I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/
JAGARAGA, Buleleng, sesungguhnya menghamparkan pelajaran kaya makna bagi Bali dalam menghadapi gelombang besar pengaruh asing modernisasi di kemudian hari. Pelajaran itu dipancangkan 9 Juni 1848. Dalam peristiwa 155 tahun silam itu, Belanda yang bersenjata tempur otomatis dan lengkap keok oleh laskar persekutuan segitiga Buleleng-Karangasem-Klungkung di bawah panglima perang Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Itulah momentum kemenangan laskar bertombak Bali yang tak hanya memberangkan Gubernur Jenderal J.J. Rochusen di Batavia, tetapi juga mengguncangkan parlemen di Negeri Belanda. Peristiwa kemenangan Jagaraga itu dimulai setelah Belanda gagal memaksa Raja Buleleng, I Gusti Made Karangasem dengan Patih Agungnya, I Gusti Ketut Jelantik, untuk sukarela menyerahkan kedaulatan wilayah Kerajaan Buleleng di bawah kekuasaan Belanda. Paksaan itu ditekankan Belanda lewat Komisaris Pemerintah JPT Mayor dengan menunjukkan selembar kertas yang berisi perjanjian pengakuan raja-raja di Bali kepada pemerintah kolonial Belanda, tahun 1841–43.
Patih Jelantik terang saja murka dipaksa-paksa begitu. Sembari memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan, putra I Gusti Nyoman Jelantik Boja yang sudah lama menetap di Sangket, Buleleng, itu berseru keras, ”Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, tetapi harus diselesaikan di atas ujung keris. Selama aku, Patih Agung Jelantik, masih hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda!” Surat perjanjian itu dirobek dengan ujung keris.
Diberi tempo waktu 3 x 24 jam buat memenuhi tuntutan Belanda itu, Jelantik tetap kukuh, bergeming. Dalam perundingan ulang yang dijembatani Raja Klungkung, 12 Mei 1845, di Puri Klungkung pun Jelantik tetap menepis permintaan Belanda. ”Hai kau si mata putih yang biadab,” balas Patih Jelantik dengan kata dan raut muka mengejek ke arah utusan Belanda, ”sampaikan pesanku kepada pemimpinmu di Betawi agar segera menyerang Den Bukit!”
Belanda memulai ekspedisi militer pertama ke Bali, 27 Juni 1846. Dari sini Belanda menguasai Buleleng setelah melewati sengit hingga 29 Juni 1846. Raja Buleleng dan Patih Jelantik mundur ke Jagaraga. Di sinilah Jelantik mulai membangun benteng-benteng pertahanan dalam bentang alam yang strategis dengan gelar ”Supit Urang”. Alam Jagaraga memang tandus, namun topografinya sebagai pegunungan terjal dengan dua sungai pengapit di kiri-kanan yang menghubungkan ke tepian dijadikan basis pertahanan.
Benteng ”Supit Urang” itulah menjadikan Belanda dalam ekspedisi militer kedua di bawah Panglima Perang Mayor Jenderal van der Wijck keok. Dalam pertempuran sengit di Jagaraga, 9 Juni 1848 itu, van der Wijck tak ada pilihan kembali memerintahkan pasukannya yang sudah kehabisan mesiu mundur ke Sangsit, lalu ngacir lagi ke Jawa, esoknya. Sayangnya Patih Jelantik tak memerintahkan laskarnya terus mengepung pasukan Belanda yang sudah keder itu. Kekalahan Belanda itu menggemparkan Batavia, seluruh Hindia, hingga ke parlemen Belanda. Pihak Belanda mengagumi dan mengakui kedahsyatan strategi perang Patih Jelantik, sehingga mereka menduga Jelantik telah mendapat pengarahan dari ahli militer Eropa. Terang saja itu cuma tafsiran bohong, sebab Jelantik justru menyerap ilmu perang dari hamparan subur susastra-agama yang bertebaran di Bali.
Strategi unggul-ulung Jelantik itu merenggut korban di pihak Belanda, berupa: tewas 5 perwira, 94 bintara dan prajurit; luka-luka 7 perwira, 98 bintara dan prajurit. Masih ada pula 32 bintara tak bisa diandalkan akibat kelelahan dan luka ringan, serta 24 prajurit lain mesti dirawat di rumah sakit darurat akibat pertempuran dua hari menghadapi pasukan Jagaraga. Sedangkan dalam laporannya kepada Raja Klungkung, Patih Jelantik mencatat di pihak Jagaraga jatuh korban: tewas 3 pedanda, 35 kaum brahmana, 163 bangsawan dan pembekel, serta 2.000 prajurit.
Kedahsyatan semangat tempur laskar Patih Jelantik dicatat dalam kesaksian orang Belanda yang menulis di Surat Kabar Negara Belanda (De Neterlandsche Staatcourant) dengan kode K, sebagaimana dikutip Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX (1989). Di sana K menulis, ”Bukan karena kubu-kubu pertahanan yang kuat menghalangi pasukan kita (baca: Belanda, Red) untuk menguasai Jagaraga, akan tetapi karena perlawanan yang berani, galak, dan penuh semangat juang musuh yang tak kunjung padam, yang sepuluh kali jumlahnya dibandingkan kekuatan kita, dan berhasil memukul mundur pasukan kita tiga kali dari kubu pertahanan yang berhasil diduduki oleh bataltyon ketiga dan sesudah itu mengadakan serangan balasan terhadap kedudukan kita, akan tetapi berhasil ditahan dengan tembakan meriam…. Siasat itu tidak berhasil karena Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik berada di tempat dan memimpin pasukannya dengan memberi semangat juang kepada pasukan Bali, sehingga mereka memberi perlawanan hebat dengan gaya tempur yang belum pernah kita alami dan tidak ada bandingannya dalam medan perang lain dalam sejarah panjang angkatan darat kita di Hindia.”
