Sivit Ni Khy Lakhom Kom

Hasan Junus

Home

Dalam suatu kesempatan William Shakespeare (1564-1616) pernah mengatakan, hidup ini sebuah sandiwara. Pengarang Laos Leng Phouphangeum juga mengatakan hal semirip ucapan Shakespeare karena sebuah fiksi karyanya diberi berjudul ‘’Sivit Ni Khy Lakom Kom’’ (‘’Hidup Ini seperti Panggung Wayang Kulit’’).’’ Karya fiksi dari negeri Laos yang cukup terkenal ini selalu disetarakan bersama karya-karya dari Laos masa-kini lainnya di antaranya ‘’Thale Sivit’’ (‘’Lautan Hidup’’) karya bersama Panai dan Douangchampa. Kedua karya ini sebagaimana kebanyakan karya sastra Laos masa-kini lainnya dimuat di dua majalah sastra Laos yaitu Phay nam yang terbit sejak Juni 1972 dan Nang yang terbit sejak Desember 1972.

PADA masa lampau yang jauh para sejarawan mencatatnya tahun 713 ada kerajaan Nan-Tchao yang sering digempur negeri-negeri tetangga. Pada abad ke-14 negeri ini pernah bernama kerajaan Lan Xan dan Lan Na sampai bernama Republik Demokratik Rakyat Laos pada 1975. Luas negeri ini menurut Le Petit Larousse Illustri 1993 halaman 1456 ialah 236 800 Km persegi dan berpenduduk 4.100.000 jiwa. Sejak masa lampau raja-raja feodal Laos telah berhasil mempertahankan negerinya dari para penceroboh tradisional terutama yang terdiri dari Siam @ Muai Thai dan Viet Nam.

Puncak karya sastra Laos pada abad ke-16 bermula dengan puisi yang seabad kemudian menghasilkan kumpulan sajak Sin Xay oleh Thao Pangkham, diterjemahkan ke bahasa Inggeris menjadi The Sin Xai pada 1967. Karya puisi ini memang sengaja dikomposisikan untuk didendangkan diiringi musik. Karya ini mengandung epik yang menggambarkan keluasan pemandangan lahir dan batin diselang-seling dengan percintaan demi percintaan dan peperangan demi peperangan yang memunah-ranahkan kehidupan dan segala yang hidup.

Tentu saja cukup banyak pengarang, golongan terpelajar dan bangsawan, yang menulis dalam bahasa Perancis di Laos yang tercatat bermula pada 1930 dan 1940-an. Sebut saja nama-nama seperti Katay Don Sasorith (1904-1959) dengan karyanya ‘’Comment joue-t-on le phayton?’’ (1931; ‘’Bagaimana memainkan phayton?’’), Phetsarath Ratanavongsa (1890-1959), Souphanouvong (lahir 1912), Souvanaphouma (lahir 1901 di Luang Prabang dan meninggal di Vientiane 1984), Nhouy Abhay (lahir 1909) dan lainnya.

Karya dalam bahasa Perancis lainnya yang luas dikenal di antaranya ‘’Tempjte sur le Laos’’ (1961; ‘’Badai di atas Laos’’) sebuah roman @ novel dari sudut pandang seorang kepercayaan raja yang digolongkan dalam sastra jurnalisme politik karya Sisouk Na Champassak. Demikian juga Phoumi Vongvichit pengelola puncak Front Patriotik Lao dikenal luas dengan karyanya tahun 1968 ‘’Le Laos et la lutte victorieuse du peuple lao contre le neo-colonialisme americain’’.
Selama tiga dasawarsa di awal abad ke-20 Laos dijajah Perancis dan pada masa inilah para penyanyi tradisional yang dalam bahasa Laos dinamakan mohlam paling sibuk menciptakan serangkaian panjang puisi Laos yang didendangkan.

