Potensi Sastra Daerah Penyangga Ibukota

Ahmadun Yosi Herfanda *
Republika, 26 Maret 2006

Sebagai wilayah penyangga ibukota (Jakarta), Tangerang banyak menjadi hunian pilihan para urban, termasuk sastrawan. Dari catatan Yayasan Kesenian Tangerang (YKT), misalnya, sedikitnya ada 49 sastrawan yang tinggal di wilayah Kabupaten Tangerang. Di luar daftar itu, masih ada nama-nama lain yang pernah mempublikasikan karya di media massa, sehingga jumlah seluruhnya bisa mencapai 70 orang lebih.

Meskipun telah terjadi semacam dekonstruksi terhadap pusat-pusat sastra, tampaknya masih cukup banyak penulis yang memilih Jakarta sebagai tempat aktivitas utama mereka dalam bersastra. Dan, karena biaya hidup di Jakarta sangat mahal, mereka memilih tinggal di daerah-daerah penyangga di Jabodetabek, terutama Bekasi, Depok, dan Tangerang, yang memiliki kemudahan akses transportasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sastra di Jakarta. Selain itu, banyak juga di antara mereka yang hijrah ke Jabodetabek, karena tuntutan pekerjaan, belajar/kuliah, atau mengikuti migrasi kerja orang tua.

Mengingat banyaknya sastrawan yang tinggal di Tangerang, adalah menarik untuk melakukan pemetaan potensi sastra di wilayah penyangga ini. Dan, untuk melakukannya perlu didukung semacam penelitian dan mendalam dan komprehensif, tidak hanya terhadap aktivitas bersastra mereka, tapi juga terhadap karya-karya dan kecenderungan estetiknya. Jelasnya, untuk mengetahui potensi sastra di Tangerang, tidaklah cukup hanya dengan mengetahui jumlah dan nama-nama mereka. Tulisan ini merupakan gagasan dan data awal untuk menuju pemetaan yang sebenarnya.

Di balik sastra ada sastrawan. Merekalah yang melahirkan karya sastra. Karya sastra takkan lahir tanpa sastrawan. Karena itu, untuk membuat peta potensi sastra Tangerang, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mendata nama-nama sastrawan yang tinggal di Tangerang. Setelah itu, baru mendata karya-karya mereka, untuk mengetahui tingkat produktivitas, kualitas dan kecenderungan estetiknya.

Selain itu, perlu didata juga komunitas-komunitas dan lembaga sastra yang ada di Tangerang, apa saja kegiatannya, guna mengetahui seberapa besar dorongan yang ada dalam melahirkan sastrawan dan karya-karya baru yang berkualitas. Keberadaan komunitas dan lembaga sastra sering sangat penting untuk mendorong kreativitas dan produktivitas sastrawan guna melahirkan karya-karya baru yang lebih berkualitas. Setidaknya, komunitas dan lembaga sastra dapat menyediakan ruang-ruang alternatif bagi sosialisasi karya mereka.

Dari daftar sastrawan yang dibuat oleh YKT dapat ditemukan nama-nama sastrawan yang cukup penting dan sudah dikenal secara luas — setidaknya nama mereka tercatat dalam buku Leksikon Sastra Jakarta (DKJ, 2003) seperti Danarto, Radhar Panca Dahana, Dianing Widya Yudistira, Mustafa Ismail, Ahmadun Yosi Herfanda, Hudan Hidayat, Edy A Effendi, Humam S Chudori, Iwan Gunadi, Aris Kurniawan, Wowok Hesti Prabowo, Iman Sembada, Wilson Tjandinegara, Husnul Khuluqi, Aef Sanusi, Zaenal Radar T, Mahdi Duri, dan Nasaruddin Falufuz.

Dengan pendekatan di atas, setidaknya, ada 18 sastrawan di Tangerang. Jumlah tersebut masih harus ditambah dengan nama-nama yang belum ada dalam daftar sastrawan Tangerang versi YKT, misalnya Prijono Tjiptoherijanto, Arie F Batubara, Yusuf Susilo Hartono, dan Azyumardi Azra. Penyair Afrizal Malna juga pernah cukup lama tinggal di Tengarang. Maka, setidaknya ada 23 sastrawan Tangerang yang kini sudah dikenal cukup luas. Tentu, jumlah tersebut akan terus tumbuh, mengingat nama-nama sastrawan baru terus berlahiran dengan karya-karya baru dan berbagai fenomena estetiknya sendiri.

Data kuantitatif lain yang juga harus dicatat dalam pemetaan ini adalah buku-buku karya para sastrawan Tangerang yang telah terbit. Data ini penting untuk melihat sebesar apa sumbangan sastrawan Tangerang dalam memperkaya khasanah dan perkembangan sastra Indonesia. Sayangnya, para pengamat, pelaku dan organiser sastra di Tangerang, sejauh ini, belum memiliki sistem dokumentasi yang baik. Sistem dokumentasi yang memadai juga belum dimiliki oleh YKT dan komunitas sastra yang berpusat di Tangerang, seperti Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Hal ini menyulitkan kita untuk melakukan pendataan karya secara akurat.

Secara sepintas dan acak, kita memang dapat mencatat beberapa sastrawan Tangerang yang cukup produktif melahirkan buku, seperti, Danarto, Radhar Panca Dahana, Hudan Hidayat, Dianing Widya Yudistira dan Ahmadun Yosi Herfanda (maaf, terpaksa menyebut nama sendiri demi kelengkapan data). Ada juga nama-nama yang setidaknya telah memiliki satu buku kumpulan sajak, misalnya, Aef Sanusi dengan Ririwa (1996), dan Wowok Hesti Prabowo dengan Lahirnya Revolusi (2000). Nama-nama lain, seperti Mustafa Ismail, dan Edy A Effendi, kabarnya juga sedang menyiapkan buku kumpulan sajak.

