Pungkit Wijaya
Sastra sufi identik dengan perenungan diri terhadap sang Ilahi, yang dibahasakan dengan bahasa Cinta. Cinta ini mematuhi Tuhan; Membenci sikap yang melawan Tuhan; berserah diri pada Tuhan; dan menjauhi segala kecenderungan yang melalaikan kita terhadap Nya, karena bersumber pada realitas kehidupan yang tidak dapat dijelaskan melalui pemahaman logis rasional dan tak dapat diserap panca indra, maka yang harus aktif adalah akal intuitif yang dijelaskan lewat imajinatif kreatif. Dengan yang intuitif dan imajinatif kreatif berarti hanya dapat menggunakan simbol-simbol tertentu dalam bahasa figuratife.
Acep ZamZam Noor adalah putra pertama ulama besar almarhum K.H ilyas Ruhiat, mantan rois A’am PBNU yang memiliki pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Meskipun kental dengan tradisi kepesantrenan Acep secara akademisi berbasiskan ilmu seni rupa, setelah dia menyelesaikan SLTA di pondok Pesantren As’syafi’iyah, Jakarta. Lalu menempuh pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993).
Dengan demikian Kang Acep, sapaan akrab Acep ZamZam Noor, adalah salah seorang penyair yang berbasiskan pesantren. Oleh karena itu, saat membaca puisi-puisinya sebenarnya dia sekaligus seorang kiai, seniman, sastrawan, pelukis dan budayawan yang tidak lepas dari sisi religiutas dan sufisme seorang penyair-santri yang sunyi penuh dengan do’a, mesra, tetapi sarat kritik sosial.
Perkembangan khazanah kesusastraan sufisme di Indonesia sebenarnya tidak bisa lepas dari peran serta penyair dari pesantren. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia kita mengenal Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M, KH Mustofa Bisri, KH D Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Ahmad Tohari, KH Muhammad Zuhri dan sekian banyak nama yang memiliki nilai religiutas dalam setiap karya sastra mereka, dari puisi, cerpen maupun lain nya.
Dalam beberapa puisinya, Kang Acep agaknya mengedepankan sisi religiutas yang mesra. Pengalaman penyair yang penuh perenungan tersebut dapat kita baca, misalnya pada potongan bait sajaknya yang berjudul “Cipasung”. ”cangkul ku iman dan sajadahku lumpur/hari esok adalah perjalanku sebgai petani/tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain/atas sajadah lumpur akutersungkur dan terbukur/.”
Dalam puisi di atas kita lihat setiap baris kata yang menggambarkan kesantunan seorang Acep meski juga tergambar jelas keadaan sosiokultur Cipasung sebagai kota santri, dalam bait ketiga, ‘cangkul ku iman dan sajadahku lumpur‘. Di sana kang Acep terlihat sebagai seorang yang mempunyai nilai spiritual yang kental. Lalu Peran Kiai dia pertegas dalam ‘hari esok adalah perjalananku sebagai petani’ dan simbol petani saya analogikan seperti Kiai yang harus siap melayani setiap pengajian amal.
Di sini bagaimana sosok penyair sufistik, “atas sajah lumpur aku tersungkur dan terkubur”,cita-cita kang Acep mungkin tidak seperti para politisi atau pejabat negara yang ingin berlomba-lomba dalam harta dan tidak lantas ingin tinggal menetap di luar negeri namun bercita-cita menjadi ‘doa’ dan ingin kembali ke daerah dia dilahirkan dengan perjalannya sebagai petani dengan memanen ketam kesabaran nya.
Seakan cita-cita Kang Acep dia tegaskan dalam puisi nya yang berjudul ‘ aku kini doa’, kini aku doa/tolong jangan kotori kemurnianku dengan kata-kata/. Dalam bait sajak tersebut dituliskan sebuah pengharapan kemurnian sebagai seorang religius dan kata yang terakhir berelasi dalam kehidupan nyata seperti para politisi yang sering mengumbar kata-kata atau janji-janji saat berkampanye.
Ketulusan terhadap Tuhan sebagai penyair sufistik, saya kutip dalam sebuah esai yang pernah dia tulis yang berjudul intensitas. dia mengatakan bahwa saya tertarik pada puisi-puisi sufi, dapat kita baca juga, dalam ‘sajak nakal’. doa-doaku/menyelinapkedalam kutangmu/seperti tangan/tanganku/nakal/seperti doa/meremas payudaramu disorga/, yang termuat dalam antologi puisinya Menjadi Penyair Lagi (2007) setelah kumpulan Antologinya Tamparlah Muka Ku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahku (2004).
Acep Zam-Zam dalam sebuah essainya yang berjudul ‘puisi dan batu akik’ yang dia tulis saat acara Khatulistiwa literary Award 2008-2009 pernah mengatakan bahwa menulis puisi sebagai jalan hidup yang aneh, dan tidak dapat menerangkannya secara rasional, sementara teori batu akik dan bulu kuduknya mampu menjadikan seseorang menulis puisi dengan semua tahapan yang prosesnya tidak mudah ini harus dikerjakan dengan penuh intensitas, dengan kekhusyukan, kesabaran dan ketulusan.
Dengan kata lain dilakukan dengan cinta. Makna cinta ini tentu metafornya adalah mencintai puisi sekaligus mencintai sang ilahi. Dan teori bulu kuduknya mengisyaratkan bahwa proses mistifikasi harus penuh penghayatan dan perenungan. Maka seorang Acep Zamzam Noor mampu memenangkan beberapa penghargaan atas sejumlah karyanya.
Sumber Kabar Priangan 11 Agustus 2010
http://poongkeetwijaya.wordpress.com/2013/11/08/sufisme-dalam-puisi-acep-zamzam-noor/