Tak dapat disangkal kalau dikatakan para mohlam ialah para pejuang bersenjatakan nyanyian. Sempadan yang mereka kenal bukanlah sempadan geografis melainkan sempadan kultural karena perbedaan bahasalah yang menjadikan langkah para pendendang itu terhenti melaksanakan perjalanan panjangnya di sekotah negeri Laos. Selain dari bahasa Loas bahasa Thai juga ikut berpengaruh bahkan dipakai sebagai salah-satu alat ekspresi yang disukai. Sebagai contoh pada tahun-tahun sekitar kemerdekaan Laos dari Perancis pada 1950-an banyak muncul karya-karya berbobot politik dari sudut pandangan orang Lao (ini bukan lapsus calami: harus ditulis l-a-o) yang memang berasal dari golongan elite. Pada 1956 terbit sebuah karya penting dalam bahasa Thai karya Pangeran Phetsarath berjudul ‘’Chao Phetsarat: Burut lek haeng Ratcha’anachak Lao’’ yang diterjemahkan ke bahsa Inggeris pada 1978 sebagai ‘’Iron Man of Laos: Prince Phetsarath Ratanavongsa’’ yang memberi pandangan hidup seorang Laos yang langsung terlibat sejarah modern negerinya.

Pada masa-masa perjuangan kemerdekaan sampai 1960 sebuah karya puisi monumental dihasilkan seorang penyair kelahiran 1930 bernama Khamchan Pradith yang menulis Mes pohmes (1960; Sajak-sajakku) dalam bahasa-bahasa Lao, Perancis, dan Inggeris. Sementara kumpulan cerita-pendek yang paling dikenal dari kesusastraan modern Laos dalam bahasa setempat terbit pada 1968 berjudul Kay pa (Belibis Kayu). Tak lama setelah itu tepatnya pada 1978 terbit pula kumpulan cerita-pendek lainnya berjudul Siang oen khong phay (Jeritan Minta Tolong). Pada masa itu pula terbit sebuah kumpulan sajak bergaya ‘’lam’’ tradisional yaitu Kon lam pativat (Lagu perjuangan).

Para penyanyi tradisional Laos yang dinamakan mohlam berkeliling ke sekotah negeri Laos di mana bahasa Laos masih dikenal dan dipakai untuk mendendangkan puisi-puisi masa-kini. Dan bukan hanya puisi-puisi didendangkan, juga cerita-cerita pendek dan nukilan roman @ novel dibacakan dengan gaya bernyanyi oleh para penyanyi tradisional itu. Inilah kunci mengapa karya-karya sastra Laos mencapai ke sebagian besar penduduk negeri yang berjumlah empat juta jiwa lebih sedikit itu.

Dengan landasan yang lebih-kurang seperti inilah ditegakkan kegiatan bersastra seorang sastrawan Laos bernama Somsy Dexakhamphou berhasil meraih South East Asia Writer Awards 2001. Viseth Svengsuksa meraih hadiah itu tahun 2002 bersama dengan teman-teman dari negeri-negeri bertetangga yaitu Dharmanto Yatman (Indonesia), Anwar Ridhwan (Malaysia), Roberto T Anonuevo (Filipina), Mohamed Latiff Mohamed (Singapura), Nguyen Kien (Vietnam), Prabda Yoon (Thailand), Seng Sam An (Kamboja), dan Rosli Abidin Yahya (Brunai Darussalam).

Somsy Dexakhamphou dilahirkan tahun 1927. Sebagai penyair ia lebih dulu dikenal sebagai seorang Laos yang mengenal puisi-puisi dalam bahasa Perancis. Sementara Viseth Svengsuksa dapat pendidikan di balai latihan keguruan semacam IKIP di ibukota Laos Vientiane sebelum melanjutkan pendidikan ke Univeritas Voronezh di Rusia mempelajari jurnalisme. Ia memulai pekerjaan sebagai penyunting berita luar negeri pada surat-kabar Noum Lao sebelum jadi anggota Parlemen Laos.

Karya-karya dari para pengarang dan penyair dan teaterawan yang berhasil meraih hadiah besar seperti Hadiah Nobel seyogianya dipandang sama dengan karya-karya dari para penyair dan pengarang dan teaterawan dari negeri-negeri seperti yang terhimpun dalam ASEAN yang setiap tahun juga memberi hadiah seperti juga hadiah-hadiah sastra lainnya.***

19 Februari 2012

Bahasa »