Matajaman cs Sakaratol Cinta

Tandi Skober
http://www.lampungpost.com/

Dalam ruang awang-uwung, linglang linglung di titik terjauh peradaban yang redup maka yang tersisa adalah realitas ketuhanan dan selarik puisi layang kalimasada. Selarik puisi itu adalah ageman sekaligus jimat milik Prabu Yudhistira usai amarah Bratayudha mematikan sedulur papat kelima pancer.

YUDHISTIRA ditemani seekor anjing—beberapa mitos meyebutkan juga ditemani Sabda Palon dan Nayagenggong— meninting roh, mendaki perbukitan ketuhanan di Gunung Tengger. Gunung yang kerap ditabalkan sebagai tetenger pertanda sebuah peradaban alih warna.

Konon, dalam heneng hening dan eling Yudhistira selalu saja gagal memaknai kandungan puisi Layang Kalimasada itu. Hingga ketika pelangi melengkung jauh ke lipatan ombak laut pesisir utara Jawa, ada sosok darwis berbaju gamis ajarkan makna yang terkandung dalam surah layang kalimasada itu. Puisi itu adalah dua kalimat syahadat. Yudhistira sumringah. Selembar surga menjadi perahu langit, roh Yudhistira kembali ke pangkuan Ilahi.

Era abad ke-13 hingga 17, ditengarai jiwa manusia Jawa sedang bertawaf pada pusaran peradaban sinkretisme tanpa jenis kelamin. Jimat layang kalimasada itu ditakwil para pengembara ibad ar rahman—kerap juga disebut darwis atau fakir dari Turki, Yaman, Syria, Iran, dan India—bahwa hakikat berketuhanan ialah pada saat duduk tasyahdu salat yang diarahkan ke kiblat. Saat itu ada konsistensi riligi terhadap keesaan Allah swt. dan pengakuan Muhammad saw. sebagai rasul.

Puisi Layang Kalimahsada itu berputar-putar di ruang nalar saya, saat saya menghadiri Perang Puisi: Sakarotul Cinta vs Matajaman di Rumah Dunia Gol A Gong, Banten, Sabtu, 21 Januari 2012. Pembicara yang hadir, yakni Toto S.T. Radik dan dosen Filsafat dan Teologi UIN SGD Bandung, Bambang Q Anees dengan moderator Rahmat Heldi. Dimulai sejak pukul 20.30 sampai 23.00. Sakarotul Cinta karya Matdon berhadapan dengan antologi puisi Matajaman karya Budhi Setyawan, Jumari H.S., dan Sosiawan Leak.

Saat penyair kelahiran Solo Sosiawan Leak alirliarkan sajak-sajak kesaksian sejarah 2004-2009, yang menyelinap di lipatan nalarku adalah fatwa mata tajam ketika jaman terperangkap sakaratol cinta. Luar biasa, luar dalam! Leak mendaur ulang sastra sufistik kuno dalam kemasan yang aduhai. Ia terperangkap realitas yang diciptakan ruang waktu kekinian dan membenturkan dirinya dalam ruang mangmung yang murung. Perih keprihatinan berputar-putar di bawah cahaya cinta yang kehilangan jejak. Ia menakwil imajinasi dengan cerdas dan memosisikannya sebagai realitas itu sendiri. “Di negeri tahi, para tahi berjubel tanpa peduli,” ungkap Leak, “Mereka lahir dari lubang yang mana, entah dari pantat raja, perdana menteri, pengusaha, buruh, atau tunawisma dan psk, tak ragu bertemu dan bercengkrama dengan tahi dari dubur seniman dan mahasiswa.”

Hmm, saya tepuk tangan dua kali! Dua-duanya untuk Albert Einstein yang memosisikan harta paling steril yang dimiliki manusia adalah imajinasi. Dan itu hanya dimiliki para penyair. Kenapa?, “Logic will get you A to B, imagination will take you everything.”

