Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 2 Jan 2010
Peranan pers dalam pengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia telah diakui. Para pemuda dari berbagai daerah yang menghadiri Kerapatan Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan gampang menerima isi Sumpah Pemuda diktum yang ketiga, yaitu ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, antaranya karena pada waktu itu bahasa Melayu lingua franca (yang diganti namanya menjadi ”bahasa Indonesia”) digunakan dalam pers nasional secara luas.
Setelah Sumpah Pemuda, peranan pers mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sangat besar. Peranan itu kian besar karena sesudah merdeka, pers yang berkembang di seluruh tanah air hanyalah pers berbahasa nasional. Pers bahasa daerah peranannya kian kecil. Ada satu dua yang berbahasa Inggris tetapi hanya di Jakarta, dan tampaknya terutama dibaca oleh orang-orang asing. Setelah hubungan kita baik kembali dengan RRC, muncul kembali pers berbahasa Mandarin. Akan tetapi, pembacanya tidak seberapa.
Pers bukan saja memperluas jangkauan pemakai bahasa Indonesia, melalui cetakan, lisan (radio), ataupun melalui pers elektronik seperti televisi dan internet, melainkan juga berperan sebagai contoh pemakaian bahasa Indonesia bagi kebanyakan orang. Karena kesempatan bertemu dengan bahasa Indonesia melalui pers lebih banyak dan lebih mudah daripada dengan teks tertulis dalam buku-buku, pengaruh bahasa pers itu lebih besar daripada pengaruh pelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas.
Padahal, kemampuan wartawan yang menulis atau menyampaikan secara lisan berita-berita itu tidak semuanya baik, ditambah pula mereka harus merangkai bahasa secara singkat dan cepat, maka kita saksikan kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kalimat-kalimat berita yang kita baca atau dengar. Dalam bahasa lisan radio atau televisi, kita sering dengar kalimat rancu dan salah ucap bukan saja waktu menyampaikan kata-kata atau nama-nama asing yang agaknya tak dikenal oleh si pembawa berita, tetapi juga ketika menyampaikan kata-kata bahasa Indonesia, terutama vokal e dan é yang berasal dari bahasa daerah atau kosakata Melayu lama sering tertukar. Dalam berita tercetak kita sering menemukan kata-kata baru yang berasal dari (terutama) bahasa Inggris yang begitu saja digunakan dalam bahasa Indonesia dengan mengubah ejaannya, padahal sebenarnya kata atau istilah tersebut ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan si wartawan yang menulisnya bersumber dari berita dalam bahasa Inggris tidak mengerti arti kata itu dan malas memeriksanya dalam kamus. Dengan demikian, setiap hari menyerbu kata-kata baru yang tidak perlu berasal dari bahasa Inggris yang dipakai dalam pers Indonesia. Dan hal itu memengaruhi pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Tidak hanya yang berasal dari bahasa asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia karena kemalasan atau kekurangmampuan berbahasa Indonesia si wartawan, melainkan juga yang berasal dari bahasa daerah(nya). Misalnya belakangan ini banyak digunakan kata ”kalau”, ”pabila”, ”jika” dan semacamnya untuk arti ”bahwa”. Mula-mula yang menggunakannya adalah wartawan dari Jawa terutama dalam pers yang terbit di Jawa Tengah dan Timur. Akan tetapi, sekarang banyak juga digunakan oleh wartawan bukan orang Jawa yang bekerja di Jakarta. Bahkan juga dalam Pikiran Rakyat Bandung. Kerancuan itu timbul karena dalam bahasa Jawa, kata ”yen” mempunyai dua arti, selain mempunyai arti ”kalau” juga mengandung arti ”bahwa”. Wartawan orang Jawa yang menulis dalam bahasa Indonesia mengacaukan keduanya dan kemudian diikuti oleh wartawan-wartawan bukan orang Jawa yang kurang mampu berbahasa dan mengira bahwa kerancuan itu merupakan ”gaya” baru yang baik untuk diikuti.
Kemalasan lain yang juga banyak berpengaruh kepada pemakaian bahasa sehari-hari masyarakat ialah meluluhkan semua huruf ”p” kalau mendapat awalan me- yang berasal dari gagasan Salomo Simanungkalit (”Mang Ayat dan Bahasa”, Kompas, 2 Juni 2006). Seperti diketahui dalam bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu) kata-kata dasar yang dimulai dengan huruf ”p” kalau mendapat awalan me-, kebanyakan luluh, namun ada yang tidak luluh sehingga tetap digunakan kata dasar seutuhnya, misalnya kata prihatin menjadi memprihatinkan, tetapi dengan gagasan Salomo, itu menjadi memrihatinkan. Jadi tak ada kekecualian seperti dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan kemudian para redaktur bahasa buku-buku juga mengikutinya. Belakangan Pusat Bahasa juga mengikuti atau ”mengesahkan” gagasan yang bermula dari kemalasan tersebut.
Dalam hal ini, saya berpendapat yang lalai adalah para penyusun buku tata bahasa Indonesia. Seharusnya mereka sejak lama mendaftarkan kata-kata yang bermula dengan huruf p (dan juga huruf t dan lainnya) yang tidak luluh menghadapi awalan me- (yang saya kira jumlahnya tidak seberapa). Kata-kata yang merupakan kekecualian itu harus dihapalkan oleh mereka yang belajar bahasa Indonesia, seperti kita juga harus menghapalkan irregular verbs kalau belajar bahasa Inggris. Kalau ada daftar demikian, orang tidak usah kebingungan dalam menggunakan awalan me-, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang malas untuk mencari jalan pintas.
*) Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.