“Aduh”: Renungan Manusia Indonesia Masa Kini

Catatan untuk Forum Sastra Tabanan 2011

Halim HD *
balipost.co.id

TEATER bukan hanya media. Dari dirinya penuh dengan kandungan pernyataan renungan tentang kehidupan. Karena itulah teater bicara tentang posisi dan eksistensi manusia dalam konteks ruang dan waktu. Dalam konteks ruang-waktu itulah dan dalam kaitannya kondisi manusia, maka teater senantiasa memberikan isyarat dari jaman ke jaman, dari ruang sosial ke ruang sosial lainnya.

Itulah, secara singkat, gambaran tentang kontribusi teater yang secara signifikan perlu bagi kita bukan hanya mengenangnya dan melakukan praktek sekedar pertunjukan. Tapi teater mestilah selalu ditumbuhkembangkan sebagai bagian dari pernyataan kemanusiaan kita di antara gelumbang perubahan yang direncanakan maupun sesuatu yang tak bisa kita hindari.

Dalam kaitan dengan hal itu, dan sehubungan dengan kondisi kehidupan di lingkungan kemasyarakatan secara sosial dan personal, di mana berbagai krisis di negeri ini kita rasakan dengan kepedihan paling dalam, dari bencana alam yang merenunggut jiwa dan telah membuat kita kian terpuruk ke dalam berbagai duka yang tak mudah kita obati seketika. Namun dalam sisi kehidupan yang lain justeru bencana sosial dalam berbagai seginya, dalam praktek-praktek kehidupan sosial politik, ekonomi dan kebudayaan lebih dalam maknanya dari kegegaran yang kita alami dan rasakan. Praktek korupsi, manipulasi dalam transaksi kehidupan social politik ekonomi, dan ditambah oleh peninstaan terhadap hak-hak warga, dan lepasnya tanggungjawab pengelola negeri ini serta ditambah oleh berbagai peristiwa bukan hanya ketegangan tapi juga ke arah konflik sosial secara horisontal akibat pendakuan (claiming) kebenaran oleh ormas-ormas keagamaan, membuat posisi dan eksistensi kehidupan warga, manusia Indonesia mengalami sejenis krisis yang bukan hanya nilai-nilai sosialnya saja. Tapi, lebih dari itu, sesungguhnyalah kita mengalami krisis kemanusiaan.

Tentu bahwa teater, dalam konteks itu bukanlah sejenis obat cespleng yang bisa menyembuhkan. Bukan tugas teater untuk menyembuhkan luka sosial dan kebudayaan akibat berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya, secara seketika. Teater, dalam bentuknya paling konkrit sebagai ruang imajinasi sosial yang dibingkai oleh metafora dan simbolisasi kehidupan merupakan sumbu pemercik ke arah permenungan, refleksi atas aksi dari berbagai peristiwa yang membutuhkan penafsiran dan pelacakan secara mendalam. Dalam konteks inilah teater sebagai sumbu pemercik ke arah pencarian makna kehidupan yang hakiki yang dijembatani oleh metafora dan simbol hanya bisa dilakukan oleh kerangka kerja kebudayaan yang secara berkesinambungan.

Masyarakat

Dan kesinambungan ini pula yang ingin kita sodorkan dan tegaskan kembali kehadapan lingkungan kehidupan masyarakat kita. Maka suatu forum teater dengan tema “Aduh” yang diangkat dari lakon yang ditulis oleh dramawan-sutaradara-penulis-sasterawan kondang kelahiran Tabanan, Putu Wijaya diangkat sebagai tema utama. Tema ini merupakan lontaran yang didasarkan kepada berbagai pengamatan atas kehidupan negeri ini yang kian terpuruk yang, yang ditanggapi oleh Boping Suryadi, sekaligus ingin menyatakan bahwa Tabanan menjadi salah satu mata rantai kehidupan teater dan kesenian. Hal itu, berkaitan dengan ketertarikannya sebagai seniman dan sekaligus tanggungjawab kebudayaan, yang baginya, bahwa Tabanan dipilih berkaitan dengan tanah kelahiran Putu Wijaya dan sekaligus melalui lakon “Aduh” Tabanan memberikan refleksi terhadap kondisi manusia dan negeri ini yang kian memprihatinkan.

Pada sisi lainnya, peristiwa teater yang akan digelar pada tahun 2011 ini adalah tanggungjawab kebudayaan dalam upaya untuk menciptakan “tradisi baru” dalam kehidupan teater modern kita, yang selama ini belum pernah meletakkan akar kehidupan teater yang didasarkan kepada seorang penulis lakon Indonesia. Begitu banyak festival atau forum teater setiap tahunnya diselenggarakan dengan tema atas konsep estetika teater itu sendiri, dan tidak mengaitkannya kepada kerangka yang lebih luas. Maka forum teater Tabanan dengan “Aduh” meletakkan dasar kepada “tradisi baru” melalui fokus kepada penulis lakon Indonesia, Putu Wijaya, yang lakonnya itu sendiri dijadikan sebagai tema yang sekaligus dengan tema itu ingin melakukan refleksi terhadap kehidupan manusia Indonesia dalam berbagai seginya.

Pada segi lainnya, forum teater Tabanan dengan tema “ADUH” juga mengembangkan gagasan ke dalam praktek berbagai disiplin kesenian. Maka “Aduh” yang akan digelar pada ruang-ruang terbuka (open space, out door) melibatkan bukan hanya disiplin dan eksplorasi dunia teater saja. Tapi juga teater-tari (dance theater), performance art dan instalasi. Dengan berbagai pendekatan disiplin serta eksplorasi estetika dari masing-masing arah dan ruang kesenian, salah satu hal yang memungkinkan akan memunculkan suatu bentuk kolaborasi antar kesenian dan seniman; suatu bentuk yang melintasi batas-batas (borderless) disiplin kesenian yang selama ini dianggap membelenggu.

Melalui eksplorasi yang bersifat lintas batas dan kolaboratif, kita ingin menegaskan refleksi yang lebih mendalam melalui “ADUH” dan sekaligus juga pembelajaran kembali diri kita, kaum pekerja kesenian, bahwa ada sesuatu yang perlu kita lakukan secara bersama-sama sebagai bukti komitmen dan tanggungjawab sosial dan kebudayaan di antara gegar jaman yang kita hadapi selama ini.

_________BP/ 09 Januari 2011
*) Halim HD, Networker Kebudayaan & Kurator Mimbar Teater Indonesia, Solo.

Bahasa »