Lewat ekspedisi militer ketiga ke Buleleng di bawah Panglima Perang Jenderal A.V. Michielc, Jagaraga memang bisa direbut Belanda, 16 April 1849. Saat itu, Belanda mengerahkan militer besar-besaran dengan kekuatan: 4.737 orang pasukan angkatan darat, 2.000 tenaga buruh dari Madura, dan 1.000 tenaga cadangan dari Jawa Timur. Ini ditambah 4.000 pasukan bantuan Raja Seleparang, Lombok. Ditambah pula dengan 29 kapal perang yang membawa 286 meriam, 301 marinir, 2.012 perwira dan awak kapal berbangsa Eropa, serta 701 pelaut dan kelasi Bumiputera.
Patih Jelantik sejak awal sudah memperhitungkan Belanda akan datang lagi dengan kekuatan militer berlipat-lipat. Karena itu, dia berstrategi membangun benteng pertahanan lapis kedua di daerah Batur yang lebih sulit dijangkau Belanda. Sayangnya, Raja Bangli saat itu malah main mata pada Belanda dengan memberikan dukungan senjata. Imbalan yang diberikan Belanda: Raja Bangli bisa merebut Batur yang dikuasai Buleleng saat Buleleng bertempur di Jagaraga dengan Belanda.
Maka, ketika Jelantik dan Raja Buleleng menyingkir ke Batur setelah Jagaraga dikuasai Belanda, Raja Bangli melarang. Jelantik dan rajanya lantas menyingkir ke Karangasem. Krangasem kelak digempur Belanda dengan bantuan pasukan Raja selaparang, Lombok, yang dendam pada Karangasem. Dalam penyelamatan diri ke Bale Punduk bersama Raja Buleleng Jelantik tewas di rebut laskar Lombok.
Panglima Perang Mayjen A.V. Michiles memang sudah membalaskan kekalahan Belanda atas Jelantik lewat Jagaraga. Namun toh akhirnya Michiels pun membayar amat mahal keperwiraan Jelantik. Michiles yang berbintang tujuh itu akhirnya menemui ajalnya di tangan laskar pamating Klungkung lewat perang Kusamba, 25 Mei 1849. Kemenangannya di Jagaraga akhirnya dibayar amat mahal pula, dengan nyawanya, di ujung timur Klungkung.
Begitupun, Bali hingga kini tetap saja salah membaca sejarah masa lampaunya: mengabaikan momentum dan pelajaran amat berharga dan langka dari kemenangan Jagaraga, dan tiada kunjung insyaf pula memberi penghargaan sewajarnya bagi tonggak keperwiraan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik. Jelantik terang tak kalah gemilang-perwira dibandingkan keperwiraan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, Imam Bonjol (Minangkabau), Pattimura, Diponegoro (Jawa), Pangeran Antasari (Kalimantan), Panglima Polim, ataupun Teuku Cik Ditiro di Aceh sana yang kini sedang bergolak. Belanda perlu waktu empat tahun buat menundukkan seorang Patih Jelantik, setelah melewati ketenangan perang urat syaraf hingga perang fisik 1846-49.
Semestinya Buleleng, dan juga Bali, belajar lebih cermat dari isyarat yang dihamparkan Jagaraga 155 tahun silam itu. Dari Jagaraga Buleleng dan Bali utuh-menyeluruh bisa belajar perihal ”revolusi taktik dan strategi” untuk menghadapi tekanan gelombang asing (bukan malah gampang-gampangan saja menyerah bermental dan bertemperamen sila-laku kuli dalam baju pariwisata). Dari sana bisa dibaca: betapa mahal akibatnya bila Bali tak bersatu-utuh. Jelantik jelas pemimpin visioner pertama di Bali ini yang merasakan betapa menyakitkan akibat yang mesti diterima karena sesama Bali tak bersatu-utuh.
Sejarah Bali bukan mustahil akan berkelok arah andai perlawanan Patih Jelantik didukung segenap raja-raja di Bali, bukan malah main mata-selingkuh dengan kolonial asing lalu cari untung sendiri-sendiri. Kebersatupaduan Bali menghadapi asing sebelumnya telah terbukti membikin urung Inggris menduduki Bali. Sayangnya, Bali kini naga-naganya malah terus mengulang kesalahan raja-raja Bali masa lampau yang tak bersatu-padu membantu Patih Jelantik, sembari main mata-selingkuh buat cari untung sendiri-sendiri dengan tameng alasan otonomi daerah.
Mungkin seorang putra asli Persibu Buleleng semacam Kapolda Irjen Pol Mangku Made Pastika yang telah merasakan nikmat hidup sebagai ”akar rumput” hingga ke puncak-puncak ketinggian ”bunga prestasi”, yang sempat pula mengambil jarak intens dengan ”kampung halaman” Bali, justru lebih jernih bisa membaca isyarat Jagaraga itu. Keterpurukan ekonomi-sosial-politik Bali pascabom Kuta ini hanya dapat ditolong dengan kesadaran membangun ”revolusi taktik dan strategi” secara menyeluruh bagi satu Bali. Tanpa begitu, Bali akan menjadi koloni ekonomi dan politik hanya lewat selembar kertas perjanjian — yang dulu sesadar-sadarnya ditolak Patih Jelantik.
8 Juni 2003