Berpuisi secara Filosofis atau Berfilsafat secara Puitis

Misbahus Surur *
Lampung Post, 29 Sep 2013

FILSAFAT sering menyusup ke dalam puisi. Karena ungkapan-ungkapan dalam puisi kerap mulanya dilatari oleh pikiran dan kegamangan yang jamak direnungkan-jalani dalam aktivitas (ber)filsafat.

Bisa jadi pula kegundahan manusia, terasa menjenuhkan atau tak nyaman, bila harus ditulis dalam bentuk traktat. Setali tiga uang, keintenan puisi dalam menatah kata-kata; menyibak, memilih, mempertimbangkan, mengendapkan, dan memadatkan secara neurotik hingga dianggap subtil, sebelum kemudian mendedahkannya ke pembaca, kerap dibangun melalui anasir-anasir serta karakteristik yang khas filsafat.

Belum lagi, selain juga hasrat menggambarkan (dunia) realitas, bahasa dalam puisi adalah manifestasi ungkapan perasaan dan pikiran manusia yang selain spontan, mulanya adalah reflektif. Karena itu, penyair dengan media bahasa itu kerap tak hanya fokus pada cara menuturkan: untuk melawan struktur dan mekanisme bahasa pada satu sisi, dan memenuhi unsur (juga syarat) puisi, pada sisi lain.

Tetapi juga tercurah pada urusan serumit dan sebanal (?) ”meditasi simbolik”: menggoretnya secara tepat dan terpilih (akurasi dan harapan). Meski bilik ini pula yang kerap menyusahkan, serta tak jarang menyeret penulis dalam kerja yang terlalu berkenes dengan kata-kata.
Rudolf Carnap dalam The Rejection of Metaphysics, pernah membedakan dua fungsi bahasa: fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Fungsi pertama sering merupakan pernyataan-pernyataan mengenai perasaan, ucapan-ucapan linguistik yang disadari atau tidak, telak menggambarkan keadaan jiwa/mood, sesuatu yang akrab dengan puisi (sastra). Di ranah ini, bahasa memang kerap bernalar metaforik dengan daya imajinatifnya yang besar.

Sedang fungsi bahasa yang kedua, adalah yang identik dengan filsafat. Dari sudut pandang empiris (filsafat) misalnya, segala pernyataan mestilah harus dapat diverifikasi kebenarannya lewat pengalaman; dalam arti kebenaran dari pernyataan itu mesti dapat diuji dengan pengalaman. Di sini, ungkapan kata itu biasa dinamai proposisi (statement). Dengan syarat membawa ungkapan yang mesti logis. Jika tak terpenuhi, sama halnya melanggar bukti empiris atau aturan-aturan ketat dalam logika sintaksis. Jadilah bahasa dalam filsafat dibuat seolah menjadi semata bernalar empirik dengan daya mereduksi yang terasa semakin akut.

Namun, adakalanya ”kebenaran” dalam puisi justru diperoleh dari pengalaman dan sensasi indrawi, sebagaimana dilakukan filsafat. Tapi tujuan puisi bukan ketepatan atau kebenaran ojektif, melainkan subjektivitas, pluralitas rasa (menemukan cara yang dapat diterima oleh semua), serta ketakterdugaan. Berbeda dengan empirisme dan rasionalisme (filsafat) yang melakukannya lewat pengamatan (rumusan) dan logika (organisasi pikiran) untuk tujuan yang semata logis. Puncak dari rasionalisme kelak adalah idealis dengan sistem menalarnya yang semakin ketat, meninggalkan laku positivis. Puisi (sastra) kerap melakukan sejumlah abstraksi–tepatnya mendayakan inspirasi–melalui intuisi. Sesuatu yang sangat tak bi(a)sa dilakukan filsafat, karena filsafat melakukannya lewat logika atau rasio.

