyyah. Ia aktif menulis di media lokal dan nasional. Kini, ia menjadi koordinator Ikatan Keluarga Alumni Al-In’Am Yogyakarta (IKA Al-In’Am Yogya). Penyair yang tinggal di Yogyakarta menulis dalam buku puisi antologi bersamanya, “Puisi Menolak Lupa” (Obsessi Press, 2010) dan “Madzhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010).