Yasir Amri
beritamusi.com
TEATER Indonesia hari ini menggeliat kembali. Berbagai pertunjukan digelar oleh kelompok atau pekerja teater lama dan baru. Tapi di mata Halim HD, seorang pekerja kebudayaan, teater di Indonesia masih dalam kondisi kritis dan krisis. Ini sebagai akibat hegemoni nilai-nilai kapitalisme yang mulai menggerogoti kebudayaan Indonesia.
“Akibatnya teater di Indonesia diproduksi secara instant atau masuk dalam system produksi proinstant,” kata Halim HD kepada BeritaMusi.Com, melalui telepon, Minggu (02/08/2009).
Menurut Halim yang baru mengikuti seminar teater bertajuk Memerdekakan Teater di kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, yang diselenggarakan Teater Payung Hitam dalam rangka HUT-nya ke-27, 1 Agustus 2009 kemarin, teater di Indonesia perlu melakukan pencarian identitas diri melalui penemuan metode dan teknik teaternya. “Dan yang paling penting melakukan pencatatan atas proses produksinya,” kata Halim.
Tetapi, dalam proses pencarian identitas atau jati diri tersebut, para pelaku teater harus memahami sosio-historis teater yang ada di lingkungannya. Selama ini yang terjadi banyak produksi teater tanpa pendalaman hal tersebut.
Halim juga mengatakan isu dalam dunia sastra maupun teater tentang tema postcolonial yang banyak dibicarakan saat ini, kuranglah tepat. Sebab persoalan di Indonesia saat ini yang sangat penting adalah bagaimana melahirkan karya-karya yang memberikan semangat de-kolonialisasi, baik secara personal maupun kerangka sistemiknya.
Siapa Halim HD?
Halim dilahirkan pada 25 Juni 1952 dari keluarga pedagang-petani di Serang, Karesidenan Banten, Jawa Barat. Dia menamatkan SD dan SMP di Serang, dan melanjutkan SMA di Yogyakarta. Halim pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1972-1977, tetapi tidak sampai selesai.
Selama kuliah, Halim terlibat mengelola majalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Universum, di samping sebagai penanggung jawab dan koordinator “Forum Dialog” mahasiswa Fakultas Filsafat. Forum ini berusaha untuk mengembangkan diskusi dan dialog tentang filsafat, agama, kebudayaan, dan masalah-masalah aktual kemasyarakatan dengan perspektif filsafat.
Halim pun pernah terlibat kegiatan sastra pada tahun 1972-1976. Dia pernah menulis puisi tapi kemudian berhenti. Dia lebih kosentrasi membuat tulisan mengenai kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Tulisannya dimuat di berbagai media massa di Indonesia.
Terus, Halim dikenal sebagai penggiat kebudayaan dan perangsang kerja kebudayaan di Indonesia, sepertu di Solo, Bandung, Malang, Makasar, dan daerah lainnya.
02.08.2009