Sebagaimana ketika ada pernyataan-pernyataan metafisika sebagai bagian dari ekspresi bahasa, kerap tak mampu diverifikasi filsafat: di mana kebenarannya juga tak begitu saja dapat diuji dengan nyali pengalaman atau kekuatan struktural bahasa. Meski daerah ini sesekali masih disentuh metafisika (filsafat).

Namun, intuisi malah kerap dihidupi puisi, sering menjadi bagian dari pengetahuan langsung yang –meski mulanya hasil dari persepsi indrawi atau juga pemikiran sadar (rasio)–dapat menjembatani dunia imajinasi untuk menemukan, kemudian membiakkan pengetahuan-pengetahuan baru dengan daya bayang dan jelajahnya yang nyaris tak terbatas.

Lalu sejauh mana hubungan, setidaknya kaitan, antara intuisi (pengetahuan umum) dan imajinasi (puisi, sastra), untuk membedakannya dengan rasio dan juga indra empirik. Sartre pernah berkata, imaji sangat ditentukan oleh intensinya. Karenanya, kita akan menguji seberapa jauh imaji menyerap realita untuk–setidaknya dihipotesiskan alias dijadikan pengetahuan sementara. Pada waktu intensi itu mula-mula diambil, sesaat setelah intensi itu baru muncul dari laku yang spontan, kata Sartre, intensi tersebut sudah mengimplikasikan sebuah pengetahun tertentu.

Lebih jauh, di dalam kesadaran imajinatif, katakanlah dalam hal ciri pengetahuan dan intensi, kata Sartre, dapat dibedakan dengan abstraksi. Bahkan, katanya, pengetahuan merupakan struktur aktif sebuah imaji. Jadi, pengetahuan bukan sesuatu yang ditambahkan pada imaji yang sudah terbentuk, untuk mengklarifikasi imaji. Meski juga sebuah imajinasi tak dapat eksis tanpa pengetahuan yang membentuknya.

Barangkali saja sebuah imaji memang semacam daya atau modus susastra individual: pemberian suatu sensasi–bukan hanya representasi–kepada apa yang dipikirkan pada sebuah benda, entitas atau objek yang dipandang.
Daya imajinasi–dengan mengambil Al-Farabi dalam Mabâdi Arâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Khudori Soleh, 2010)–sesungguhnya adalah perantara bagi akal dan juga objek-objek rasional yang bersifat potensial untuk dibuat menjadi akal/intelek serta objek yang aktual dalam daya pikir kita. Daya pikir kita sendiri mulanya memperoleh pengetahuan, secara tak langsung, dari ”intelek aktif”, yang dipengantari atau dirangsang sebelumnya oleh imajinasi. Di sini, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), masih kata Al-Farabi, menerima aktualisasinya dari intelek aktif yang kemudian mentransmisikannya kepada daya pikir, baik dalam bentuk praktis maupun teoretis.

Ini mirip analogi matahari yang memberi penyinaran pada mata yang menyebabkan mata menjadi penglihatan yang aktual, dari keadaan sebelumnya yang bersifat potensial sehingga objek-objek yang berpotensi untuk dilihat mata pun menjadi tampak.

Matahari adalah gambaran dari intelek aktif, sedang mata gambaran bagi intelek potensial. Melalui intelek aktif inilah sesungguhnya imajinasi dengan salah satu domainnya, yakni puisi, justru kerap membangunkan kembali potensi pemikiran-pemikiran filosofis yang seolah telah buntu dan beku itu, untuk satu langkah (di) awal, menjadi berdenyut kembali.

Lalu bagaimana filsafat dan sastra memperlakukan bahasa? Mulanya filsafat, menawarkan atau mendekati bahasa lebih ke langage daripada ke langue-nya–untuk meminjam de Saussure–karena unsur logika (langage) dan aspek struktur serta sistemiknya. Adapun sastra membuatnya jadi relatif (langue), bahkan melampauinya (parole) dengan imajinasi dan unsur poetika. Justru relativitas itu membuat sastra lebih terbuka lagi persuasif untuk tujuan melunakkan bahasa dan eksperimentasi. Sebab, seperti kata Octavio Paz, takdir penyair mestinya adalah untuk menjebol kata-kata dari kungkungan bahasa keseharian dan membawanya menuju kelahiran puisi. Dengan menciptakan semacam dialog atau medan komunikasi baru, yang berpeluang melawan bahasa keseharian.

