Danis, Sang Model

Hery Firyansyah
http://www.suarakarya-online.com/

Saya beradu mata dengannya pertama kali kira-kira sebulan lalu. Saat itu pukul sebelas malam. Jalan Melawai Raya macet total. Agak lupa penyebabnya. Tetapi saya pasti ingat wajah itu: rambut sebahu, tulangpipi agak tinggi, serta sepasang bibir yang tampaknya tak begitu mahir menyulam senyum. Ia menukar tatapan saya dengan tikaman matanya, dan terus mengunci sudut pandang itu samai mobil saya beranjak menikung.

Malam berikutnya, ia masih disitu. Saya kejabkan lampu mobil. Ia mendekat bersama dua temannya, menyeret tubuh mungilnya yang terbalut T Shirt putih dan celana jins biru. Dibanding kedua rekannya, ia bagai keping jigsaw puzzle yang jatuh ke atas papan yang salah.
“Lagi nunggu orang, Om,” katanya setelah menyadari bahwa telunjuk saya mengarah kepadanya.
“Terus ngapain ikut ke sini?” Entah mengapa, ingin sekali saya membuatnya marah.
“Mobilnya sama tauk!” Ia menjauh, menyalakan sebatang rokok. Matanya jadi beringas.
“Saya aja, Om. Danis udah punya gebetan tetap,” Si blonde mengedipkan mata, tapi langsung disikut seorang lainnya. “Kok ngejatuhin temen?” kata si penyikut.
“Namamu Danis?” saya memburu si tubuh mungil. “Kapan kosong?” Gadis itu mengembuskan asap ke udara.

Sejenak terpikir untuk menahan tangannya, tapi pengendara mobil di belakang membunyikan klakson. Saya enggan cari masalah, maka saya lemparkan pandangan terakhir kepada Danis, kemudian pergi dari tempat itu.

Danis! Gadis itu cocok menjadi Ratu Sekop dalam lukisan “Obsesi Kartu” yang sedang saya garap. Saya telah merampungkan empat Raja, empat Jack. serta tiga Ratu. Semua menggunakan model. 8 pria, 3 wanita.

Masing-masing punya karakter unik, sesuai tafsiran saya atas referensi yang saya baca. Namun saya kesulitan dengan sosok Ratu Sekop. Saya merancang Ratu Sekop harus angkuh, kejam, dan percaya diri. Saya tahu, tak banyak wajah Asia yang bisa mewakili seluruh karakter itu. Tapi saya tak ingin kompromi.

Saya ceritakan semuanya kepada pak Hendra, promotor saya. Ia mengerti kesulitan ini, dan tetap antusias. “Masterpiece tak pernah dibuat buru-buru,” katanya. “Tema lukisan ini dahsyat, gaya Art Nouveau-mu mengingatkan orang akan lukisan Empat Dewi Musim karya Alphounese Mucha. Semoga pameran ini dilirik dunia.”

Saya tersenyum. Kadang promotor bisa demikian optimis. Mungkin dia benar. Saya bukan lagi pelukis amatir seperti 8 tahun lalu. Anugerah Philip Morris Awards berikut gelar Pelukis Muda Paling Berbakat Se-Asia ada dalam genggaman. Seorang kritikus Malaysia menyebut saya “Bapak Neo Art Nouveau”.

Semua itu menyenangkan. Tapi jujur yang ingin saya lalukan sekarang hanyalah duduk di depan kanvas bersama delapan belas kuas Holbein kesayangan saya. Memindahkan miliaran titik dan warna di rongga kepala menjadi sebuah komposisi nyata. Wajah Ratu Sekop Wajah Danis.

Sejak itu, saya sering ke Melawai. Tapi Danis tak muncul. Teman-temannya pun kehilangan jejak. Saya resah. Tenggat waktu mengerut cepat, sementara saya semakin tak kuasa menggoreskan sesuatu ke atas kanvas.

Pak Hendra, yang barangkali lelah ditekan pihak sponsor, ganti menekan saya. “Model?” katanya. “Orang sekalibermu? Apa susahnya mengarang wajah wanita!”

Sudah tentu saya protes keras. Saya bahkan mengancam menghentikan proyek ini apabila ia memaksakan kehendaknya. Pak Hendra tahu, saya sellau serius dengan perkataan saya. maka ia pun berhenti merengek.

Sebulan kemudian, saya bertimbang-timbang. Saya memang tak pernah sepakat dengan usul Pak Hendra, tapi apa salahnya menggunakan wanita lain? Sedikit olahan pada alis bertambah permainan bayangan pada kedua ujung bibir lahir akan membuat siapapun jadi angkuh, bukan?

