Sepenggal Kisah Ikan Paus Biru

Fakhrunnas MA Jabbar *
Riau Pos, 1 April 2012

SUATU kali, Hasan Junus menanyai saya soal ikan. Sebab, saya memang dikenal Hasan selain sebagai sastrawan juga sarjana perikanan. Pertanyaan Hasan sederhana saja: “Nas, awak tahu tak tentang ikan paus biru?” Saya tak langsung menjawab disebabkan pertanyaan Hasan itu terasa tendensius. Tanpa menunggu jawaban saya, Hasan pun secara rinci menjelaskan bagaimana sosok ikan paus biru lengkap dengan nama Latinnya (scientific name) sepanjang usianya terus bertumbuh.

Hasan selanjutnya berhujah bahwa seorang sastrawan (baca: penulis) yang kreatif akan terus berkarya seumur hidupnya tanpa kenal masa jeda. Tak banyak memang penulis yang terkategori sebagai ikan paus biru itu. Boleh jadi di masa lalu terdapat nama HB Jassin yang di akhir hayatnya masih sempat menulis mahakarya (masterpiece) berupa Al Quran, Bacaan Mulia yang fenomenal itu. Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri atau Taufik Ismail termasuk dalam analogi ikan paus ini karena masih terus berkarya sejalan dengan perputaran zaman.

Sejak dulu, saya pun sudah menggelari Hasan Junus sebagai ikan paus biru itu. Dalam usianya yang senja dan mulai sakit-sakitan, ternyata Hasan terus melahirkan tulisan-tulisan yang kaya referensi dan ditulis secara sungguh-sungguh. Rubrik “Rampai” di Riau Pos Ahad merupakan bukti nyata ketunakan Hasan dalam menulis tanpa kenal lelah. Rubrik berbobot itu digawanginya belasan tahun tanpa absen. Belum lagi, sejumlah buku ditulis Hasan di sela-sela kesibukannya sebagai Pemred Majalah Sastra Sagang sejak awal terbit.

Tepat hari Jumat, 30 Maret 2012 sekitar pukul 23.55 WIB, Hasan “Ikan Paus Biru” Junus berpulang ke Rahmatullah. Pada malam itu juga, sahabat saya, Dheni Kurnia yang juga termasuk kerabat dekat Hasan, menelepon saya mengabarkan kepergian Hasan. Saya betul-betul merasa kehilangan karena pernah berteman dekat dengan Hasan terutama pada periode masa lajangnya sejak awal merantau di Kota Pekanbaru sekitar tahun 1980-an.

Kedekatan saya dengan Hasan tentu saja dibuhul oleh kesamaan kami dalam mencintai dunia sastra dan pertembungan di dunia jurnalistik. Hasan yang mengembangkan kreatifitas sastranya sejak tahun 1950-an di kampung halamannya Penyengat dan Tanjungpinang bersama sejumlah pesohor sastra seperti Ibrahim Sattah, Sutardji, Sudirman Backry (abang kandung Sutardji), Eddy Mawuntu, Akmal Attatrick dan Rida K Liamsi – waktu itu punya nama pena Iskandar Leo. Hasan terus berkarya ketika sempat melanjutkan pendidikannya di Fakuktas Sastra UNPAD, Bandung yang juga mempertemukannya kembali dengan Sutardji. Kesungguhan Hasan selama kuliah itu pula yang menyisakan kebolehannya dalam menguasai beberapa bahasa terutama Prancis, Inggris dan Jerman.

Pada era 1960-an, karya-karya Hasan berupa cerpen dan esai sudah mengisi halaman majalah sastra Horison – yang sangat bergengsi pada masa itu dan dikelola oleh HB Jassin, Mochtar Lubis dan sejumlah nama besar lainnya. Hasan pun sempat menggunakan nama pena seperti Eliza Sondari. Ketika saya mencari bahan-bahan tentang pujangga Soeman Hs – di saat menulis biografi Soeman: Bukan Pencuri Anak Perawan – di Perpustakaan Nasional, saya diberi keleluasaan membongkar bundel majalah sastra Horison sejak awal terbit. Saya sempat menemukan sejumah cerpen dan esai Hasan yang dimuat di majalah sastra tersebut. Salah satu cerpennya yang sangat dibanggakan Hasan berjudul “Perang Biawak” sempat saya fotokopi dan saya serahkan kepada Hasan. Hasan menerimanya dengan senang hati karena dia sudah tidak punya dokumentasinya.