Di posisi inilah, puisi, meminjam kata-kata Paz, melompat dari yang dikenali menuju yang belum dikenali. Sementara kolonialisme gramatika dan penjajahan bahasa sehari-hari seperti yang kita saksikan banyak dipraktikkan dalam filsafat, membuat ungkapan puitik (disinyalir) tak lagi diakrabi atau mati suri.

Puisi memilih dan mengambil bentuknya sendiri yang spesifik, seolah menjauh dari semua bentuk-bentuk bahasa yang akrab dengan konsensus serta yang (pernah) kita temui dalam percakapan sehari-hari. Belum lagi, puisi akan selalu berubah ke dalam pertimbangan-pertimbangan dan tuntutan selera (taste) dan estetika zamannya. Maka, bisa jadi juga puisi yang baik adalah–bukan yang takluk pada pertimbangan, penilaian, dan tuntutan zaman–melainkan yang mampu bertahan dari tuntutan dan watak zaman yang terus berubah dan berhasrat menggeser selera bentuk dan isinya itu.

Puisi seperti itu pun kita tak tahu bisa dikategorikan seperti apa. Barangkali memang tak pernah bisa diringkus oleh rantai “pembakuan”. Mungkin karena itu jugalah kenapa Paz berkata: ”….puisi selalu sedikit, kendati banyak…” Suatu hal yang sinkron dengan ikhtiar atau pendapat Pere Gimferrer juga dalam konteks perpuisian modern (dalam Oktavio Paz, The Other Voice: 114): ”ketetapan hatinya untuk terus menjadi sebuah seni bagi minoritas.”

Kini sastra barangkali bukan lagi sebuah arcane knowledge “pengetahuan yang tak banyak orang tahu”, atau pengetahuan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu atau bersifat elitis, dan cenderung terisolasi. Tapi telah menjadi produksi sekaligus konsumsi publik, bahkan secara masal. Adapun filsafat di abad modern ini dianggap purna. Kalau mau hidup kajian ini perlu masuk ke dalam tubuh kajian lain. Dalam arti, pada dirinya sendiri filsafat telah tak bernyali.

Kehidupan baru filsafat ada pada interdisipliner, kata Verhaar: sebuah jalan yang juga pernah diistilahkannya sebagai ”deprofesionalisasi” filsafat. Di lain pihak, tugas-tugas yang dulu banyak ditanggung atau diemban filsafat, kini juga sering dikerjakan–salah satunya–oleh sastra. Pun sejumlah filsuf akademik, di antaranya seperti Foucault, Derrida, Barthes, Richard Rorty dan masih banyak lagi, sejak lama juga melakukan deprofesionalisasi filsafat (St. Sunardi, 2012). Dari situlah Verhaar yakin bahwa filsafat sudah tua dan uzur. Yang tertinggal hanya fungsinya yang telah diambil, di antaranya, oleh sastra (dengan salah satu variannya, puisi). Namun filsafat berakhir bukan berarti ia lenyap, akan tetapi karena kegiatannya seolah mengalir kembali ke muasalnya. Karena dulunya filsafat hidup dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan pengetahuan itu. Barangkali sebab itulah kegiatan berfilsafat hari ini tak lagi harus dilakukan seorang filsuf, tapi juga oleh sastrawan, penyair, dan sejenis mereka yang lain, hanya agar jantung filsafat terus berdetak.

*) Misbahus Surur, menulis esai dan sesekali puisi, staf pengajar di Fakultas Humaniora UIN Maliki, Malang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/09/berpuisi-secara-filosofis-atau.html