Mata Dinding Cinta Ibu

Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 17 okt 2010

Kenangan serupa bayang-bayang kita yang muncul dan tenggelam dalam gelap dan terang. Ia selalu menyapa kelengaan atau kealpaan jiwa kita. Ia kadang hadir saat menjelang malam, tengah malam, atau menjelang pagi. Ia kadang-kadang nongol di tengah keramaian. Tapi, yang paling dikenal dan diakrabinya, kenangan selalu muncul dalam kesendirian dan kesedihan. Ia serupa kakek tua yang begitu berempati membawa tisu untuk menghapus air mata kita. Atau ia kadang menjelma nenek tua yang menderaikan tawanya, menampakkan gigi hitamnya, serta menyirami luka kita dengan cuka.

Kenangan serupa bayang-bayang kita. Ia tidak bisa kita enyahkan. Entah manis dan pahit ia selalu hadir dalam diri kita. Di sekitar kita. Apalagi kenangan akan sosok ibu yang begitu telaten, begitu perhatian, begitu sabar mengajari kita memahami dan merangkai kenangan. Ibu selalu paham, dan sungguh-sungguh paham bahwa hanya kenanganlah yang akan membuat anaknya dewasa. Anaknya tetap selalu mengenangnya. Ibu, dengan segala kenangannya menjelma pangeran katon. Tuhan yang menampak.

Perasaan berkecamuk inilah yang saya rasakan setiap angka bulan kelender mendekati akhir bulan januari. Liburan semester yang hanya beberapa hari. Wajah sayu ibu, yang setiap tahun bertambah jumlah garis dan warna legamnya, seperti padang sabana yang memintaku menengok masa kanak-kanak. Matanya yang bundar murka, tak ubahnya jendela rumah yang memberiku purnama di setiap pertengah bulan. Di tambah cerita-ceritanya, aku semakin merasakan kehadiran ibu sebagai diskotik atau mesin penghibur yang sangat dibayangkan dan dibutuhkan orang-orang kota yang selalu bergera dan bergerak melampaui kecepatan waktu.

Ya, cerita-cerita ibu selalu membawaku pada genangan indahnya cakrawala, kubangan maha duka. Atau kadang-kadang cerita ibu tak urung menyeretku ke liang ngilu yang begitu sembilu.

Cerita ibu kini mendakwaku…
***

Sore itu gerimis baru usai. Jalanan yang becek mengisyaratkan nafas desa yang rapuh. Basah daunan mempertegas kealaman yang disimpan tanah-tanah pebukitan. Langit kembali berkesiap. Arakan awan menepi di ruas selatan. Tetasan air hujan di ujung genteng, dan jatuh ke tanah mengingatkanku pada renyah musik kitaro. Senyum simpul ibu, seperti simpul temali yang hendak merangkum semuanya.

“jika kau sudah jadi orang besok, jangan lupa untuk menjenguk ibumu. Hati-hati dengan kota. Kota, kata kakekmu, adalah rimba yang penuh semak dan belukar yang menipu. Sayang ibu tidak pernah tahu kota. Ibu hanya seorang perempuan”

Usia ibu telah membentang ranum senja. Uban mulai menjalar di depan dan samping kepalanya. Garis-gsris wajahnya juga berpendar pudar. Andai batu atau kayu, kulit ibu berlumut atau siap mengelupas. Tapi ia tetaplah ibu. Yang selalu hadir di setiap desah dan sengal nafasku, walau dengan doa. Kata pepatah, ibulah pangeran katon. Tuhan yang menampak. Dan aku merasakan betul, ketika ia dengan linang airmata membelai kepalaku. Melepasku belajar jauh ke kota.

“kau ingin jadi apa Nuri?”, mata ibu selalu berlinang setiap ia menatapku.

“Guru, Bu”

Ibu tersenyum. “Sungguh mulia cita-citamu. Perjuangkan cita-citamu. Raih mimpimu. Jangan mengigau. Kau beruntung bisa memiliki mimpi. Dulu ibu hanya punya mimpi menangkap kupu-kupu. Mengahalau burung-burung di sawah dan memiliki ternak”

Ibu memulai ceritanya dengan meratapi nasibnya. Ia mula-mula membayangkan, begitu suram dan terbatasnya mimpi di desa. Alangkah kerdilnya kenyataan yang sampai di desa. Sampai-sampai kakekku, ayahnya ibu, selalu mewanta-wanti untuk tidak mengenal kota. Berkompromi dengan segala yang berbau kota.

“Tapi tidak untukmu, Nuri. Kau mesti terbang bebas seperti burung. Kau berhak menentukan ke mana sayapmu akan mengepak. Ibu tahu, sekarang bukanlah jaman ibu sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun, di mana ibu hanya mengenal dapur, lenguh kerbau dan penghambaan buat suami ibu”

sejak kecil ibu sudah dikenal pandai bercerita. Di kalangan teman-temannya, waktu usia 15 tahun, saat ibu dan teman-temannya masih suka main hujan dengan telanjang, ibu sudah bisa menghafal puluhan cerita para nabi dan dongeng rakyat. Bahkan ibu pernah menyabet juara pertama lomba cerita kisah para nabi di perayaan imtihanan madrasahnya.

Konon, kepiawaian dan kecekatan ibu dalam bercerita mengundang decak kagum para ustadznya. Setiap hari, sebelum memulai pelajaran, para ustadz meminta ibu untuk menceritakan sepotong kisah atau dongeng. Ibu sering bercerita tentang kisah nabi Isa. Menurut ibu, nabi Isa, terutama ibunya merupakan sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya.

