SURGA DI TELAPAK KAKI IBU

Gola Gong

Ketika kecil, hadis yang menyebutkan “surga itu di telapak kaki ibu” terbayang-bayang terus di kepalaku. Bahkan otak kananku selalu meminta-minta untuk bisa melihatnya. Kadang aku kecil memeriksa kaki Emak, apakah surga ada di sana. Emak lalu mendongeng Si Malin Kundang yang durhaka pada ibunya, sehingga dikutuk jadi batu. Kata Emak, kalau ingin melihat surga, aku harus berbakti pada keduaorangtua; Emak dan Bapak, juga ematuhi perintah Alah serta meninggalkan larangan-Nya.

KELUARGA BESAR

Aku kecil takut masuk neraka dan begitu ingin masuk surga. Kata Emak, di neraka banyak apinya. Sedangkan di surga ada kolam susu dan banyak makanan yang lezat-lezat. Jika aku takut masuk neraka, Emak selalu menemaniku tidur dengan dongeng-dongeng indahnya. Yang paling membuatku takjub, adalah cerita tentang 7 bidadari yang turun meluncur lewat pelangi dan mandi di danau serta 7 pemuda Ashabul Kahfi, yang sembunyi di goa selama ratusan tahun, karena mengindari rezim penguasa yang kafir pada waktu itu.

Cerita-cerita masa kecilnya di saat zaman revolusi phisik dulu sangat mengesankan buatku. Aki (kakekku) petani. Emak sering menceritakan, bagaimana kakak-kakaknya ikut berjuang mengusir Belanda dan Jepang. Kakekku sering mengelabui Belanda saat membawa makanan ke hutan.

Emak bagiku kecil adalah seorang ibu yang perkasa. Sementara teman-teman Emak memilih menikah muda, Emak mengambil keputusan sekolah di Jakarta. Emak ingin maju. RA Kartini memberinya inspirasi, bahwa wanita tidak hanya sekedar konco wingking (teman di belakang) bagi lelaki, tapi adalah partner. Emak sekolah ikatan dinas di SGA (sekolah guru). ”Ke Jakarta Emak naik kereta gerbong. Aki membekali Emak rambutan, jagung, dan singkong untuk persediaan di asrama.”

Ya, Emak bagiku wanita perkasa. Bersama Bapak, Emak menghidupi kelima anaknya, dan beberapa keponakan mereka yang ingin maju dibawanya. Pada tahun 1965, Emak mengikuti Bapak pindah ke Serang, yang saat itu masih kental dengan aroma ilmu hitam, kemiskinan, dan kebodohannya. Kampung halaman – Purwakarta, ditinggalkan. Emak dan Bapak saat itu mengemban tugas mengentaskan kebodohan di Banten. Emak dan Bapak sangat percaya, bahwa jika ingin merubah nasib bisa mengawalinya lewat pendidikan.

Saudara-saudara Emak, yang rata-rata berpendidikan rendah, menyerahkan anak-anaknya ikut Emak dan bapak untuk dibawa serta ke Serang. Jadilah kami keluarga besar waktu itu. Rumah sebesar tipe 36 terasa sesak. Tapi, dongeng-dongeng sebelum tidur dari Enak, serta buku-buku cerita dan majalah yang selalu Bapak bawa, membuat aku kecil berfantasi dan bahagia. Apalagi jika selepas Isya tiba. Emak dan Bapak membuka rumah kami untuk para tetangga yang ingin menonton televisi hitam-putih berukuran 14 inchi dan buku. Teras rumah kami penuh sesak oleh orang-orang. Semakin besar saja keluarga Emak dan Bapak.

MELAWAN EMAK

Tapi ketika aku sering membaca buku dan otak kananku bekerja lebih cepat dari yang kiri, aku sering menyiksa Emak dengan tingkah lakuku yang nakal. Aku tidak mau menuruti apa kata Emakku. Yang dilarang Emak, selalu saja aku bantah. Aku selalu ingin mencoba hal-hal baru. Aku pernah membaca cerita Nabi Adam dan Hawa, yang melanggar perintah Allah dengan memakan buah kuldi, sehingga mereka dari surga ke bumi. Pikiranku waktu itu, nabi Adam saja melawan Allah. Masak sih aya nggak boleh?

Aku paling malas ke sekolah. Sejak taman kanak-kanak, aku masih ingat, sering berbelok ke sungai untuk mandi atau membuka bekal makanan di depan rumah sakit sambil memanjat pohon. Sampai siang aku baru pulang. Atau aku yang sering pergi jauh dari rumah untuk melihat hal-hal baru. Misalnya pergi ke pasar menyaksikan orang-orang berjualan, ke terminal menonton mobil-mobil angkutan, atau ke rumah sakit melihat kamar mayat, dapur, bangsal tempat si sakit, dan unit gawat darurat. Untuk tempat terakhir, pada akhirnya aku kecil jadi pasien lagganan di unit gawat darurat. Aku sering mengalami kecelakaan; tertabrak mobil, tertimpa benda keras, kena pisau, dan jatuh. Di wajahku banyak sekali luka bekas jahitan. Orang-orang selalu bilang, bahwa itu karena aku kecil sering melawan Emak. Tapi, ketika aku dewasa, aku menyebutnya karena otak kananku yang tidak beres. Satu kakiku menginjak bumi, satu lagi mengawang-awang di angkasa.

