BARAT DAN TIMUR DALAM TEKS SASTRA: PERBINCANGAN POSTKOLONIAL

Yetti A. KA *
harianhaluan.com

Pencitraan negatif yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Timur banyak terdapat dalam kisah-kisah perjalanan. Dalam buku-buku itu, bangsa Timur sering digambarkan sebagai bangsa terbelakang dan asing. Faruk (2001) berpendapat bahwa, berdasarkan bacaannya atas buku Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature karangan Rob Nieuwenhuys, imperialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksp­loitasi sumber-sumber eko­nomi, melainkan juga sebagai sebuah dunia sosial dan kul­tural yang asing, yang berbeda dari dunia penjajah. Perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horizontal, melainkan mengandung nilai yang bersifat hierarkis dan vertikal. Bangsa penjajah memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang berposisi sebagai subjek, aro­gan, superior, di hadapan masyarakat setempat.

Dalam teks sastra, persoalan Barat dan Timur juga banyak menyuarakan hal serupa, di mana bangsa Timur cenderung dalam posisi lebih rendah dari bangsa Barat, misalnya saja dalam cerita pendek karya pengarang muda Dwicipta berjudul Tuan Hillario dan Taman Magdalena (selanjutnya THTM) dimuat di Media Indonesia, 13 Mei 2007 dan Tanah Merah (selalanjutnya TM) dimuat di Kompas, 13 Januari 2008. Dua cerita pendek tersebut berlatar cerita masa pemerintahan Hindia Belanda. THTM dan TM sama-sama mengangkat tokoh utama seorang Eropa. Perbe­daan dari kedua tokoh ini terletak pada karakter prota­gonis dan antagonis. Hillario dalam THTM seorang yang kikir, kejam, dan culas, sedang­kan Kapten Becking dalam TM seorang yang baik hati, kalau tidak bisa dikatakan berhati ‘Timur’. Dalam kedua cerpen ini terjadi relasi antara Eropa dan pribumi, di mana digam­barkan orang Eropa sangat berkuasa dan kaya, sementara itu pribumi sebagai pembantu rumah tangga, pemberontak, manusia kelas rendah. Selain itu, dua cerita pendek ini, sesungguhnya berbicara tentang kegelisahan seorang Eropa yang berada di tanah jajahan. Kegeli­sahan ini menarik dikaji karena berkaitan dengan keberpihakan dan ketidakberpihakan terhadap pribumi, di luar mereka sebagai penguasa. Perspektif Postkolonialisme

Relasi Barat dan Timur merupakan hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan berba­gai derajat hegemoni yang kompleks (Edward Said, 2001). Selanjutnya postkolonialitas dipaksa untuk menegosiasikan pelbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historisnya yang tak dapat disangkal, pos-kolonialitasnya, atau derivasi politis dan krono­logis dari kolonialismenya, di satu sisi, dan kewajiban kultu­ralnya untuk menjadi kokoh dan inventif secara bermakna di sisi lain. Oleh sebab itu, peristiwa kedatangannya yang aktual menuju kemerdekaan didasarkan pada kemam­puan­nya untuk membayangkan dan melakukan pemisahan awal yang menentukan dari masa lalu kolonial secara berhasil (Gandhi, 2007).

Dalam kajian sastra, postko­lonialisme kemudian dipahami sebagai upaya membicarakan teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yakni konfrontasi antarras, an­tar­bangsa, antarbudaya, dalam kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara. Dengan kata lain postkolonialisme adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang ada di dalam teks (Day dan Foulcher, 2008).

Identitas, Kedudukan, dan Hibriditas

Pada banyak penelitian, fokus kajian postkolonial banyak diarahkan pada perso­alan identitas dan kedudukan antara dua ras, biasanya Timur dan Barat, yang kemudian memperlihatkan hibriditas antarkeduanya.

Hibriditas yang dimaksud­kan berkenaan dengan terjadi­nya tumpah tindih antara satu budaya dengan budaya lain, dalam hal ini penjajah dan daerah yang dijajah yang kemu­dian menjadi satu kesatuan kebudayaan baru. Bagi Bhaba, bentuk konfliktual hibriditas ini khususnya kuat dalam situasi kolonial, sebab baginya otoritas kolonial, sebagaimana semua sistem dominasi, bersuara tunggal: kalau efek kekuasaan kolonial dipandang sebagai produksi hibridisasi, dan bukan komando ribut otoritas kolo­nialis atau represi diam tradisi pribumi, maka yang terjadi perubahan perspektif yang penting (dalam Day dan Foul­cher, 2008).

Dalam cerita pendek THTM identitas seorang Eropa masih memisahkan diri dengan tegas terhadap orang pribumi. Di sana tampak tidak terjadi persinggungan hibriditas antara Barat dan Timur. Barat demikian mendominasi hingga pribumi nyaris tanpa suara. Barat diwakilkan dengan keha­diran seorang dokter berke­bangsaan Spanyol bernama Hillario. Dokter Hillario memiliki kedudukan yang tinggi sebab ia berhasil mengum­pulkan kekayaan dari peker­jaannya itu. Berbeda halnya dengan pribumi yang bekerja sebagai pembantu di rumah Hillario. Mayar dan Sanikem berada di bawah dominasi Hillario. Bahkan kedua pem­bantu itu diperlakukan lebih rendah dari perempuan sim­panan Hillario yang berasal dari Eropa. Di sini tampak sekali perbedaan identitas akan menentukan pula kedudukan seseorang. Dan identitas itu sangat ditentukan pula apakah ia berasal dari Barat atau Timur.

