Sigit Susanto
harianhaluan.com
“SASTRA akan menggantikan peran agama,” kata Sartre suatu kali. Pemikiran Sartre tersebut bukan saja tak beralasan. Namun kecenderungannya ke arah itu sudah terbukti. Terutama pada masyarakat yang punya peradaban modern, di negara-negara industri maju. Banyak anggota masyarakat yang lebih suka membaca karya sastra, ketimbang mengonsumsi buku-buku agama. Mereka lebih antusias untuk menghadiri berbagai pertunjukan teater, seni atau pembacaan karya sastra daripada mengunjungi gereja-gereja. Juga para pendeta sudah makin berkurang pengaruhnya, daripada sastrawannya.
Perubahan daya tarik masyarakat secara besar-besaran dari agama ke ilmu pengetahuan itu, bukan datang begitu saja, setidaknya sejak berkembangnya pemikiran monumental “Aufklärung” dari Kant di tahun 1783. Imannuel Kant menyebut “Aufklärung” sebagai sebuah jalan keluar manusia dari kesalahannya sendiri yang tidak dewasa. Kritik Kant sebenarnya ditujukan untuk agama Kristen. Akan tetapi kehidupan mitos di dalam masyarakat juga menjadi korbannya. Berbagai pemikiran berbau gereja dan ketuhanan serta mitos yang tak bisa diterangkan akal sehat, jadi sasaran untuk ditinggalkan. Mereka mulai meneliti ulang pada setiap sendi kehidupan agar bisa diterangkan secara rasional.
Sampai akhirnya Adorno menjuluki Aufklärung ibarat seorang diktator yang memaksakan pada rakyatnya. Kalau Aufklärung sudah benar-benar dijalankan, kenapa masih ada kekuatan seperti Hitler yang anti Yahudi (Dialektik der Aufklärung). Temuan Kant yang sudah berusia tiga abad itu ternyata hingga kini masih sangat sulit menembus dinding kelas masyarakat tradisional, dimana atribut spiritual baik lewat agama dan tradisi takhayul ataupun mitos masih dianggap kuat dan dipercayai bisa memberi kebahagiaan batin sehari-hari. Celakanya masyarakat kelas tradisional itu banyak berkubang di negara-negara berkembang dan miskin. Feuerbach, teolog Jerman sudah memberi peringatan, Hanya orang-orang miskin yang setia pada agama, agar mereka bisa bermimpi dan melupakan kemiskinannya. Akhirnya lupa mengritisi penguasa negeri sendiri.
Menilik pikiran Feuerbach, tak salah bila banyak pengikut agama baik yang liberal maupun radikal lebih banyak berada di pedesaan yang miskin. Mereka selalu terlambat dalam mengikuti perkembangan arus peradaban baru. Sebaliknya para penggemar sastra, masih didominasi oleh masyarakat modern kota. Bukan hanya mereka cukup memadai dalam menerima transformasi berbagai perkembangan, tetapi fasilitas seperti, toko buku, percetakan, perpustakaan, dan gedung pertunjukan cukup tersedia.
Isaac Bashevis Singer, peraih nobel sastra 1978 termasuk yang tidak sependapat dengan pernyataan Sartre di atas. Singer menandaskan, tak mungkin sastra akan menggantikan peranan agama. Karena sastra juga tak memberi arti yang sebesar agama. Dia menilai, tak ada novel, cerpen dan puisi yang bisa menandingi “Kesepuluh Perintah Tuhan.”
Dua pemikiran kontroversial antara Sartre dan Singer ini masih bisa jauh diperbincangkan. Apabila semua karya tulis diklaim sebagai karya sastra. Tak disangkal, bahwa Alquran dan Injil serta kitab suci lain pun juga sebuah hasil karya sastra. Padahal di rumah-rumah keluarga penguasa Inggris di negeri jajahannya dulu sering ditemukan dalam lacinya dua buku saja. Satu Injil dan yang lainnya buku Shakespeare. Hal itu sebuah bukti lama, bahwa dua jenis karya, yakni agama dan sastra tidak hanya saling berdampingan, tetapi juga berusaha merebut pengikut atau pembaca masing-masing hingga sekarang.
Di Indonesia perkembangan sastra dan agama tidak seimbang. Lebih-lebih di zaman rezim Orde Baru, perkembangan sastra banyak mengalami kemandegan. Banyak buku-buku sastra maupun sastrawan kiri telah diberangus dan karyanya dilarang beredar. Sementara perkembangan agama terus melaju menyusup ke desa-desa pelosok dan makin meluas. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, perkembangan sastra mulai tampak. Dan berdiri beberapa kantong-kantong kecil sastra di berbagai kota. Kalau dulu di masa rezim Orde Baru hanya sebagian sastrawan saja yang ikut meneguk dosa. Sekarang sastra bukan lagi barang eksklusif yang harus dekat dengan kekuasaan. Sastra milik semua orang, termasuk kelompok marginalnya. Pinjam istilah Nietzsche, “Apa yang tidak membuatku mati, aku akan semakin kuat.”
Peristiwa tumbangnya diktator Soeharto identik dengan peristiwa tumbangnya Hitler, dimana nilai-nilai lama di masyarakat dikritisi dan segera digantikan dengan nilai-nilai baru. Kegiatan sastra dan agama semarak, silih berganti dan melimpah ruah. Pencinta sastra dan pengikut agama menjadi sama-sama militan. Nilai-nilai sastra atau agama, mulai diaduk-aduk ulang. Semua nilai yang pro rezim lama harus disingkirkan.
Hal ini yang membuat para sastrawan dan rohaniwan yang pernah digemukkan oleh rezim Orde Baru mulai kasak-kusuk ketakutan. Mereka mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Salah satu media sastra yang menjadi bentengnya sastra pada rezim Orde Baru adalah media Horison. Lewat media Horison, maka sastra Indonesia sempat beralih fungsi sebagai media pelipur lara.
Media sastra yang menghibur penguasa. Media yang tanpa pembelaan rakyat bawah. Tak pernah memuat karya yang beriklim antitesis pada sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya media ini dengan leluasa rajin masuk ke sekolah-sekolah dengan disokong oleh pemerintah. (indonesiaarts.or.id)
15 May 2011