Sebelum St. Andrews, Malam Nanti

Sungging Raga
http://www.lampungpost.com/

SEBELUM St. Andrews, malam nanti, telah kutaburkan seribu alarm di langit Birmingham yang bersalju untuk memastikan bahwa wajahmu adalah kenyataan, seperti lalu-lalang kenangan di sela pertokoan, seperti ruap aroma makan malam yang terlempar dari sudut-sudut restoran. Dan pastikan gaunmu bisa merancang zona waktu, sebab pertemuan kita adalah estafet perjalanan, etape-etape terpisah dari tempat-tempat yang telah lama diam.

Sebelum St. Andrews, malam nanti, udara akan bersisik di kulit jaketmu, tepat 20 menit setelah kau keluar rumah, menyusuri trotoar penuh percikan lampu yang saling memandang tanpa gerilya. Dan kau mungkin akan bersin ketika tiba di perempatan pertama. “Rasanya ada yang sedang membicarakanku,” gumammu, seperti mengingat kembali dongengan orang tua. Kau menengadah pada malam, lalu bintang seakan lari dari sudut-sudut matamu. “Mungkin aku hanya kurang istirahat,” pikirmu lagi.

Maka sebelum St. Andrews, kau bisa saja mampir ke sebuah toko bunga, membayangkan simbol-simbol tertentu yang nanti kau tafsirkan sendiri, seikat Gerbera merah mungkin bagus untuk malam ini, bukan? Tapi penjual bunga diam saja, enggan memberimu nasihat, barangkali ia lelah karena hampir setiap pembeli bunga datang dalam keadaan mereka tak tahu filosofi bunga. Jadi, kalau kau tak datang ke toko bunga, berarti kau bisa saja duduk sejenak di toko roti yang kau gemari sebagai tempat untuk melamun dan menulis puisi, dan kau bayangkan dingin menyeretmu ke sudut ruangan itu, menggigit roti dengan perlahan, seperti tempo yang lambat dan rentan tanda baca. Dari balik kaca, kau lihat orang-orang berpasangan, lelaki dan wanita berjalan beriringan, kaus mereka sama, bergambar sosok yang bisa disatukan. Kau tertawa, tentu ada tahun-tahun semacam itu tersimpan dalam pikiranmu. Tahun yang mengeras, namun tak pernah bisa dimakamkan.

Malam nanti, kita mungkin hanya satu dari setumpuk janji di St. Andrews, seperti kemesraan periodik, kita berjanji untuk bertemu di dekat halte yang dinding sandarannya bergambar Mickey Mouse, gambar yang telah lusuh, hilang sebagian wajahnya. Dan telah kita siapkan acara kecil di situ, “Aku akan tersenyum dan menatap matamu pada jam sekian, detik sekian.” Lalu kau merevisinya, “Tidak, tidak. Itu bagianku. Aku akan memandangmu sampai sekian detik sebelum salju turun pertama.” Ya, ya. Kita berdebat tentang bagaimana kebahagiaan itu dibagikan sama rata, seperti salju yang di beberapa bulan terakhir seperti menjelma selaput keheningan untuk sekujur Birmingham.

Di saat yang sama, kau bilang ini bukan kencan. Aku setuju. Ini hanya restrukturisasi kenangan, ketika orang berkumpul di St. Andrews, dan mobil berbaris di ambang kota, lanskap kita pun menyempit sampai ke sudut gelap terakhir tempat orang-orang suka berciuman kalau sedang tak sakit kepala. Kau tentu membayangkan kita sepasang kekasih yang konyol, yang kebahagiaannya melebihi pertandingan final Piala Carling antara Arsenal melawan Birmingham City. Tapi sudah berkali-kali kubilang, kita ini tak lebih dari sepasang buta yang jatuh cinta, kita benar-benar hanya mengandalkan cinta dan suara, tanpa wajah, tanpa tahu bagaimana sebuah senyum bermula.

“Bukan, bukan,” tiba-tiba kau menyanggah, “sepertinya kau lupa, kita ini hanya sepasang orang asing yang kebetulan menyukai selera musik yang sama, lalu mendramatisasi segalanya.”

Oh, benar juga. Aku ingat, hari itu, di Villa Park, kudengar kau melantunkan lagu akustik Tears yang dinyanyikan Kaisa Saari bersama Band Ensiferum, dan yang mengalun di earphone-ku adalah lagu Kaisa Saari yang lain, yang berjudul Finnish Medley.

“Benarkah? Finnish Medley? Tiga lagu adat Finlandia yang dijadikan satu.” Begitu kau bertanya waktu itu.

“Ya.”

“Ini sebuah kebetulan.”

“Hm, beberapa pertemuan memang diawali kebetulan, tapi semua perpisahan adalah kebenaran. Jadi, sebelum kita menemukan kebenaran, boleh aku tahu namamu, Nona?”