Dari tangan kreatif Danarto, setidaknya telah lahir delapan buku penting, seperti Godlob (kumpulan cerpen, 1976), Adam Makrifat (kumpulan cerpen, 1982), Berhala (kumpulan cerpen, 1987), Asmaraloka (novel, 1999), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (kumpulan cerpen, 2001). Dari tangan Radar lahir buku-buku, seperti Lalu Waktu (kumpulan sajak, 1994), Masa Depan Kesunyian (kumpulan cerpen, 1997), Lalu Batu (kumpulan puisi, 2003), dan Cerita-Cerita Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2003).

Dari tangan Hudan lahir Orang Sakit (kumpulan cerpen, 2000), Keluarga Gila (kumpulan cerpen, 2003), serta Tuan dan Nona Kosong (novel, 2005). Dan, dari tangan Ahmadun, antara lain lahir Sembahyang Rumputan (kumpulan sajak, 1997), Fragmen-Fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, 1997), Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, 1997), Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan sajak, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, 2004), dan Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, 2004).

Selain itu, KSI yang dimotori Wowok Hesti Prabowo dan bermarkas di Tangerang juga cukup produktif menerbitkan buku. Meskipun buku-buku KSI, seperti Antologi Puisi Indonesia 1997, dan Resonansi Indonesia (2002) tidak hanya berisi karya-karya penyair Tangerang, setidaknya dapat dianggap sebagai sumbangan para aktifis sastra Tangerang bagi khasanah sastra Indonesia. Sedangkan komunitas sastrawan Tangerang yang pernah menerbitkan buku kumpulan puisi khusus penyair Tangerang adalah Roda-Roda Budaya, yakni antologi puisi Trotoar (1998).

Dan, satu lagi adalah Creative Writing Institute (CWI), yang juga bermarkas di Tangerang, sudah menerbitkan tiga buku kumpulan cerpen, yakni Geluarga Gila (Hudan Hidayat), Lantaiku Berdarah (Poniran Kalasnikov dkk.), dan Membaca Perempuanku (Maya Wulan) semuanya terbitan 2003. Melalui tradisi lomba cipta cerpen bersama Direktorat Kepemudaan Depduknas, CWI juga telah menghasilkan tiga buku kumpulan cerpen, yakni Yang Dibalut Lumut (2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (2004), dan La Runduma (2005).

Dari data kuantitatif di atas, terlihat bahwa sangat banyak karya sastra yang lahir dari para sastrawan Tangerang, baik sajak, cerpen, maupun novel. Itupun belum termasuk karya-karya yang hanya dimuat di buku antologi bersama, dan yang hanya sempat muncul di media sastra. Jumlahnya bisa ribuan karya. Karena itu, diperlukan penelitian yang mendalam dan komprehensif untuk melihat peta kecenderungan estetik dan tematiknya secara tepat.

Namun, berdasarkan pengamatan sepintas, kita dapat melihat setidaknya ada tiga kecenderungan basar. Pertama, kecenderungan sastra religius dan sufistik. Yang termasuk dalam kecenderungan ini, antara lain adalah karya-karya Danarto, Mustafa Ismail, Dianing Widya Yudistira, Iman Sembada, dan Ahmadun YH. Secara estetik, tema-tema sufistik pada cerpen-cerpen Danarto dikemas melalui metafor-metafor yang simbolik. Metafor yang simbolik juga tampak pada sajak-sajak Ahmadun, misalnya pada Sembahyang Rumputan. Sedangkan religiusitas pada sajak-sajak Iman, Widya, dan Mustafa, muncul melalui baris-baris sajak yang lembut dan imajis.

Kedua, kecenderungan sastra sosial. Kecenderungan ini sangat tampak terutama pada Wowok Hesti Prabowo and his gang, seperti Dingu Rielesta. Sajak-sajak mereka sangat sarat persoalan, bahkan terkesan sengaja dibuat sebagai ‘media pembelaan’ terhadap nasib kaum buruh di Tangerang. Ini, misalnya tampak pada sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi puisi Rumah Petak (1996), Buruh Gugat (1999), Presiden dari Negeri Pabrik (1999), dan Lahirnya Revolusi (2000). Sajak-sajak mereka umumnya lugas dan langsung ‘menohok’ mirip slogan-slogan perjuangan.

Dan, ketiga, adalah kecenderungan sastra psikologis. Kecenderungan ini terutama tampak pada cerpen-cerpen Hudan Hidayat and his gang, seperti Poniran Kalasnikov. Cerpen-cerpen Hudan, terutama dalam Keluarga Gila, sebenarnya lebih menampakkan gejala psikologi dari pada gejala sastra, dan karena itu sebenarnya lebih pas sebagai objek kajian psikologi, selain tentu kajian sastra. Karena, selain menampakkan hasil penjelajahan estetik (bahasa), cerpen-cerpen Hudan terkesan kuat menjadi ‘media pelepasan’ alam bawah sadar yang begitu liar dan masokis.

Dengan penelitian kasar dan data-data yang serba terbatas di atas, kita sudah dapat melihat, bahwa potensi sastrawan Tangerang cukup besar untuk ikut menyumbangkan karya-karya terbaik bagi pertumbuhan sastra Indonesia, sekaligus ikut mempengaruhi arah kecenderungan estetik dan tematiknya.

*) Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan dan wartawan Republika
Dijumput dari: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=CldTB1BQDVYE

Bahasa ยป