Mengintip Jendela Terorisme

Hasnan Bachtiar *

Terorisme itu bukanlah hal yang jelas dengan sendirinya. Karena itu, perlu diperjelas. (Sindhunata, 2005)

Merespon pendapat Sindhunata di atas, nampaknya paradigma deradikalisasi paham keagamaan sebagai salah satu agenda perlawanan terhadap terorisme, harus diapresiasi dengan baik. Pasalnya, deradikalisasi bermakna jalan alternatif yang mengusung kesadaran kritis untuk memperjelas hakikat terorisme itu sendiri. Membongkar akar terorisme luar dalam.

Keuntungan deradikalisasi adalah menggapai kesadaran ilmiah umat manusia, sehingga terorisme dan kontra-terorisme tidak disalahpahami secara kaku. Kesadaran ini berupa pembongkaran dimensi internal agama dan paham keagamaan, sekaligus membuka mata atas adanya agenda-agenda politik yang melingkupi fenomena terorisme.

Bagi kalangan kritis, melawan terorisme tidak cukup hanya dari sudut pandang yang mengandaikan teror semata-mata sebagai ancaman kekerasan terhadap kemanusiaan. Jika pandangan ini terlanjur diimani, konsekuensinya adalah kekerasan memang pantas dilawan dengan kekerasan pula. Kiranya pendapat ini tidak bias dibenarkan. Demikianlah, slogan war on terrorism terbuka untuk dikritik. Represifitas perundangan yang ada (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Inpres Nomor 24 Tahun 2003 tentang Terorisme) dan tindak lanjut pemerintah tidaklah mencukupi untuk menangani terorisme ini.

Menanggapi perang terhadap terorisme, Derrida (2005) mengungkapkan bahwa manusia sebenarnya sudah memiliki pertahanan diri atau imunitas untuk menghadapi kekerasan riil. Tapi ketakutan manusia terhadap teror yang dibayangkan akan terjadi di masa depan telah mengisi alam bawah sadar manusia. Pada akhirnya, trauma akan teror melegitimasi suatu proses balas dendam: kekerasan (khayalan) boleh dilawan dengan kekerasan riil. Prosesi ini sama halnya dengan imunisasi terhadap imunitasnya sendiri (sich selbst gegen die eigene Immunität zu immunisieren). Secara tidak sadar, manusia telah merusak alam bawah sadarnya dengan kekerasan.

Satu sudut pandang kekerasan vis a vis kekerasan memiliki fundamen yang rapuh. Karena itu, pandangan ini runtuh dengan sendirinya. Dengan kata lain, agenda kontra terorisme yang berujung pada tindak represif keamanan masyarakat, merupakan agenda yang jauh dari nilai ideal.

Kompleksitas Terorisme

Hendaknya manusia sadar. Faktanya, terorisme erat hubungannya dengan kompleksitas paham keagamaan, politik internasional dan soal-soal hajat hidup kemanusiaan yang paling riil dalam kehidupan sehari-hari, yakni sosial-ekonomi. Bukan hanya soal-soal dampak, trauma dan ketakutan-ketakutan yang berimplikasi pada kebijakan publik.

Sebagai contoh bahwa sebagian orang memang memiliki paham keagamaan yang cenderung radikal, sehingga membolehkan kekerasan atas nama agama atau teks keagamaan. Sementara itu di sisi lain, terorisme disinyalir sebagai hasil kreatifitas para pihak yang sengaja memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (A.M. Hendropriyono, 2009).

Mengaitkan agama, politik dan konteks masyarakat yang dalam segala aspeknya mengalami keterhimpitan sosial-ekonomi, tentu akan menghasilkan pandangan lain. Bisa jadi terorisme merupakan topeng bagi perebutan kuasa di satu sisi dan ungkapan perlawanan kelompok sosial yang bermotif hajat hidup kemanusiaan dan kesejahteraan sosial di sisi lain.

Pada 28 Nopember 2010, terdapat fakta bahwa terorisme merupakan fenomena yang sengaja dikonstruk untuk melanggengkan kuasa kelompok atau negara tertentu. Bocornya 254.287 kawat diplomatik Amerika Serikat via situs wikileaks.org yang dirilis oleh Julian Assange, telah mengubah pandangan masyarakat tentang terorisme. Dalam situsnya, pendiri Wikileaks menulis bahwa, dokumen-dokumen rahasia yang disebarkan berisi tentang kontradiksi pesona AS di hadapan dunia. Sungguh kebenaran berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang terjadi di balik pintu. Jika masyarakat demokrasi menginginkan refleksi atas kebijaksanaan pemerintahnya, maka wajar mereka menanyakan apa yang ada di balik layar (www.wikileaks.org).

Harian Jawa Pos 6 Desember 2010 menulis bahwa Wikileaks telah membeber infiltrasi AS pada Indonesia soal kebijakan-kebijakan terorisme. Atas tewasnya Dr. Azhari 9 November 2005 di Batu-Malang, Noordin M Top pada 17 September 2009 di Solo dan Dulmatin pada 9 Maret 2010 di Pamulang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato di hadapan parlemen Australia pada 10 Maret 2010 yang pada intinya berbicara tentang keberhasilan Indonesia untuk memerangi terorisme (Jawa Pos11/03/2010). Sungguh paradoks dengan kenyataan sejak terbongkarnya pelbagai dokumen rahasia AS-Indonesia. Padahal sebenarnya, itu menunjukkan betapa berhasilnya AS dalam menundukkan Indonesia sebagai negara kelas rendah (inlander).