Relasi Barat-Timur telah memisahkan Hillario dan perempuan simpanan Eropa-nya berseberangan dengan Mayar dan Sanikem. Identitas mereka sebagai masyarakat dari bangsa penjajah dan terjajah juga memperlihatkan relasi terjadi secara ketat. Mayar dan Sani­kem menjalani kehidupan mereka sebagai pribumi yang tahu diri, sementara Hillario dan perempuan Eropa menya­dari betul bahwa mereka berkuasa.

Hal yang cukup menarik dari cerita pendek THTM bahwa Hillario yang digam­barkan berwatak jahat itu berasal dari Spanyol, bukan Belanda. Latar cerita ini berada di Batavia ketika Belanda menguasai nusantara dan me­na­makan daerah jajahannya itu sebagai Hindia Belanda. Penga­rang juga memunculkan tokoh lain yang berdarah Belanda, tapi justru tokoh itu dikalahkan oleh seorang Spanyol yang licik. Seorang Belanda yang kalah itu seakan-akan hadir sebagai pahlawan yang mati di medan perang. Ia dikenang oleh Mayar sebagai dokter Belanda yang setidaknya lebih baik dari Hillario. Bahkan Mayar tam­pak bersimpati pada dokter dari Belanda itu dan sebaliknya menganggap dokter Hillario sebagai seseorang yang kejam. Di sanalah hibriditas menun­jukkan jejaknya, bahwa telah terjadi perpaduan perasaan antara seorang Belanda dan pribumi; antara dokter Belanda dan Mayar yang peduli. Meski tentunya mereka tetap saja tidak dipertemukan dalam suatu relasi yang nyata. Semua itu hanya terjadi dalam ingatan Mayar atas desas-desus yang pernah beredar, untuk men­dukung penilaiannya terhadap Hillario yang jahat dan tidak memikirkan orang lain.

Cerpen TM justru lebih jelas memperlihatkan terjadinya hibriditas secara konkrit antara Barat dan Timur. Identitas tokoh Eropa dan pribumi memang masih terpisah secara tegas. Orang Eropa digam­barkan sebagai opsir Belanda yang menjabat sebagai Jenderal, Kapten dan Letnan. Sementara itu pribumi digambarkan seba­gai pemberontak yang kalah. Di antara rombongan ekspedisi itu, bahkan tahanan pribumi dirantai kakinya.

Saat rombongan ekspedisi tiba di Digul, mereka bertemu dengan penghuni hutan yang tidak lain masyarakat setempat, penduduk Digul, sebagai manu­sia yang hidup di hutan, liar dan cukup membuat takut para opsir Belanda. Namun kesan itu mencair setelah Kapten Becking yakin kedatangan penduduk Digul ke perke­mahan mereka bukan untuk maksud menyerang tapi justru ingin mengadakan tukar-menu­kar barang. Di sanalah kemu­dian terjadi pertemuan antara Barat dan Timur secara seim­bang. Namun demikian, dalam banyak hal, Barat tetap saja melampaui Timur, terlebih dalam hal identifikasi ras sebagaimana kutipan di bawah ini:

Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajah­nya ia mengajak mereka menu­kar tembakau tersebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong ga­ram dan barang-barang perhi­asan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberi­kan kepada pemimpin peng­huni hutan, mereka memba­lasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan (TM).

Identitas penduduk Digul diterangkan dengan sebutan ‘orang-orang hitam, ‘penghuni hutan’, juga ‘manusia-manusia hitam’. Hal ini merujuk pada persoalan ras yang sesung­guhnya amat merendahkan. Selain itu penduduk Digul juga digambarkan belum terbiasa dengan teknologi sehingga mereka keheranan ketika melihat gramofon. Tingkah laku penduduk Digul saat memerhatikan gramofon itu justru menjadi hiburan tersen­diri bagi opsir Belanda. Relasi antara opsir Belanda dan penduduk Digul adalah hubu­ngan antara bangsa yang telah beradab dengan masyarakat terbelakang.

Hibriditas terjadi justru pada sosok Kapten Becking. Sekali lagi, pengarang seakan memunculkan tokoh Belanda sebagai ‘orang baik’. Kapten Becking, seorang opsir Belanda itu memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap pende­ritaan pribumi, terutama para tahanan. Kapten Becking bah­kan memiliki perasaan yang sangat ‘Timur’ sehingga penu­gasan dirinya ke Digul amat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Ini bisa dipahami karena Kapten Becking sudah bertahun-tahun tinggal di Hindia Belanda dan perasa­annya yang mendalam terhadap nasib para tahanan adalah bukti bahwa telah terjadi perpaduan ‘rasa’ antara Barat dan Timur dalam dirinya.

Persoalan Timur dan Barat dalam karya sastra memang sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih serius, sebagaimana latar masa kolonial belakangan ini seolah-olah memiliki pesona sendiri bagi teks sastra, teru­tama beberapa cerita pendek yang terbit di koran (hari) Minggu.

*) Mahasiswa Program Pascasarjana UGM

Bahasa »