Seabad Natsir, Reaktualisasi (Kegagalan) Islam Politik

Firdaus Muhammad*
Kompas, 18 Juli 2008

BULAN ini, tepatnya tanggal 17, Mohammad Natsir (17 Juli 1908–5 Februari 1993) genap seabad (17 Juli 1908–17 Juli 2008). Seabad Natsir laiknya dijadikan momentum reaktualisasi jejak rekam perjuangan politiknya dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam pentas politik dan kekuasaan.

Natsir yang mangkat 15 tahun silam, dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat. Menempuh pendidikan agama di Madrasah Diniyah Solok yang dipimpin pengikut Haji Rasul, sejak 1912 hingga menempuh pendidikan menengahnya di MULO tahun 1927. Natsir kemudian hijrah ke Bandung 1928 dan bergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) di bawah bimbingan Agus Salim, kemudian 1932 sempat berguru pada tokoh Persis, A. Hassan. Di sana ia aktif berinteraksi dengan sejumlah aktivis pergerakan nasional, di antaranya Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Syahrir.

Menyimak pergulatannya dalam organisasi Islam dan pergaulannya dengan sejumlah tokoh besar pergerakan Islam, hingga mengapai puncaknya saat menjadi ketua Partai Masyumi dan perdana menteri, mengundang decak kagum atas kematangan intelektualitas, keislaman, dan jiwa politiknya. Sejarah Indonesia kemudian mencatatnya sebagai salah satu tokoh pejuang nasionalis muslim yang cukup mewarnai sejarah awal kemerdekaan negeri ini.

Natsir dikenal sebagai negarawan muslim dan aktivis Islam politik sejati. Meskipun ia tergolong multitalenta dan gagasannya yang beragam, meliputi persoalan keagamaan, pendidikan dan dakwah, ia tetap lebih menonjol dalam perannya sebagai politikus yang santun, istikamah, punya prinsip, satu kata dengan perbuatan.

(Mungkin) tidak berlebihan jika Natsir dikukuhkan menjadi tokoh yang pemikirannya melebihi zamannya. Pemikiran politiknya cukup cemerlang dengan bekal multilinguis, kemampuannya menguasai banyak bahasa, sebut saja, Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Arab.

Pergaulannya yang luas mengantarkannya memiliki banyak teman sekaligus musuh politik, Soekarno, di antaranya. Talenta Natsir sebagai sosok politisi ulung terbukti saat ia menyelesaikan persoalan separatisme yang rumit ke dalam NKRI tanpa menyakiti hati. Ia juga dikenal sebagai dai profesional yang bisa diterima siapa pun.

Soekarno vs Natsir

Semangatnya menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam, terutama komunis. Sebab itu, Natsir terlibat polemik panjang dengan Soekarno, menyoal relasi agama dan negara.

Bagi Natsir, sejatinya nasionalisme Indonesia mewujud kebangsaan muslimin. Nalar politik Natsir itu meresonansikan konsistensinya yang menempatkan Islam sebagai dasar negara dan ideologi sekaligus.

Soekarno dkk. merujuk paham sekuler Ataturisme atau Kemalisme. Natsir menegasikan sekularisme dengan dalil agama telah menjadi sebuah realitas, a living reality. Alhasil, karena pandangan ideologis itulah Natsir acap mendapat stigma anti-Pancasila.

Polemik panjang dengan Soekarno berjalan tahun 1936-1940-an, tentang bentuk dan dasar negara. Ia menyanggah setiap argumen Soekarno dkk., yang menolak Islam menjadi dasar negara. Secara rasional pula ia membongkar kelemahan Pancasila di depan pejuang-pejuangnya.

Natsir menolak ide Soekarno yang ditengarai merujuk pada ide sekularisasi dan westernisasi Kemal Attaturk di Turki. Natsir tetap mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Klimaksnya saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Natsir menilai Soekarno dkk., arogan, bahkan menyebut peristiwa itu kudeta demokrasi. Natsir menilai Pancasila sekuler dan hampa.