Dengan fakta tak terbantahkan ini, masihkah kita tidak sadar pada fenomena terorisme? Di lain pihak, mengukuhkan radikalisme agama tanpa pemahaman yang mendalam soal agama itu sendiri, tidak jauh beda dengan mengamini secara suka rela kepentingan sosial, ekonomi dan politik negara kuasa. Di sinilah peran penting deradikalisasi. Sudah saatnya membongkar paham keagamaan yang sedemikian tertutup terhadap keluhuran agama (dekonservatisme), sekaligus mengungkap bahwa fenomena terorisme sudah sedemikian politis dan berdimensi penjajahan para negara kuasa terhadap negara dunia ketiga melalui permainan politik internasional.

Pada 33 tahun silam, Syed Hussein Alatas menulis buku “Mitos Pribumi Malas”. Pribumi malas adalah stigma negatif bangsa kolonial untuk orang-orang pribumi. Artinya, penjajah pada saat itu jelas-jelas sedang mempermainkan dan merendahkan martabat kemanusiaan. Menganggap bangsa Indonesia malas, bodoh dan mudah dipermainkan. Nampaknya gugatan Alatas yang meluncur di tahun 1977 sangat relevan digunakan untuk membaca soal-soal terorisme dan Indonesia yang selalu didikte AS. Siapa yang sadar atas fenomena ini?

Paling tidak, gambaran ini merupakan jalan alternatif untuk menggapai kesadaran kritis tentang apa dan bagaimana terorisme itu. Karena itu, deradikalisasi paham keagamaan adalah wacana alternatif yang sangat penting dan menjadi agenda mendesak bagi kedamaian dan perdamaian umat manusia.

Deradikalisasi sebagai Kontra Terorisme Alternatif

Berdasarkan pemikiran di atas, sangat menarik untuk melakukan diseminasi wacana deradikalisasi paham keagamaan sebagai model kontra-terorisme alternatif pada masyarakat luas. Merujuk pada gagasan Moeslim Abdurrahman (2009) bahwa secara antropologis masyarakat hendaknya disentuh secara sejarah dan berdialog sesuai dengan kenyataan hidup yang dialami sehari-hari.

Masyarakat harus mulai diajak berbicara soal-soal apakah agama sudah menjadikannya sejahtera, atau agama menjadikannya sebagai manusia pemarah, suka kekerasan, atau apakah fungsi agama itu sebenarnya. Namun di sisi lain, penting juga menanyakan tentang bagaimana kondisi manusia Indonesia di tengah arus politik internasional yang sudah semakin menghimpit nilai keluhuran bangsa.

Berhubungan dengan keseharian masyarakat, sebenarnya deradikalisasi memiliki tiga aspek garapan. Pertama, deradikalisasi berupaya membaca kembali konservatisme penafsiran agama agar lebih sesuai dengan konteks kemanusiaan yang jauh dari tindak kekerasan. Indonesia sudah sejak lama memahami kemanusiaan sebagai nilai yang luhur, bijaksana dan cinta damai. Jadi, hendaknya paham keagamaan apapun menyesuaikan diri dengan konteks ini. Mungkin deradikalisasi semacam ini akrab disebut dengan pribumisasi paham keagamaan.

Kedua, deradikalisasi adalah agenda keadilan sosial dan perjuangan kesejahteraan bagi masyarakat. Secara sosial, masyarakat sudah semakin terdesak dan kecewa dengan hajat hidup sehari-hari yang selalu saja kekurangan. Atas segala keterpurukan itulah, pikiran-pikiran radikal perlawanan muncul di permukaan secara bebas. Dalam situasi yang demikian, hendaknya pelbagai pihak menyentuh aspek fundamental kemanusiaan ini yang justru sering dilupakan banyak orang.

Ketiga, deradikalisasi adalah penyadaran bagi khalayak umum atas fenomena penjajahan baru yang memanfaatkan terorisme dalam segala aspeknya. Deradikalisasi model ini adalah pembongkaran wajah kuasa yang radikal, tega merongrong bangsa lain tanpa hati nurani. Secara jujur, bangsa Indonesia sedang mengalami keterhimpitan sosial dalam konstalasi politik internasional. Kendati paham bahwa penjajahan sedang menimpa, namun apalah daya jika memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Yang sulit diterima akal sehat adalah, pemerintah berusaha menutupi segala bentuk keterpurukan ini. Seolah-olah besar di mata internasional, padahal sedang menikmati jajahan bangsa adikuasa (desublimasi represif). Siapa yang harus kita percaya?

Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, marilah kita bersama-sama turut dalam ketiga agenda deradikalisasi secara sadar, kritis dan melawan tirani. Semoga ide ini menjadi salah satu wawasan bagi orang bangsa yang masih percaya dan mencintai Indonesia. []

*) Hasnan Bachtiar, peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RëSIST) Malang, Komite Advokasi dan Informasi Rakyat Malang sebagai peneliti, ketua Lembaga Studi Terranova Malang di bidang kajian posmodernisme, anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.