Han Gagas
Minggu Pagi Jogja, 1 Mei 2011
Ia tak melihat, sehelai daun melayang dengan pelan dan lembut, sedikit memutar, lalu rebah di bahu kirinya. Daun itu masih saja bergerak pelan, ketika ia menoleh ke kiri, dan melekatkan matanya lebih kuat pada sesuatu yang gelap di sana.
Sesaat setelah kepala gadis kecil itu kembali bergerak ke depan, sehelai daun itu telah menetap dengan baik di posisinya, di atas bahu kecil nan rapuh itu, sepertinya getah telah membuatnya begitu lengket.
Gerimis mulai jatuh satu-satu, sebagian menimpa pohon kurus yang tegak di samping kiri gadis kecil itu, dan sebagian menimpa tiang lampu yang berpendar terlalu halus di sebelah kanan. Kelam perlahan-lahan menyapu, menyuramkan sepasang kaki dan tangan gadis kecil yang memegang payung. Tiang berlampu suram dan pohon kurus yang mengapitnya terpasak dengan enggan.
Ia membuka payung, dan dengan tangan kanannya mengangkat payung itu tak terlalu tinggi di atas kepala.
Kepala gadis kecil itu bergoyang seperti kelinci yang resah lalu menoleh ke belakang. Sejenak kemudian, kakinya telah melangkah mundur sejengkal. Saat tubuhnya menekuk duduk di bangku belakang tiang lampu, kabut mulai berpendar, ia menoleh ke kanan, gelap juga membentang di sana.
Kepalanya kembali menatap lurus ke depan, hanya terlihat siluet jalan yang panjang meliuk-liuk. Lampu berjajar di beberapa titik di kanan kiri jalan tapi cahayanya begitu muram, memberkas pada dedaunan cemara dan menimpa pada batangnya yang berdiri teratur, membuat bentangan bayang yang samar-samar di jalan.
Hujan rintik-rintik makin kerap jatuh, terdengar seperti kecipak air dari arah sungai. Saat ia merasa telah begitu lelah menanti, kabut perlahan-lahan menyapu pandangnya, dan ia makin tak mampu melihat jalan dengan jelas.
Ia selalu merasa ada bayangan ayahnya yang gelap di sudut kanan sana, dan ada bayangan ibunya di ujung kiri yang jauh. Saat itu, ia tak ingin berpikir terlalu keras untuk melangkahkan kakinya ke kanan atau ke kiri, ia ingin seseorang diantara mereka datang menjemput. Namun sebenarnya, ia lebih ingin melihat sorot lampu dari sepeda yang dikayuh memancar mengenai tubuhnya, sepeda meluncur pelan dari jalan yang meliuk-liuk itu.
Kakinya telah pegal sejak sore tadi. Kenapa tak ada yang mengalah untukku? Saat kepalanya mulai mengingat tentang isi pertengkaran yang terjadi diantara orang tuanya, ia merasa melihat sebuah benang yang melayang demikian lembut mengenai bahunya, perlahan benang itu bergerak dibawa angin menyusuri jalan yang meliuk-liuk di depan.
Ketika benang tadi melintasi tubuhnya, ia menyadari ada sehelai daun yang lelap di bahu kiri, tapi pikirannya tak cukup untuk memperhatikan, dan sepertinya, matanya memilih terpaku menatap benang itu yang perlahan menjauh.
Benang itu masih melayang dengan ujungnya yang menyentuh tanah, dan ketika kepalanya sedikit mendongak, gadis kecil itu tahu bahwa benang itu berasal dari layang-layang yang tengah putus. Alangkah kagetnya dia, wajah adik kembarnya, Myrna -bocah yang lenyap tersedot pusaran sungai, melintas dengan wajah pilu di layang-layang itu.
Serentak kedua kakinya berlari mengejar benang layang-layang yang menyusuri kelok jalan. Wajah Myrna melintas pergi dan kembali di layang-layang itu seiring tebal tipisnya kabut dan kelamnya malam yang mulai memasang mantelnya. Namun, ketika gelap begitu sempurna, di mata gadis kecil itu, layang-layang itu begitu benderang, dan wajah Myrna tersenyum beku, apakah udara di atas sana membuatnya begitu kedinginan.
Gadis kecil itu terus berlari dan mulai menyadari bahwa payungnya harus ia tinggalkan agar lebih kencang mengejar. Sesaat setelah payungnya jatuh tergeletak begitu saja di rerumputan jalan, tangan gadis kecil itu berhasil meraih benang layang-layang.
