Alvi Puspita
koran Haluan (Sumatera Barat), 19 Juni 2011
Senin malam (2/5), di sebuah warung sederhana, Warung Kopi Lidah Ibu Jl. Stm Pembangunan Gg. Surya No 9D. Mrican, Yogyakarta (Utara kampus Shanata Darma, depan STM Pembangunan), Y. Thendra BP atau yang diakrab dipanggil Thendra (Penyair Yogyakarta, asal Nagari Padang Sibusuk, Sumatera Barat) meluncurkan buku antologi puisinya yang kedua, Manusia Utama. Acara launching buku ini dibuka dengan pembacaan puisi Thendra, April, Haiku dan Chairil, oleh penyair perempuan Yogyakarta, Mutia Sukma. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Thendra sendiri. Thendra memilih membacakan puisinya Manusia Utama dan atas permintaan Saut, ia juga membacakan puisi Meninggalkan Pulau Penyengat. Dengan petikan gitar berirama blues, baris pertama puisinya ia mulai, /Nagawan into, kenapa kita orang terusir dari kita punya/ gunung salju abadi/.
Setelah pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan diskusi. Sebagai pemantik diskusi pada malam itu adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana. Alwi lebih mengarah pada tema-tema puisi yang diangkat Thendra, yang cenderung ke arah kritik sosial. Sedang Saut masih tertarik membicarakan wacananya tentang politik sastra, bagaimana melawan hegemoni media massa atau kelompok tertentu yang dianggap semacam pembaptisan bagus atau tidaknya sebuah karya. Para undangan yang hadir dalam launching buku ini lumayan antusias menanggapi bukunya Thendra. Ada yang menanggapi soal pengaruh yang terdapat dalam puisi-puisi Thendra dengan mempertanyakan bagaimana keterpengaruhan seorang Saut Situmorang pada seorang Thendra dalam karya-karyanya. Penanggap yang lain ada yang lebih tertarik pada Indie Book Corner, penerbit buku Thendra. Sedang saya sendiri lebih tertarik untuk membahas buku puisi itu sendiri dan bagaimana ia diterbitkan.
Manusia Utama ini, hanya setebal 53 halaman berisi 43 puisi Thendra dari tahun 2006-2011. Buku yang tergolong tipis. Seperti yang dikatakan Alwi, ada kecendrungan pada Thendra untuk mengangkat masalah-masalah sosial. Saya sepakat dengan pendapat itu dan Thendra mengangkatnya dengan gayanya sendiri. Bukan dengan gaya Rendra atau pula Thukul. Tapi dengan gaya Thendra, yang menurut saya walau terasa ada gaya Chairilnya. Tapi ini tentu perlu pembuktian lebih lanjut dengan kajian yang lebih dalam dan ilmiah. Puisi-puisi yang mengarah ke masalah-masalah sosial itu diantaranya, Repromosi Sebuah Kota, Ngai Oi Ngi, Manusia Utama, Merak-Bakauheni, Manusia 10 Jam Sehari, Lintas Sumatera, Sepatu &; Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga, Urban, Disebabkan Humor, Braga, Manusia Berjalan, Burung Kecil, Melintasi Negeri Malam, Kuda Arwah di Jalan Lintas Sumatera, Taman Bermain. Di tengah banyak puisi penyair muda yang syahdu basah pada saat ini, kehadiran puisi Thendra dengan tema-tema yang ia angkat tentu menjadi tawaran bacaan tersendiri.
Seperti yang disinggung di atas, yang menarik bagi saya dari peluncuran buku ini adalah mengenai isi buku dan pilihan alternatif dalam menerbitkan buku. Pertanyaan yang sempat ditanyakan kepada Thendra adalah mengapa memilih Indie Book Corner dan apa harapan dari peluncuran buku ini (dari segi isi dan cara menerbitkan). Dan Thendra menjawab :
1. Indie Book Corner (IBC) merupakan penerbit yang digerakkan anak muda (Irwan Bajang dan Anindra Saraswati) yang peduli pada perbukuan. Secara kualitas, buku yang mereka hasilkan mampu bersaing dengan penerbit besar, cover, penyuntingan, lay-out, dan juga kertas bookpaper yang selama ini dimonopoli oleh penerbit besar, dengan biaya terbilang murah yang ditanggung penulis.
Kemudian, sistem yang mereka tawarkan tidak mengeksploitasi penulis dimana buku yang telah diterbitkan bisa didistrubisikan langsung oleh penulis dan bisa juga dibantu mereka. Dengan kata lain, saya terbitkan buku saya kepada IBC dan saya memiliki hak penuh terhadap buku saya itu.
2. Peluncurun buku puisi “Manusia Utama” ini merupakan alternatif bagi saya dalam berkarya dan mempublikasikan karya saya. Jalur “umum” selama ini lebih banyak merugikan penulis. Saya pernah mengalami buku kumpulan puisi pertama saya “Tuhan, telpon aku dong” (2004), betapa tidak beresnya dunia perbukuan di tanah air. Royalti cuma 10 % dan laporannya sekali 6 bulan, itupun susah, dan saya seperti mengemis. Padahal buku puisi saya itu sempat cetak ulang 2000 eksemplar. Ada jalur setan antara penerbit, distributor dan toko buku, yang menyesatkan penulis. Inilah yang saya sebut sebagai eksploitasi terhadap penulis. Penulis cukup menulis, hasilnya biarlah dinikmati oleh jalur setan itu (Penerbit, Distributor, dan Toko Buku). Hal ini tidak saya saja mengalami, penulis lain pun mengalaminya.
Dan saya pikir dari peluncuran buku Manusia Utama ini, ada banyak hal yang bisa kita perbincangkan dalam bahasan selanjutnya. Tentang karya-karya itu sendiri atau alternatif-alternatif tertentu di tengah arus dahsyat dalam dunia sastra pada saat ini (ideologi pengarang, dominasi penerbit, dll). Semoga.