DONGENG GOLA GONG

Haris Firdaus

Seorang anak kecil pergi ke alun-alun. Di sana, ia melihat seorang prajurit TNI yang terjun menggunakan parasut. Hatinya berdebar, matanya berdecak. Anak kecil itu mungkin kagum dengan peristiwa yang baru saja dilihatnya. Keinginan pun muncul. Lalu ia pulang ke kampungnya. Di sana, ia temui anak-anak sebayanya. Mereka ia ajak bermain perang-perangan. Anak kecil itu ingin jadi jenderal.

Tapi ada anak lain yang ingin juga jadi jenderal. Setelah sempat beradu mulut, akhirnya “jabatan jenderal” akan diperebutkan dengan sebuah cara: adu keberanian melompat dari pohon. Barangkali adu keberanian model ini muncul ketika si anak melihat prajurit yang meluncur dari atas dengan sebuah parasut.Lalu adu melompat itu pun dimulai. Diawali dari pohon yang berketinggian dua meter. Rintangan awal ini, dengan mudah dilewati keduanya. Lalu ke rintangan selanjutnya: pohon yang berketinggian tiga meter. Dan rintangan ini pun dilalui oleh kedua “calon jenderal” tadi. Maka, rintangan selanjutnya disiapkan. Keduanya akan melompat dari pohon setinggi empat meter.

Si anak yang pergi ke alun-alun tadi, mendapat giliran pertama. Ia pun memanjat pohon itu. Sampai di atas, ketika berdiri di atas sebuah dahan dan memandang ke bawah, si anak tiba-tiba takut. Lalu ia terpeleset, dan jatuh. Sialnya, posisi tangan kiri si anak dalam sebuah posisi yang tak menguntungkan. Tangan kirinya kemudian patah.

Karena di desanya belum ada dokter, ia pun dibawa ke dukun. Tapi bukan kesembuhan yang terjadi. Justru pembusukan. Tangan kirinya tak sembuh dan malah mengalami pembusukan. Sampai suatu titik, tangan kiri si anak harus diamputasi. Sejak itu, si anak mesti menjalani hidup dengan satu tangan.

Cerita ini bukan sebuah khayalan, atau ringkasan sebuah film atau novel. Ini cerita sungguhan. Cerita ini, saya dengar langsung dari si anak yang akhirnya harus hidup dengan satu tangan itu. Saat anak itu bercerita, ia bukan lagi anak-anak. Kini, ia telah dewasa dan sudah bisa punya anak. Nama anak itu sekarang: Gola Gong.

Mendengar nama itu, kita tentu ingat tentang “Balada Si Roy”. Sebuah cerita petualangan yang ditulis oleh Gola Gong dan kemudian melambungkan namanya. Saya ketemu Gong ketika ia meluncurkan novelnya “Labirin Lazuardi” di Gramedia Solo, (21/6) lalu. Novel yang direncanakan terbit dalam bentuk trilogi ini, sudah sampai pada buku kedua. Sayangnya, saya datang dengan agak terlambat. Jadi, tak sepenuhnya bisa menyimak acara itu.

Tapi, saya masih bisa “mengambil” beberapa cerita menarik. Cerita yang saya tulis di atas adalah salah satu cerita yang saya ambil dari peluncuran “Labirin Lazuardi” kemarin. Ketika itu, Gong ditanya oleh seorang penulis lain, Langit Kresna Hariadi: “Kenapa tangan kiri Mas Gong sampai ‘hilang’?” Saya tak tahu, apakah pertanyaan ini pantas diajukan dalam sebuah peluncuran novel yang disaksikan begitu banyak orang. Cuma, Gong agaknya tak terkejut mendengar pertanyaan itu.

Ia pun menjawab dengan ekspresi yang biasa saja, tidak sedih, apalagi minta dikasihani. Dengan semangat ia bercerita kenapa ia mesti hidup dengan satu tangan kini. Seolah persoalan itu bukanlah persoalan yang berat buat diceritakan. Maka, cerita seperti yang saya tulis di awal tulisan ini, meluncur dari mulut lelaki yang berambut gondrong itu, tanpa ragu-ragu.

Sebab, mungkin kehilangan sebuah tangan bagi Gola Gong tak sama artinya dengan “akhir hidup”. Ia bahkan sama sekali tidak minder berhadapan dengan orang “normal”. Yang lebih mengejutkan, Gong tak pernah merasa dirinya seorang “penyandang cacat”. “Saya cuma kehilangan satu tangan saja,” ungkapnya dengan tenang.

Barangkali keputusan Tuhan sudah demikian. Dan Gola Gong pun menerima keputusan itu tidak dengan hati berat. Ia lanjutkan hidup dengan sebuah semangat yang jarang dimiliki. Bayangkan, Gong memilih meninggalkan kuliahnya dan berkelana untuk menjadi penulis!

Cerita ini tentu seperti cerita dalam dongeng saja. Tapi, ini bukan dongeng. Dan anak kecil yang bertangan satu itu, yang kemudian tidak lulus kuliah itu, akhirnya menjadi seorang penulis hebat negeri ini. Cuma, bukan itu saja: Gong juga mengelola sebuah taman baca bagi anak-anak dan remaja yang ingin belajar menulis. Ah, makin mirip saja kisah hidup Gong dengan sebuah dongeng yang memberi inspirasi bagi kita semua.

Agaknya, Gong adalah contoh betapa kerja keras adalah sebuah hal yang paling perlu ketika kita ingin jadi penulis. Sebab, Gong yang mengaku “tak berbakat menulis” itu akhirnya harus bekerja keras berkelana kian kemari untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bagus. “Balada Si Roy” adalah contoh tulisan Gong yang ditulis dengan sebuah observasi pasrtisipan yang panjang. Dan hasilnya, bisa kita lihat.

Yah, mungkin, pendapat Nasirun Purwokartun (yang menjadi moderator acara dalam peluncuran “Labirin Lazuardi” kemarin) benar: kisah hidup Gong mungkin lebih menarik dan memberi inspirasi daripada novelnya.

Sukoharjo, 22 Juni 2007

Bahasa »