Noktah khotbah politik Natsir yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara serta keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) memojokkan dia dalam stigma orang berbahaya. Rezim Soekarno dan Soeharto menekan gerakan politiknya secara sistematis. Padahal, jika pemikiran Natsir dilihat dalam nalar objektivitas, tentunya akan lahir kearifan dan jauh dari “virus” kesalapahaman yang akut.

Kekeliruan memahami logika politik Natsir yang penuh etika dan kesantunan itu semata-mata karena ia tidak sempat menuliskan gagasannya mengenai Islam sebagai ideologi negara secara sempurna. Atau, (mungkin) kegagalan “pembaca Natsir” memahami substansi pemikirannya tentang Islam dalam relasinya dengan negara, demokrasi dan hak asasi manusia yang justru (hampir) absen dari memori sejarah Indonesia.

Dominannya arus sentimen ideologi Islam versus Pancasila dan islamofobia menjadikan Natsir dinilai keliru. Padahal awal 1980-an, ia dengan penuh keyakinan mengkhotbahkan, “Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam.”

Sayangnya, pewaris ideologi politik Natsir pasca-Orde Baru yang jadi representasi dan “reinkarnasi” Masyumi gagal memberi tabayun cita-cita politik Natsir, hanya bernostalgia atas kebesaran Masyumi. Hampir tidak memiliki girah politik.

Gagalnya Natsir mendapatkan gelar pahlawan nasional, setidaknya, akibat gagalnya pewaris Natsir meyakinkan pemerintah ihwal jasa dan kebesarannya, berikut upaya meluruskan kesalapahaman terhadap tokoh pergerakan Islam legendaris tersebut.

Islam Politik

Masyumi sebagai ikon partai Islam awal kemerdekaan diberangus rezim Soekarno yang memiliki ideologi politik berbeda. Pergulatan Natsir mengibarkan panji Islam politik acap menemui kegagalan karena berlawanan dengan mainstream ideologi penguasa, di era Orde Lama dan Orde Baru.

Sejak bergulir reformasi, yang jadi momentum lahirnya partai-partai Islam dengan asas Islam, seperti yang diperjuangkan Natsir pada masanya, hampir tidak menyisakan nasib baik partai Islam. Jika kegagalan Islam politik Natsir melawan ideologi politik Pancasila Soekarno dijadikan dalil setting politiknya tidak tepat, lalu kini peluang berkiprah dan momentum bangkitnya Islam politik juga gagal dimanfaatkan elite politik melalui partai Islam.

Jika sepakat bahwa Islam politik gagal dalam tekanan rezim tertentu dengan seting politik yang memarginalkan Islam politik, tetapi ketika rezim itu tumbang,

Islam politik tetap mengukir kegagalan, berarti konsep Islam politik memang demikian rapuh. Alih-alih “reaktualisasi” ditafsirkan sebagai noktah mengulang kegagalan Islam politik Natsir yang dimarginalkan. Lalu kini juga gagal karena disorientasi partai politik berasas Islam.

Menyoal kegagalan Islam politiknya Natsir, yang kelak, mewabah pada elite partai-partai Islam pasca-Orde Baru, yang juga gagal mengibarkan girah Islam dalam kancah kekuasaan politik, mengundang keprihatinan. Beberapa partai Islam yang merupakan “reinkarnasi” Islam politik Masyumi juga redup di tengah dominasi partai-partai besar “warisan” Orde Baru.

Persoalan ini diyakini akan menjadi polemik berkepanjangan jika menstigma Islam politik gagal karena tidak laiknya konsepsi dan paradigma politik dalam Islam atau karena ketidaksiapan elite Islam bergulat dalam konstelasi politik nasional. Tetapi, setidak ada sebuah asa dan kesadaran menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berdemokrasi.

Apa pun apresiasi kita atas pelbagai jasa dan kebesaran Natsir, bukan untuk pengultusan, melainkan demi meneladani sosok pejuang Islam yang rela melakukan apa pun demi Islam. Akankah bangsa ini menjadi bangsa yang besar jika pejuang yang ikut menegakkan bangsa ini terlupakan?

* Firdaus Muhammad, Koordinator Afkar Circle dan Dosen IAIN Raden Intan Lampung
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/opini-seabad-natsir-reaktualisasi.html