Tak aneh, manakala penyair Budhi Setyawan tidak hanya menjadi sesuatu juga diam-diam membiarkan imajinasi berhembus bagai angin, memasuki ruang-ruang sunyi dan Toto S.T. Radik menengarai ia terkunci di dalam. Dalam gelap, “Ke mana mesti kutawarkan kalut, kepada siapa bisa kuberikan pengap, di mana mesti kulepaskan hampa,” ungkap Budhi dalam Di Matahari Kutemukan Gelap.

Hmm, kali ini saya tidak tepuk tangan. Tapi saya menangis. Kenapa? Budhi telah alirkan air mata dari mata air sejarah lama ketika sastra tarekat terikat idiom-idiom lokal yang jenius. Wajah istikamah sang penyair yang merangkap menjadi pegawai Kementerian Keuangan RI ini merenda luka kultural bersifat holistik dan tidak final! Persis sama ketika para Wali Sembilan memompakan akidah di ruang sinkretisme yang tak berbentuk. Ini ndak salah lo Mas Budhi Setyawan, sebab “form in poetry is itself a trope,” tulis Harold Bloom, “A figurative substitution of the as-it-were outside of a poem for what the poem is supposed to represent or be.”

Bila Leak dan Budhi bertawaf pada ruang kalbu sastrawi kejawen maka Rois ‘Am Majelis Sastra Bandung K.H. Matdon sudah pun memasuki tahapan sastra ukhrawi yang memukau. Ia mengukir humanisme kinasih dalam teks-teks cinta yang teduh. Tak aneh manakala Bambang Q Anees terkesima, “Matdon lari dari realitas dengan mengarahkan kesadarannya dan kemarahannya pada perempuan. Matdon seperti mengajak untuk melarikan diri dari situasi ini kepada cinta. Tidak semua orang sanggup mencatatkan kemarahannya. Namun, seorang penyair mampu mencatatkannya dengan indah.”

Itulah K.H. Matdon! Inilah yang membuat saya kerap bermimpi entah kapan bisa diterima sebagai santri sastrawi di Majelis Sastra Bandung. Jujur, K.H. Matdon mengingatkan saya pada sebuah zaman era 1970-an dan awal 1980-an. Era itu sastra ukhrawi sufistik bertebaran. Era itu risau penyair menggiring kita pada keteduhan surau. Karya sastra menjadi kenderaan dunia untuk meraih rida Allah. Kita bisa catat Malam Rumi (1982), Malam Hamzah Fansuri (1984), Malam Iqbal (1987) yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Kini, langkah K.H. Matdon bertasbih ke arah itu. Simak, sajak-sajak K.H. Matdon merupakan proses cendekia yang cerdas. “Adalah langkah nalar di belantara kemajemukan hasrat masyarakat, sekaligus—mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977—sejenis pergulatan “kultur tersembunyi” yang sukar ditangkap oleh orang lain, tapi mampu ternikmati hingga titik teks terakhir.”

Kultur tersembunyi inilah kekuatan Matdon! Ini pula yang membuat saya berdiri dan tepuk tangan berkali-kali saat K.H. Matdon membacakan puisi sambil makan durian. Sajak-sajak Matdon memiliki substansi revitalisasi estetika yang berbasis pada imajinasi cendekia. Tak pelak, Matdon layak terposisikan sebagai pilar pemberdayaan sekaligus abstraksi kontesia pemikiran yang memiliki validitas tinggi.

Adakah ini eskapisme kepenyairan Matdon? Saya jadi ingat tuturan Abdul Hadi W.M. di sebuah koran, “Dunia tempat kita menjalani hidup ini adalah rumah bagi kita, sekaligus kuburan. Masalahnya, bagaimana kita memberikan makna, tujuan, dan dimensi spiritual terhadap hidup kita sebelum akhirnya menyongsong kematian.”

Malam itu, Ahad 21 Januari 2012, semut di musala Gol A. Gong, saya pijit usai salat isya. Selembar surga menjadi perahu langit membawa roh semut. Hmm, saya tertinggal di altar Sakaratol Cinta. Di sudut musala, saya baca sajak ukhrawi K.H. Matdon, “Assalamualikum, wainna insya Allah bikum lahikuun. Sedang apa kalian di ujung nisan? Di sini aku lelah mencari Indonesia.”

Tandi Skober, pengarang /12 February 2012