Syukurlah rencana itu tak segera saya lakukan, karena petang ini tiba-tiba Danis muncul di sebelah kiri mobil saya, melambaikan tangan.

Begitu roda mobil berhenti,Danis membuka pintu, lalu mengempaskan pinggulnya ke atas jok. Matanya lurus ke depan, mulutnya sibuk dengan permen karet. Ia mengenakan kemeja flannel biru dipandu jins hitam. Dia tampak manis dengan pakaian itu.
“Kosong?” saya mencoba ramah.
Danis mengangguk. “Kok Om terus nyari saya, sih?”
“Dede …” saya ulurkan tangan. “Kita nyantai aja deh, enggak usah panggil Om. OK?”

Danis mengulang anggukannya sambil meludahkan permen ke tempat sampah di bawah dasbor. Tangannya mengacungkan sebatang rokok. Giliran saya mengangguk.

“Nanti saya jelaskan mengapa saya mencarimu.” Saya tekan tombol power window, lalu memberi kesempatan angin tukar tempat dengan asap rokok dari mulut Danis.

“Sekarang kita makan dulu,” Danis lebih tertarik dengan tombol radio-tape. “Boleh ganti lagu?” tanyanya.

“Sesukamu,” jawab saya, yang segera saya sesali, karena ia menghentikan putaran jarinya pada lagu hip hop yang mengguncang telinga dan kewarasan saya.
“Sorry, bisa kecilin volumenya?” pinta saya.

Danis mengurangi kebisingan itu. “Kamu pasti 20 tahun lebih tua dari saya,” Danis mempertahankan lengkung bibirnya. “Tapi saya suka kamu. Semoga kamu bukan orang brengsek lainnya.”

Tak begitu paham apa yang sesungguhnya ingin di katakan, tetapi saya tahu, gadis ini ramah.

Tengah malam, kami tiba di tempat tujuan: studio lukis merangkap rumah saya. “Sendirian di sini?” Danis mengikuti saya ke dalam.
“Ada pembantu. Pulang sore,” saya membuka lemari es. “Bir?”
“Teh anget saja,” Danis menengok semua sudut ruangan. Saya pun mengulurkan secangkir teh hangat.

Ia beranjak ke tempat yang saya tunjuk: spring bed ukuran king. Tempat tidur saya. Mendadak tangannya bergerak melolosi kancing kemejanya.
“Tunggu. Siapa suruh buka baju?”
Danis membeku. “Katanya mau lukis saya bugil?”

“Secara teknis nantinya begitu,” saya tertawa. “Tapi biasanya saya ngobrol dulu dengan model saya, supaya lukisan saya punya jiwa.”
“Tadi udah ngobrol.”

“Maksud saya, ngobrol yang agak lebih pribadi. Misalnya kenapa kamu bisa terdampar di tepi jalan, pindah dari satu mobil ke mobil lainnya?”

Danis mereguk tehnya. “Ayah saya penyanyi dulunya. Ibu waitres. Waktu usia 6 tahun, mereka cerai. Entah siapa yang nyeleweng. Saya pun dititip ke paman. Anak papan 2 orang. Laki semua. Suatu hari, anak paman yang sulung menyuruh saya telanjang, lalu memperkosa saya.” Danis menarik napas sebentar.

“Ketika lulus SMP, anak paman yang kedua sering memaksa saya bersebadan. Begitu saya hamil, Paman malah ngusur saya. Sebelumnya menyusuh bibi pergi ke dukun, menggugurkan kandungan saya. Saat itu saya langsung tahu, masa depan saya nggak akan jauh dari trotoar.”

Danis berhenti bicara. Dia membisu hingga beberapa saat. Kemudian ingatannya melayang ke beberapa tahun silam. “Suatu malam, pernah reserse menggerebek pesta di rumah. Saat itu kami sedang pesta bersama tema-teman seangkatan di SMA. Lalu orangtu kami dipanggil polisi, termasuk mama dan papa. Mareka kaget, dan langsung menutup semua perkara itu. Tentu saja pake uang. Saya pikir kejadian itu akan membawa perubahan di rumah. Nyatanya enggak. Orangtua makin sibuk dengan kebiasaannya dan saya makin pa-rah. Setiap malam ngobat atau berkeliaran jadi perek. Maka saya putuskan minggat dari rumah. Sampai sekarang nggak ada yang mencari.”
Saya menekuk bibir.

“Kamu lebih rumit dari dugaan saya. Tapi sudahlah. Ayo, saya antar pulang.” Sambil meraih kunci mobil, saya sulut sebatang rokok. “O ya, ini untuk kamu,” saya sodorkan sepucuk amplop kepadanya.

