Award NgeSeks

M.D. Atmaja

Pagi ini matahari cerah tidak seperti dua hari berturut sebelumnya. Hangat menerobos tirai, namun udara tetap begitu dingin membuatku terus mendekap lutut mencapai kehangatan. Di langit, menggantung derum mesin pesawat yang seolah hanya memutar-mutar, seperti tawon raksasa. Terus menggantung, merecoki kicau burung yang jelas lebih bermanfaat untuk jiwaku.Percakapan semalam, dengan kawan lama masih juga terasa sisanya. Kental. Seperti cairan di tenggorokan yang tidak mau pergi. Bercokol dengan selembar pembalut resah yang masih juga tidak dapat dimengerti. Kawan lama hadir bersama dengan keterangan-keterangan yang sungguh tidak masuk akal. Menamparku, kesadaranku, identitasku, diriku sendiri ini.

“Hahaha… dia itu pemenang Award NgeSEKS.” Ucap kawanku itu dalam tawa menggelegak, bersombong diri atas pengetahuannya.

“Award Ngeseks?” tanyaku menegaskan keraguan.

“Iya. Banyak juga yang mengatakan seperti itu. Bersebab, dia mendapatkan penghargaan itu dari cara dia berekplorasi dengan seks. Dia juga menempatkan perek di posisi yang sewajarnya.”

“Heh, perek?” sahutku cepat. “Makanan apa lagi?” lanjutku dalam hati, sedikit malu karena tidak tahu dengan istilah perek itu.

“Perempuan-Eksperimen. Perempuan yang suka bereksperimen dengan seksualitas.”

“Lha, baik itu. Bereksperimen untuk mendapatkan gaya baru kan tidak masalah.”

“Nah, karena ingin dengan gaya baru itu, dia bereksplorasi dalam salah satu cerpennya. Cerpen itu juga sempat memenangkan sayembara dan konon, juga mendapatkan penghargaan dari luar. Memperjuangkan gender sebagai apresiasi dari perempuan. Pembebasan. Menunjukki dirinya sendiri sebagai perek… hahaha…”

“Aku gak dong. Maksudnya apa?”

Ucapan kawan lama itu, baru pagi ini juga dapat aku serap. Semalam terlalu lelah untuk berpikir aneh-aneh. Perek, ekperimen seks, atau menyoal award ngeseks itu. Yah, aku sempatkan diri membaca bagian-bagian yang sudah disebutkan. Di sana memang begitu banyak permainan seks. Gamblang. Tidak rapi, kalau istilah pelacur itu, dia tidak main cantik yang dapat membuat pelanggan kapok.

Sebentar, award ngeseks? Eh, sebentar, dengan menjual berahi, membuka selangkangan, lantas dia mendapatkan penghargaan dan predikat sebagai suara perempuan? Wah, gak bener ini. Ngawur semua kalau kayak gini. Perjuangan perempuan itu bukan menyoal selangkangan dan eksperimen… seks.

Katanya cantik, ah tidak juga. Sama pelacur yang pernah aku pacari saja lebih cantik pelacur itu. Eh, sebentar, meskipun dia pelacur, belum pernah aku mengangkangi selangkangannya. Dan selama ku bersamanya pun, tidak pernah aku mendengar ucapannya yang mengarah ke sana.

“Dia perempuan yang ayu.” Ucap temenku itu lagi yang tiba-tiba saja datang. “Karena ayu-nya itulah, cukup memukau beberapa pihak kemudian menyebut wangi.”

“Apanya yang wangi?” sahutku cepat tidak menerima kenyataan. “Penilaian darimana kalau mengumbar nafsu, tapi dijuluki pejuang emansipasi perempuan? Apa dasarnya? Apa dengan menyuguhi orang umum dengan kemaluannya itu, bisa membuat kaum perempuan bebas apa?”

“Hahaha… kalau tidak wangi ya berarti wani, jadinya sastra-“wani” karena memang wani, berani, bertelanjang dengan dirinya sendiri. Setidaknya dia lebih jujur ketimbang kamu, Din.”

“Heh?”

“Jujur dengan hasrat seksualitasnya itu.”

“Aku jujur, tapi tidak perlu orang tahu soal itu.”

“Karena kamu munafik.” Sahutnya lagi.

Semprul. Sialan. Mau munafik atau tidak, perjuangan perempuan itu bukan masalah posisi seks. Di atas atau di bawah, atau di samping kiri-kanan. Pelacurku itu, yang sekarang sudah jauh, pun tidak pernah mengata-ngatakan semua itu. Kacau. Semuanya kacau.

Kembali aku berusaha membacai tulisan perempuan itu. Bilang saja, mencapai sesuatu kebenaran lain menurutku sendiri. Yah, hanya menurutku sendiri saja. Tapi, oh, kenapa jadi seperti ini? Kenapa aku jadi terbayang tubuh perempuan ayu itu? Saat ber, oh, kok jadi terlintas lagi. Bagaimana ini, kacau semua. Kok jadi ingin bertemu untuk membuktikan award ngeseks-mu, Cah Ayu.

“Tapi Cah Ayu, apa kamu berusaha menjadikan bumi yang kucintai ini sebagai bumi milikmu, yang lebih rendah dari pelacur? Sebab pelacur menjual tubuhnya demi bertahan hidup. Sedangkan kau, Cah Ayu?

[masih di] Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 2011.

Bahasa »