Pertemuan saya dengan Hasan di Kota Pekanbaru memang merupakan berkah buat saya. Sebagai sastrawan muda yang juga baru “merantau” di ibukota Provinsi Riau dari sebuah kota kabupaten yang kecil, Bengkalis, saya benar-benar takjub akan nama besar dan karya-karya Hasan yang berciri khas kaya akan referensi. Sifat rajin membaca buku terutama berbahasa asing – Inggris dan Prancis- membuat Hasan banyak tahu tentang banyak hal. Tak heran bila para sahabat Hasan yang berasal dari luar Riau terutama Jakarta, Malaysia dan Singapura menggelarinya sebagai “Ensiklopedia Berjalan”. Wajarlah gelaran itu karena Hasan memang menjadi “datang tempat bertanya, pergi tempat berkabar”.

Awal keberadaan Hasan di Pekanbaru di Pekanbaru sengaja diajak Rida K. Liamsi yang mencoba “hijrah” dari Tanjungpinang. Kejenuhan Rida menjadi koresponden majalah Tempo di kampung halaman Raja Ali Haji itu telah mengantarkan Rida untuk mencoba membangkitkan kembali mingguan Genta – salah satu tabloid tertua di Riau. Dalam mewujudkanm mimpi-mimpinya, Rida pun merekrut Hasan bersama saya dan Suryanto – kini mengelola Padang Express. Kami berempatlah yang mengelola mingguan Genta setelah mati suri cukup lama.

Apabila Rida tidak berada di tempat, pastilah Hasan yang dipercaya memimpin sementara mingguan ini. Mingguan Genta berkantor di Gobah, di sebuah rumah kayu berlantai dua di mana lantai satu untuk perkantoran dan lantai dua menjadi mess tempat tinggal Hasan dan kadangkala juga Rida. Walaupun kelak, Rida cukup setia menginap di Hotel Dharma Utama di sebuah kamar yang sudah menjadi langganan tetapnya.

Suatu waktu, Hasan diminta Rida memimpin penerbitan mingguan Genta untuk sebuah edisi. Saya dan Suryanto sebagai wartawan memburu berita ke mana-mana dengan segala keterbatasan fasilitas. Sewaktu membahas berita yang akan dimuat, dalam sidang redaksi yanhg dipimpin Hasan, terjadilah hal di luar dugaan saya. Suryanto yang akrab dengan berita kriminal, menulis sebuah berita berjudul: Oknum Kades ‘Naik ke Bulan’ dengan Seorang Warga. Ini berita tentang oknum Kades yang tertangkap basah saat menggauli seorang warganya.

Hasan pun menggunakan hak prerogatifnya sebagai pelaksana Pemred. Suryanto diminta memperhalus judul berita karena mingguan Genta selain menyebarkan informasi dan berita juga ada misi mengembangkan sikap santun di Tanah Melayu. Hasan mengedit berita Suryanto dan saat akan di-lay out baru ketahuan kalau Hasan sudah mengubah judul berita tersebut menjadi: Oknum Kades Memaksakan Kehendak Tubuh? Terus terang, saya dan Suryanto menertawakan Hasan karena judul yang dipilih Hasan sangat santun. Hebatnya, Hasan menerima kritik kami dan berita tersebut tetap kembali pada judul semula.

Hari-hari Hasan selama masa lajang di Pekanbaru hampir selalu bersama saya yang waktu itu dalam proses menyelesaikan perkuliahan. Hampir tak ada hari yang tak kami isi dengan diskusi tentang sastra. Termasuk pemikiran-pemikiran Hasan untuk ikut membangkitkan kreatifitas sastra di kalangan anak-anak muda Riau. Dalam setiap diskusi itu, selalu saja ada yang baru dikemukakan Hasan. Sampai-sampai Hasan bisa bercerita kepada saya bagaimana mendayu-dayunya langgam ucapan bahasa Spanyol yang “lembut bagai angin sepoi tapi menderu bagaikan troubador”.

Hasan kini sudah pergi. Terlalu banyak kenangan yang tersisa namun tak semua dapat dicatat dan dibagikan. Selamat jalan, Hasan Junus.
***

*) Fakhrunnas MA Jabbar, kolomnis dan budayawan, pensyarah Universitas Islam Riau (UIR).