Tanpa menengok isinya, Danis mencampakkan amplop itu ke lantai. “Apa sih maumu?” suaranya tiba-tiba meninggi. “Apa yang ingin kamu denger dari lonte jalanan ini? Cerita romantis? Kamu kelamaan tinggal di gedong ini, jadi nggak pernah tau di luar sana ada banyak orang dengen cerita jelek kayak saya!”

“Bukan soal itu!” Saya tarik dia ke pavilyun rumah. Disitu saya simpan lukisan yang sudah rampung saya kerjakan. “Lihat ini,” telunjuk saya mengarah ke lukisan seorang wanita cantik. “Ceritakan, siapa dia. Kamu anak gaul. Ketemu ratusan orang, katamu tadi. Pasti tahu orang macam apa dia ini.”

“Nggak mau!” Danis berusaha lepas dari cengkeraman saya. Matanya liar saat perjumpaan pertama dulu. Saya paksa ia menatap terus lukisan itu. “Ayo ceritakan.”

Danis mengatur napasnya yang menderu. Direnggutnya sebatang rokok dari saku baju saya. “Saya nggak tau. tapi kalau disekolah, sampai ketemu yang gini,pasti saya gamparin. Ini tipe anak Bu Guru yang demennya ngaduin temen dan mainnya cuma sekitar rumah sekolah!”
“Kalau ini?” Saya tuntun mata Danis ke arah lukisan Jack Keriting.
“Gay. Rahangnya kotak, matanya bukan mata lelaki.”

Saya tersenyum. “Selamat. Tebakanmu benar. Sekarang kamu paham kan saya pantang melukis mereka seandainya dalam obrolan santai seperti kalender mereka bertentangan dengan citra yang ingin saya bangun?”

Bahu Danis masih terlihat turun naik. “Saya memang suka ngarang cerita. Dari keterpaksaan, akhirnya mendarah daging. Kadang kadang saya sendiri sulit nebak mana yang bukan rekaan. Karakter apa yan gkamu pikir ada pada saya?” suara Danis mulai melunak.

Danis menggeser rokok ke sisi kanan bibirnya. “Saya udah bilang, nggak mudah ingat yang asli. Anggap saja yang asli ada di antara yang saya ceritakan tadi.”
“Bagian mana?”
“Yang jelek. Terserah yang mana. Apa itu cukup?”

Saya tidak menjawab. Pelan-pelan saya mulai menggoreskan pensil ke atas kertas, memindai wajah Danis dari beberapa sudut.
Danis menjulurkan kepala.

“Jangan banyak gerak,” gumam saya. Untuk banyak menit, hanya dengung pendingin ruangan yang tertangkap telinga. Ditambah keresek kertas setiap kali saya mengubah posisi tangan.
“Sambu,” akhirnya terdengar suara Danis, “bisa titip pesan?”

Ketika mengdongak, saya jumpai sepasang mata yang basah. “Saya feeleng, lukisanmu sukses. Ya, saya yakin orang akan datang melihat. Boleh jadi salah satunya adalah papa. Ia suka ke pameran lukisan,” Danis terus bicara. “Saya cuma ingin bilang, tolong bantu saya bikin cerita bohong. Untuk kebaikan orang lain.” “Cerita bohong kok untuk kebaikan orang lain?”

Danis terisak. “Mungkin memang akan untuk kebaikan. Tapi cobalah kenang hal-hal baik yang kamu alami bersama saya malam ini, supaya di dalam lukisanmu nanti tampang saya nggak keliatan kayak perek. Saya cuma pengin ketika melihat lukisan ini, papa akan mengenang saya seperti terakhir kali ia melihat saya sebelum kabur dari rumah. Mau bantu?”
Diam-diam saya kagum. Pandai ia megecoh jalan hidup yang berkelok. “Mau bantu?” ujar Danis lagi.

Saya mengeluh pendek. Barangkali terbawa pula sepotong kata “ya” dalam keluh itu. Tapi tentu saja saya tak bisa terlalu yakin, mengingat detik detik berikutnya, pikiran saya pindah ke atas gambar. Hanya kadang-kadang, disaat jeda mengganti kertas atau mengasah pensil, saya harus lekas memberi kabar kepada Pak Hendra tentang penangguhan waktu pameran.

Selain itu, besok saya harus mulai mencari kostum untuk referensi lukisan ini. Karena sudah saya putuskan bahwa Danis akan saya lukis bukan sebagai perek, tetapi model jalanan yang liar. Model cantik yang selalu diincar banyak lelaki untuk dijadikan wanita penggembira. Wanita yang bisa dijadikan penyeimbang keadaan, penguasa. Penghibur. Bukan begitu Danis?

***19 November 2011