Puisi-Puisi Muhammad Rain

DARI LAUT

sajak ini dari laut
dikirim Sabang juga Rubiah
padamu bersarang di Banda
ombak mengekor kapal jadi buih
muram mengikut ceruk
sunyi pandangmu air membiru beku
langit nguapi siang sengit

ambillah apa yang sampai
rumahmu karang
dicambahi rumput labuhan

aku telah sandar
ke dalam jangkar hatimu
sedalam-dalamNya.

Berlabuh di Banda dari Sabang, 5 Juni 2011.

TEPIAN SABANG

di tanah Weh ringai mengombak deru air
bergeluncah menyuruki karang gayuti duri perdu
suara pecahan semesta angin mengendangi laut

harpa udara pecah sonarnya
memang seperti ini ketika sore menceracap tebing
suku-suku bercampur di segala losok
kelak di situ sulit membenahi keterpecahan
bandar makin ramai tika malam
orang-orang bercucuk sapa di tingkahi makanan laut

tenda-tenda ditadahi embun pagi
berdereng-dereng melintasi mata besuk
laju jalanan mulai hibuk
para peladang, tukang ikan dan tukang tambal
bersatu mengisi tepian Sabang
sebab sesungguhnya pulau ujung rambut negeri ini
tak punya daratan sehingga ia tak lupa daratan

burung dan pelanduk mengisi kosong sawah
bukit-bukit meninggikan letak pohonan
tak cukup diceritakan sebab melulu tepian
musti datang dan sampai
menyembelam ke dalam resam
menyandarkan kapal ke dalam rejam.

Pulau Sabang-Indonesia, 4 Juni 2011.

NYANYI SIUL

sederhana kupahami rindu ini
nyanyi siul dalam puisi
tangga-tangga mengajakku menuju atap
memandang dari pucuk rumah tonggak tiang
angin datang daun melambai
sore mendengar rimbun siul dari hutan bambu

ketajaman pandan wangi sampai sini
tanah yang turut menanam Melayu di tubuhku
langgam di ambang sore yang lalu
asa menyeberang jauh ke balik pulau

dari cerita-cerita penglipur lara
pintu-pintu sejarah kembali kubuka
menebarkan guratan kejayaan sastra lama
membuncahkan gairah dalam bertanya
kehidupan terus jalan seperti jua kata-kata

adakah lagi kutemui pujangga putih kasih
bersiul sepanjang ngarai dan lembah menuju cerlang
waktu-waktu hadir menemani petani mengolah sawah
siul bagai gembala yang dinyanyikan seruling bambu

aku rindu masa Fanshuri melarikkan cinta suci
aku rindu Amir Hamzah membuncahkan keindahan rasa
aku rindu Buya Hamka mendendangkan kisah putih dua insani

nyanyi siul ini
sampaikah padamu wahai
seperti kesamaan kita mencintai kesusastraan
menumpahkan gelisah di penghujung jaman.

Kamar Sajak, 23 Mei 2011.

HARI DEPAN

selagi darahku buncah akan kusongsong
biar lara jadi bendera
putih tiang dan perlambang aku sedia meradang

hari depan
seperti apakah engkau?
kucari dalam berlembar aksara cita
kharisma wajahmu meleburkan sendu sedanku

hari depan
alangkah tinggi hendak kugapai
rubungi aku dengan basuh matahari
balut wajahku lewat binar bulan

ke sisimu aku akan berada
wahai
hari depan
izinkan aku tetap pulang.

Kamar Sajak, 25 Mei 2011.

SUARA JIWA

kumasuki warna cinta
melarutkan suara jiwa
demi kasih dan sayang
makhluk bernama kekasih

kurumahi senyap sepi
merebahkan sedih lara
agar luap segala cerita
rindu-rindu wajah pencerah

datanglah pulang wahai
bersama arungi danau sukma
binarkan keteduhan bukitan
rimbuni tiap lekuk pendengaran

suara jiwa untukmu
berada serelung dalam
kedukaan pergilah
kebahagiaan datanglah
sapa dalam udara
demi satukan segala rasa
lewat nyanyian pualam sukma.

Kamar Sajak, 23 Mei 2011.

KUMPULAN WARNA LANGIT

langit sedang sepi putih polos
awan menepi rumah menganga terbuka
pilihkan siang panas meruncingi pengap
angin kini jadi penghibur
hapus peluh lelahku
runduk di pinggir dipan
melihat ke seberang cahaya
sungai mengalirkan ikan
ikan berada dalam gerbang angkasa tanpa awan
menepiskan gerah memandang langit berkilau
di atas air yang terus kembara

junjung kemuning di atas gumpalan
matahari kembali berada setelah hujan
haruskah pelangi datang sekedar lewat?
kata warna semaput sukar dibedakan
biru menyaru, merah memamah, hijau menceracau
bila kadang mata berhasil menyekap pawana
bagai mimpi mendapati kemasannya
langit datang dalam tasbih
bumbung di atas atap luka
setelah panas siang meraja
animasi tiada henti

kelembaban udara di bukit
gugusan hijau dedaun menyapa langit
kali ini cuaca makin cerah
melihat geliat burung
melihat hanyut kabut
dua mata ini mencari rona langit
bukakan alis pandang pada gubuk pinggir lereng
lepas merdeka tanpa tetangga
seorang duduk mengerjap ladang
bertanam ilham ia pada kesuburan ranum daratan

hentinya langit beri cahaya
bersenda gurau dengan bulan
ada juga awan di sela-sela rimbun bintang
berkedip juga berkali bintang itu
memaknai tanya sepenuh isi jagat
sudah jauh malam pergi
dingin digigil sendiri
bersandar pagut di tinggi halaman
rumput mulai berembun pada tapak
segala yang gerah kini ikut terbasuh
demi kelak pagi suburkan lagi harapan
memandang langit nikmati
segala kumpulan warnanya lagi
dan lagi.

Langsa-Indonesia, 27 Mei 2011.

JALANKU

sumbu dan lecut jalanku
beri warna segala tanya
kerap temui persimpangan
namun telah kupilih
berpuisi sampai katapun mati

biarkan mata ini menyusap kening senja
biarkan dunia melangkahkan kaki
tak lagi kutunggui bara mekar jadi abu
aku bakar puisi nyala tengah hari
kulit kayu hangus jadi abu dirimukah?

sedang di langit tak lagi ada tanya
dan datang datanglah
dan pulang pulanglah
apa peradaban bisa mencahar

kulihat gunung meletupkan lahar sepi
kobaran api dalam hutan
telah dikira kado ultah kebiadaban

jalanku
apa mungkin kau ikut
singkap badan dudukkan pikiran
meski tak ada lagi kau dapati jawaban
hanya jalanku makin panjang
makin tak bisa kita berteman
dengan kebodohan.

Kamar Sajak, 28 Mei 2011.