Bagiku menjelajahi tempat-tempat baru itu petualangan mengasyikan, tapi bagi Emak itu mengkhawatirkan. Aku sering tidak mengerti waktu itu. Emak suka bilang, ”Nanti kalau kamu sudah besar, pasti mengerti.” Apa yang dikatakan Emak, akhirnya aku pahami setelah dewasa. Apalagi setelah jadi Bapak dengan empat orang anak sekarang. Emak adalah ibu. Kalau Bapak, secara ilmiah dia hnya meninggalkan sperma di rahim Emak. Tapi setelah itu, Emak mengolah sperma Bapak selama sembilan bulan di rahimnya. Membreinya makaan lewat plasenta. Meregang nyawa ketika melahirkanku. Bahkan merawatku penuh kasih sayang. DNA Emak tidak hanya satu Bagi Emak, aku tidak hanya sekedar anak bilogis, tapi juga sosiologis. Bahkan lebih dari itu.

SAKIT JANTUNG

Aku tidak memedulikan Emak yang cemas. Bahkan itu terus berlangsung hingga aku remaja. Aku terus menyiksa Emak dengan tingkah lakuku. Bapak menjadi penengahku untuk meyakinkan Emak, bahwa aku sebetulnya melakukan hal-hal baik.

Saat aku remaja, aku makin tidak terkendali. Bahkan kadang tidak pernah minta ijin, aku sudah berada di kota lain. Aku jarang ada di rumah. Aku mengibaraqtkan diriku ini Chairil Anwar yang bohemian atau Old Shaterhand yang menaklukkan padang prairi.

”Aku ini lelaki, Mak!” kataku. Aku ingin Emak menyadari, bahwa aku berbeda dengan keempat anak Emak yang lain. Aku ingin menghirup udara sepuas-puasnya. Pernah Bapak menunjukkan postcard candi Borobudur, aku ingin melihatnya. Akhirnya, Emak terkena penyakit jantung. Beberapa kali Emak masuk rumah sakit, karena memikirkan aku yang entah tidur dimana.

Lambat laun, Emak mulai melepaskan aku. Emak mulai memahami bahwa aku memilih belajar di kehidupan sesungguhnya; alam. Walaupun Emak jadi sering sakit-sakitan, petuhnya tidak pernah aku lupakan untuk bekalku di jalanan. Misalnya, aku hidup harus jujur, tidak boleh mengambil yang bukan hakku. Aku harus saling tolong-menolong. ”Terutama, kamu harus menghormati perempuan. Jika kamu sedang berada di kendaran umum, berikanlah tempat dudukmu pada wanita. Apalagi dia wanita hamil atau orang tua. Insya Allah, kebaikanmu itu nanti akan Allah balas kepada Emak dan saudra-saudara perempuanmu. Jika Emak dan saudara-saudra perempuanmu sedang di dalam perjalanan dan mengalami kesulitan, Allah akan mengirimkan orang untuk menolong kami. Itu adalah berkat kbaikan-kebaikan yang kamu tanam.”

Emak juga mengingatkan aku, jika aku kemalaman di dalam perjalanan, tempat yang paling aman untuk menginap adalah mesjid atau mushola. Juga kantor polisi.Meminta tolonglah pada mereka dengan kesopanan. Aku juga diingatkan untuk terus mendekat kepada Allah dengan cara sholat. Aku pikir, itu adalah nasehat-nasehat wajar dari orang tua. Aku selalu mengingatnya dan menjadi bekal di dalam perjalanan.

PENDIDIKAN

Ada hal lain yang membekas di benakku. Itu adalah warisan terbesar yang ditanamnkan Emak dan Bapak kepadaku, yaitu pengabdiannya pada dunia pendidikan. Emak dan Bapak begiut ringan tangan membantu siapa saja yang membutuhkan pendidikan. Emak adalah kepala sekolah di SKKP (Sekolah Kejuruan Keputrian Pertama) dan Bapak kepala sekolah di SGO (Sekolah Guru Olahraga). Jika ada orangtua murid yang membutuhkan pretolongan keringanan biaya, Emak dan Bapak tidak bertele-tele menolong mereka. Bahkan rumah kami menjadi transit bagi guru-guru muda dari Bandung, yang dikirim belajar ke Banten.

”Itulah yang akan kita bawa mati, amal jariyah,” kata Emak. Jika aku mengamalkan ilmu, itu juga bekalku kelak di akherat. Dan mereka tidak pernah henti mengingatkan kami – anak-anaknya, untuk mencari ilmu kemna saja, karena janji Allah tidak akan bohong. ”Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggilah derajat itu.” Yang paling melapangkan dadaku, Emak dan Bapak tidak menekankan anak-anaknya untuk bergelar tinggi; S1, S2, atau S3. Emak dan Bapak lebih memetingkan, apakah nanti kami akan berguna atau tidak di masyarakat, karena sebaik-baiknya orang adalah yang berguna bagi lingkungannya. Emak juga selalu mewanti-wanti aku, agar selalu menyisihkan setiap rezeki yang aku peroleh sebesar 2,5% saja. ”Itu sedikit. Sepantasnya adalah 10 hingga 25%. Coba saja hitung, jika kamu mendapat rezeki Rp. 1000,-, kamu hanya membagikan Rp. 250,-. Masih ada Rp. 750,- Masih banyak, daripada Allah tidak memberi kamu rezeki sepeser pun.”

Aku paling menyukai nasehat Emak yang satu ini, ”Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.” Itu memberiku spirit yang besar dalam nengarungi hidup ini. Apalagi ketika aku harus kehilangan tangan kiriku, diamputasi sebatas sikut. Emak tidak pernah mengingatkan aku, bahwa aku ini buntung. Emak justru memveriku suntikan vintamin, bahwa aku harus mencari pekerjaan. Bahwa aku harus mampu memberi kepada orang lain, karena itu adalah bagian dari perintah Allah. ”Bagaimana kita bisa berzakat kalau tidak bekerja?” tanya Emak. Aku setuju.
***

http://keluargapengarang.wordpress.com/2007/09/04/surga-di-telapak-kaki-ibu-3/

Bahasa »