Widya Oktaviani
http://analisadaily.com, 4 Mei 2014
Sepinya ulasan dan kritik sastra saat ini akibat masih rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia. Sehingga puluhan tahun Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Mereka bukan tidak berani untuk memberikan ulasan dan kritikan. Karena rendahnya ilmu pengetahuan tentang sastra.
Bagaimana masyarakat ingin mengkritik, membaca saja masyarakat tidak tertarik. Apalagi di sekolah anak-anak dibatasi untuk membaca buku karya sastra. Walaupun di lingkungan sekolah terbatas, setidaknya di luar lingkungan sekolah anak lebih kreatif dengan cara rajin membaca karya sastra, mengumpulkan dan mengelola informasi dan menulis karya sastra. Dari membaca dan mengelola informasi kita bisa tahu apa itu sastra.
Seperti halnya di kampus, mana yang katanya banyak komunitas-komunitas peminat sastra. Selalu mengembangkan karya-karyanya di dalam komunitasnya. Mengapa untuk menunjukkan ke pada semua orang masih ragu. Padahal sebagai sastrawan muda kita mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bisa menjadi seperti kritikus dan pengulas. Seharusnya para komunitas sastra di kampus mempunyai kesempatan lebih besar ketimbang para sastrawan yang tidak mengikuti komunitas tersebut.
Tanpa kritik sastra memang bisa maju, tapi dengan kritik keikutsertaan diri seseorang dalam kehidupan kebudayaan dan pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya bisa kian lengkap. Sastra tanpa kritik seperti api unggun tanpa angin, tak membara dan tak memberi hangat.
Dalam kehidupan khususnya di Indonesia menghadapi kenyataan langkanya kritik sastra. Karena kehidupan sosial budaya kita berdasarkan sistem budaya Timur yang mengutamakan harmoni dan kerukunan.
Perubahan sosial politik Indonesia ini di tandai dengan kebebasan berekspresi, seharusnya mulai menumbuhkan tradisi kritik sastra. Hal ini belum menampakkan hasil menggembirakan. Buktinya aktivitas kritik sastra masih sunyi.
Marak atau sepinya kehidupan sastra di kota tertentu, bukan ditentukan oleh banyak atau tidaknya orang membaca dan menulis namun adanya komunikasi atau pergesekan kreativitas di antara mereka. Komunikasi dan pergeseran kreativitas itu tentu saja membutuhkan media seperti media cetak (koran atau majalah).
Sebenarnya sastra menjadi medan terbuka yang menarik banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Hampir semua orang membaca karya sastra, baik dalam bentuk buku maupun yang terkait di surat kabar. Banyak komunitas sastra muncul. Bengkel kerja bagi sastrawan muda juga bertambah banyak.
Setidaknya para sastrawan muda memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan karya-karyanya, dengan cara banyak membaca dan mencari informasi. Setelah membaca kita bisa menulis, mempunyai banyak informasi dan dari situlah kita bisa membuat ulasan dan kritikan yang menyangkut sastra khususnya.
Bagi orang yang mengerti akan sastra mereka akan menyukainya. Jika tidak orang tersebut tidak aka berhasil untuk mengkritik atau memberikan ulasan sastra secara sempurna. Setidaknya kita para pemuda berusaha untuk mencintai dan memahami sastra agar sastrawan semakin banyak.
Kemana para sastrawan yang mencintai sastra apalagi sekarang telah banyak sastrawan muda yang kreatif. Tapi mengapa hanya sedikit yang berani mengulas dan mengkritik sastra. Bagaimana ingin maju dan ingin diketahui orang banyak, kalau para sastrawan yang ada sekarang tidak berani menunjukkan kekreatifannya. Padahal di kampus telah banyak kelompok-kelompok sastrawan muda yang aktif.
Fungsi kritikus tidak hanya dinilai positif bagi sebagian orang. Banyak masyarakat penikmat sastra yang mengharapkan kehadiran kritikus untuk menjadikan karya sastranya lebih baik. Dengan adanya kritik, karya sastra para sastrawan akan diapresiasi lebih tinggi lagi dari segi baik buruknya. Tidak demikian bagi sebagian kaum lain khususnya para penulis-penulis baru.
Para penulis baru yang karyanya baru terekspos masa akan menjadi bahan sorotan baru oleh kritikus. Banyak penulis baru yang fresh menyajikan karya-karya baru yang dianggap baik bagi pembacanya. Tidak semua pengarang baru seperti itu. Di sinilah tugas para kritikus untuk menuangkan kemampuannya menganalisis karya-karya baru di dunia sastra.
Sebagai kritikus haruslah seobyektif mungkin dalam mempertimbangkan baik buruknya sebuah karya sastra. Penulis lama yang telas sering dikritik karyanya mungkin akan terbiasa menerima kritikan pedas oleh kritikus. Penulis baru yang karyanya dikritik oleh kritikus akan merasa bahwa karyanya seakan tidak baik. Mereka merasa kurang percaya diri untuk mempublikasikan karyanya lagi karena telah dikritik tidak baik tentang karyanya. Ini yang menyimpulkan bahwa ada sebagian orang yang kurang suka dengan keberadaan kritikus.
Seharusnya sebagai seniman professional, hal seperti itu harus dijadikan sebuah acuan yang baik bagi keberlangsungan karya-karyanya. Bukan sebaliknya, sebuah kritikan malah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang. Kritik harusnya menyemangati, bukan menjatuhkan nyali.
Berkembangnya dunia kritik dalam sastra tidak menjadi patokan bagi menjamurnya para kritikus. Secara umum, orang lebih suka membaca karya sastranya dibanding kritikan sastranya. Ini bisa dilihat dari ketidaktertarikan pembaca dalam membaca sebuh kritik. Oleh sebab itu, kritikus malas mengkritik. Buat apa mengkritik bila tidak ada yang membaca kritiknya. Apalagi banyak sastrawan juga tidak suka pada kritikus karena hasil kritiknya.
Bukan tindakan seperti itu yang diharapkan dunia sastra. Kemajuan sastra tidak terlepas dari kemajuan dunia kritiknya. Siapa lagi yang akan mengapresiasi karya sastra dengan pertimbangan baik buruknya secara detail kalau bukan para kritikus sastra. Keberadaan mereka begitu dibutuhkan bagi sastra guna menjaga dan memelihara mutu karya sastra.
Bagi sastrawan muda lanjutkanlah menghasilkan karya-karya yang baik, karena sebagai sastrawan muda yang berbakat pasti bisa untuk melakukan semua tantangan atau mendapatkan kritikan dari para kritikus. Karena dari kritikan mereka kita bias maju untuk membuat sebuah karya sastra.
***