Namun, sebelum St. Andrews, malam ini, kau mungkin tak akan mendengar alunan apa pun, hanya suara kendaraan dan ribuan klakson yang enggan bergeming, yang menyebabkan perasaanmu lebih dulu sempurna ketimbang tubuhmu. Aku tak bisa membayangkan kau datang dalam keadaan kosong, di mana semua cerita telah usai di matamu, dan tubuhmu hanya artefak, serupa prasasti yang tinggal menyisakan sebuah lahan tanda tangan.

Di St. Andrews, kita tentu tak bicara harga tentang sebuah pertemuan, sebab kau paham, bahwa bisa saja kita membatalkan semuanya, dan kita biarkan salju turun di penjuru Birmingham, di sepanjang malam, membenamkan semua pertanyaan dan pernyataan. Mungkin lebih baik kita berdiam di rumah masing-masing, duduk menghangatkan tubuh dekat perapian, lalu saling menelepon hanya untuk mengucap selamat malam.

Memang begitulah yang bisa kuperkirakan. Setidaknya kau pun akan memikirkan hal yang sama. Sebelum St. Andrews, malam nanti, kau selalu mengingatkanku tentang janji yang dipanaskan, yang bisa meleleh, menguap, atau menyublim seperti kamper di celah rak toko pakaian. Atau seperti aroma sarden di atas wajan, ketika kau meneleponku sementara tangan kananmu sibuk menggoreng sesuatu,

“Kau cium baunya tidak? Aku sedang membuat menu masakan baru dari majalah.”

“Sejak kapan telepon bisa mengirimkan bau masakan?”

“Ah, yang surealis sedikitlah, pikiranmu terlalu eksak.”

“Hm, baiklah, aku bisa mencium harumnya, dan sekarang kita bisa saling menyuapi lewat telepon. Sini, berikan sendokmu.”

“Haha. Konyol. Mana ada sendok bisa melewati kabel telepon? Sudahlah, sampai nanti malam ya, di halte bergambar Mickey Mouse.”

“Lalu, apa kita akan masuk ke dalam St. Andrews?”

“Hm, mungkin saja, kita akan duduk di tribun terdepan, sambil berharap salju tak cepat turun.”

Sebenarnya, aku masih sering bertanya, apakah yang bisa kita banggakan di St. Andrews? Jejak pertemuan kita mungkin akan dengan mudah terlindas mobil yang melaju, terhempas angin yang mengirimkan berita tentang pekat salju.

Aku selalu membayangkan hal terburuk di mana kita akan melewati malam nanti secara dramatis, sehingga setelah itu, kita tak selamanya membutuhkan pembuktian. Semisal sebuah badai salju yang tiba-tiba datang mendahului prediksi para pengamat cuaca. Sehingga kita pun terjebak selama berjam-jam. Sebab kau tahu, mungkin bukan kisah Cinderella yang akan merekonstruksi riwayat kita, bukan juga kisah pernikahan Veikko dengan seekor tikus betina dari Finlandia yang telah lebih dulu ada. Aku membayangkan kita seperti sepasang pohon mapel di tengah Craven Cottage, dua pohon keras kepala yang berdiri bersebelahan, yang selalu mengundang kecurigaan bahwa mereka dulunya adalah sepasang kekasih yang membeku dalam bentuk pohon yang menjulang, tapi kita juga tak mungkin selamanya berada di Selhurst Park, terbius oleh senja yang paling sialan, yang paling dilaknat para kekasih karena mereka selalu menangis saat melihat senja yang amis di sana, sehingga setiap pagi harinya, tisu-tisu berserakan.

“Aku tidak ingin menjadi semua itu… Kau tahu? Di pagi yang hijau, aku ingin menjadi sepotong hati, dan di malam yang matang, aku ingin menjadi seekor burung.” Begitu katamu, masih saja mengutip puisi milik Federico Garcia Lorca. Sementara kurasakan hawa termometer kian tajam saja di pelupuk kota Birmingham.

Dan sesaat sebelum tiba di St. Andrews, malam nanti, aku mungkin sudah kehabisan kata-kata, kertas-kertas berisi rencana kecil itu kubuang ke tempat sampah. Aku hanya akan memastikan bahwa kita bahagia, aku akan menatapmu, melihat wajahmu, yang seperti mutiara kaca mendekat padaku, tapi kemudian menjauh lagi, malu-malu seperti lampu kota, yang terbungkus jaring salju.

“Helvetia…”

“Ya?”

“Kau percaya padaku?”

“Apa?”

“Kau percaya padaku?”

“Di St. Andrews. Iya.”

“Hmm….”

Dan tiba-tiba langit melemparkan dingin ke dalam ingatan kita. Di kota ini, mungkin kita harus belajar untuk saling mencintai dalam keadaan lupa, seperti saat kita tak tahu untuk apa kita duduk di halte Mickey Mouse yang steril ini, memandang salju pertama yang akhirnya tiba dengan selamat di permukaan St. Andrews. Malam nanti.

(Kedai Senja, 12-02-4040)

Bahasa ยป