“Nabi Isa dan Ibu nabi isa mengajari kita untuk menjaga dan mempertahankan harga diri” tandas ibu di setiap ujung ceritanya. Selain kisah para nabi, ibu suka sekali bercerita tentang dongeng atau legenda rakyat. Ibu suka sekali bercerita tentang legenda kota ‘Banyuwagi’. Cerita ini tidak hanya mengharukan tapi juga menginspirasi untuk selalu berpikir sebelum bertindak.

“Kalau dongeng ‘Aryo Menak dan Tunjung Wulan’ mengajari perempuan untuk bersikap tegas, dongeng ‘Banyuwangi’ menandaskan bahwa perut betis tidak ada di depan. Penyesalan di kemudian hari” ibu selalu berkaca-kaca ketika menyebut tokoh-tokoh peremupan dalam dongengnya: Siti Maryam, Siti Khadijah, Siti Aisyah, tunjung wulan, dewi sanggalangit, dan perempuan yang penih inspirasi lainnya.

Namun, di antara beberapa cerita yang sering ibu ceritakan padaku, sewaktu aku berusia 12 tahun, sewaktu duduk di kelas enam sekolah dasar, adalah cerita tentang cerita cintanya waktu di desa, sebelum ayah memutuskan tinggal di kota.

“Dulu, di masa ibu para orang tua sangat protektif. Mereka menjaga betul tingkah laku dan sikap anak-anaknya. Pukul tujuh, sehabis ngaji di langgar kiai syamsuri ibu sudah dijemput, dan tidak boleh keluar lagi”

Setiap menceritakan kisah cintanya, ibu tidak lupa untuk mengingatkan akan datangnya zaman, datangnya waktu setiap orang, terutama perempuan tak ubahnya pemain figuran.

“Kita hanya para tokoh, Nuri” ibu memulai ceritanya kesan tentang perjalanan hidup manusia. “Tinggal bagaimana kita bisa paham alur dan skenario atau tidak?” dalam membuka ceritanya, ibu selalu menekankan bahwa ceritanya tidak hanya sekadar uraian kata atau riwayat tentang manusia. Cerita adalah pemahaman dan pemaknaan hidup.

“Dengan cerita kita berbicara jujur. Dengan cerita kita mengurangi beban hdup. Memahami makna hidup, Nuri.

“Nuri, dulu aku dan ayahmu tidak mengenal seperti cerita cinta seperti anak muda sekarang. Dulu, ibu mengenal ayahmu sewaktu pulang dari pengajian. Itu pun curi pandang. Waktu sedetik bertatap muka, adalah kesempatan yang cukup luas dan sangat berharga. Dulu, ibu melubangi dinding tembok pagar rumah dekat jambu klutuk. Ibu melubanginya sebesar telujuk jari ibu”

“setiap senja jatuh merah jingga, ibu biasa memasukkan telunjuk ibu ke lubang dinding itu. Di luar, ayahmu sudah menunggu. Ia akan memegang telunjuk ibu untuk beberapa waktu. Kemudian, ia yang akan memasukkan telunjuknya. Dan giliran ibu untuk memegangnya.

“memegang telunjuk ‘pacar’ kita di jaman ibu, sudah merupakan adegan hidup yang sangat membahagiakan. Saat yang sangat mendebarkan. Setiap senja ibu selalu berpegang-pegangan telunjuk dengan ayahmu. Sampai bapak-ibu, kakek-nenekmu menemukan lubang dinding tempat ibu berbagi cinta. Sampai kakek-nenekmu mengawinkan ibu dan ayahmu”

Mendengar cerita cinta ibu di di lubang dinding pagar rumah, aku selalu ingin tertawa. Terbahak. Tapi selalu kutahan, sebab buru-buru ibu biasanya mengesaninya.

“cinta tidak hanya sekadar pertemuan. Tapi cinta benar-benar dihayati dan dijiwai walau hanya sekadar berpegangan telunjuk.
***

Nuri tercenung. Wajahnya seperti arakan awan tertimpa lembayung senja. Dari koridor parkiran mall tingkat lima, di tatapnya jalanan yang ramai di bawahnya. Tangannya mengelus-ngelus perutnya yang membesar. Matanya berkaca-kaca membayangkan wajah ibunya yang timbul tenggelam di antara seringai senyum lelaki yang disebutnya srigala.

Nuri tercenung. Rautnya menampak keheningan koridor parkiran. Lelaki itu telah pergi jauh. Jauh entah ke mana. Srigala terkutuk itu hanya meninggalkan beban dalam rahimnya. Aib bagi keluarganya.

“Ibu…” serunya sunyi disapu mobil yang melintas. Dengung cerita cinta ibunya menguar lagi. “maafkan Nuri Ibu..” Nuri menggeleng. Hanya menggeleng menyaksikan jalanan yang semakin ramai dengan lalu kendaraan; membayangkan senyum ibunya di langit.

Nuri tercenung. Cerita cinta ibunya begitu membuat dadanya tersedak. “Maafkan Nuri ibu. Nuri Tidak mau mendengar ceritamu, ibu. Memahami ceritamu, ibu” Dielusnya perutnya yang sudah tiga bulan membuncit. Dibayangkannya senyum sumringah ibunya menyambut lambain tangannya.

Dan esok, dirinya akan menjadi sepotong cerita di halaman koran…

Surabaya-sumenep des 2009

*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.

Bahasa »