Dan, ketika tangannya menggenggam benang itu, suasana yang ditinggalkannya di belakang menjadi kelabu, pohon-pohon cemara di sepanjang jalan menghitam, dan udara terasa begitu dingin menggigit tulang. Untuk beberapa saat ia merasa ada sesuatu yang melintas seperti bayangan Tuhan atau mungkin setan sehingga membuat bulu kuduknya berdiri, rambut-rambut halus di tangannya menegak, dan pori-pori kulitnya memeka.
Ia tak tahu, ia hanya merasa ada sesuatu yang aneh pada saat benang itu berhasil digenggam. Saat kepalanya memikirkan perasaan aneh yang tiba-tiba datang itu, hatinya kembali berbunga manakala wajah adik kembarnya muncul di layang-layang lagi dan memberi senyum yang paling renyah, lalu tertawa begitu lepas. Ia menarik benang, tapi alangkah beratnya layang-layang itu, dan perasaan aneh kembali datang sesaat setelah tangannya begitu lengket di benang itu, rekat tak bisa lepas.
Ia heran, tak menyadari bahwa sepasang kakinya perlahan naik sedikit demi sedikit. Ia baru mengerti bahwa dirinya terangkat oleh benang layang-layang itu, pada saat matanya melihat pohon-pohon cemara yang pelan-pelan ia tinggalkan di bawah. Kakinya melayang, tubuhnya begitu ringan, serasa kapas, terbang-meninggi, meninggalkan pohon-pohon cemara yang tampak seperti bayangan hitam raksasa.
Tiba-tiba, bayangan raksasa itu meliuk-liuk makin lama makin tak beraturan. Terdengar bunyi mendesing di sekelilingnya, udara yang tadi teramat tenang berubah kalang-kabut, air jatuh menjadi kerikil-kerikil batu, sampah plastik berterbangan, angin menderu di sekelilingnya, badai gasing memutarkan tubuhnya, melemparnya ke mana saja, menyeretnya kemana saja, membetot apa saja.
Angin memusar membawanya pergi, menyeretnya menjauh dari sudut desa dengan pemandangan tiga fitur ganjil: tiang lampu muram, pohon kurus, dan kayu beranda tua. Ia tak mengerti bahwa ayahnya baru saja datang dari arah kanan mengayuh sepeda, begitu terengah-engah. Dari ujung terjauh di seberang, sebelah kiri, ibunya mengendarai mobil melaju demikian cepatnya.
Mereka tiba hampir bertabrakan.
Perempuan itu membuka pintu mobil, lalu membantingnya, ”Dimana anakku?!”
Lelaki itu menyandarkan sepedanya di pohon yang kurus itu perlahan-lahan, lalu mengatur napas yang seperti mau putus, ”Aku tak tahu, bukankah aku datang sesaat sebelum kau datang?”
Pada awalnya mata mereka seperti penuh amarah lalu tampak kebingungan dan perlahan kemudian pendar emosi itu mati sebelum menyalak kembali.
Mereka seketika dikagetkan oleh deru angin gasing dari langit berongga di utara sana. Angin memusar makin ke atas makin membesar, dedaunan terbang, sampah-sampah plastik, kertas, botol-botol, genting rumah, ranting-ranting, seorang bocah kecil, dan sebuah layang-layang. Semua berputar-putar terseret gasing angin.
“Anakku!” Jerit perempuan itu.
Mulut lelaki menganga seperti rongga langit itu, lalu tubuhnya lemas, lunglai.
Gadis kecil senang karena impiannya sejak bayi bisa terbang seperti burung dikabulkan Tuhan. Di kepalanya, ia menyimpulkan, bayangan yang meremangkan kuduknya tadi adalah Tuhan.
Ia tak tahu bahwa ayah dan ibunya menangis tersedu dalam pelukan hujan yang turun demikian deras. Mereka seperti orang yang baru bangun lalu si lelaki mengambil sepeda dan mengayuhnya dengan susah payah ke arah puting beliung yang begitu cepat berlari ke arah bukit, si perempuan tak kalah gesitnya menaiki mobil lalu menderu meninggalkan suaminya.
Gadis kecil tak tahu bahwa daun yang menempel di bahunya telah tersedot pusaran beliung itu, melayang-layang, berpusar bersama dirinya.
Graha Aksara-Solo, 21 Februari 2010.
Han Gagas, cerpennya dimuat pelbagai media massa daerah dan nasional seperti Merapi, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Republika, Suara Merdeka, Solopos, JogloSemar, Lampungpost, Gong, Global, Seputar Indonesia, Littera, dll. Menerbitkan buku: Sang Penjelajah Dunia (Republika, 2010), dan novel: Tembang Tolak Bala (LkiS, 2011). Mengelola Bengkel Sastra Cawe-cawe dan anggota redaksi buletin sastra Pawon Solo.