Bokor Hutasuhut, “Penakluk Ujung Dunia”

Damiri Mahmud
harian.analisadaily.com

BOKOR Hutasuhut lahir di Balige, 2 juni 1934. Pernah Redaktur kebudayaan majalah Waktu, Medan. Sekretaris Yayasan Sastra (penerbit majalah Sastra). Sekretaris Jenderal KKPI (Konperensi Karyawan Pengarang Indonesia). Dia penanda tangan Manifes Kebudayaan. Novel-novelnya adalah Pantai Barat, Tanah Kesayangan dan Penakluk Ujung Dunia.

Novel Penakluk Ujung Dunia, narasi yang menggunakan teknik alur maju atau menanjak. Pautan peristiwanya dijalin oleh hubungan, baik secara temporal maupun hubungan kausal. Walaupun untuk menguatkan sesuatu atau bagian peristiwa tertentu juga menggunakan flashback, namun dia digunakan untuk menerangjelaskan suatu masalah yang sedang dihadapi sehingga menjadi jelas.

Alur novel ini, dapat dikatakan masuk dalam kategori alur longgar (loose plot), dalam arti jalinan peristiwa yang kurang padu, sehingga memungkin satu-dua peristiwa atau bab masih bisa dikurangi atau ditiadakan. Kekurangpaduan itu juga, adanya beberapa bab. Terasa kurang didramatisasi atau kurang pelukisan situasi dan dialog, tapi lebih kepada fokus sudut pandang pengarang yang bahkan menempatkan diri sebagai omniscient point of view.

Hal ini terlihat dengan jelas di hampir seluruh bab. Keterangan pengarang yang bertindak sebagai narator atau pencerita, jauh lebih dominan. Bandingkan dengan dialog dan tindakan, sehingga karakter tokoh kurang berkembang.

Sebagai penyeimbang, kelihatan pengarang sangat memahami masalah. Mengenal serta menguasai setting, sehingga selalu sesuatu peristiwa atau suasana seperti benar-benar terjadi di depan mata. Terutama latar tempat kejadian dan suasana alam yang dipaparkan kepada kita. Boleh jadi akan sangat membosankan, di tangan pengarang terasa menarik untuk diamati. Novel ini terdiri sembilan bab yang resume kronologisnya, kita paparkan sebagai berikut.

Bab pertama mengisahkan peristiwa Raja Panggonggom, sedang mengumpulkan seluruh pembesar marga untuk berkumpul di pusat kampung. Mereka membahas masalah pertikaian dengan marga lain. Bermula de­ngan terbunuhnya anggota marga Amani Boltung dalam rebutan aliran air di sawahnya.

Ronggur, seorang pemuda, mengusulkan supaya dicari akar masalahnya. Tanah persawahan telah semakin sempit sehingga perlu dicari daerah baru dengan mengarungi sungai Titian Dewata. Usulnya ditolak, karena tidak masuk akal para pengetua. Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia tempat roh mereka dikembalikan ke Mula Jadi na Bolon, sama sekali bukan daerah subur sebagaimana yang dibayangkan oleh Ronggur. Musyawarah sepakat untuk mengumumkan perang ke marga yang telah mencoreng arang ke kening mereka.

Marga Ronggur kemudian menyerang marga yang membunuh Amani Boltung dan mendapat kemenangan. Ronggur sendiri berperan aktip bahkan menyelamatkan nyawa Raja Panggonggom serta dapat menawan putri Raja Nabegu. Sebagai balas jasa, Ronggur diangkat sebagai Raja ni Huta (Muda) yang menguasai tanah bekas yang dikuasai marga yang ditaklukkan.

Pengorbitan Ronggur yang tanpa cacat-cela, terasa kurang meyakinkan. Lukisan dan tindakan protagonis yang terasa tidak bergerak sendiri, tapi dikendalikan oleh pengarang. Kurang dideskripsikan bagaimana keadaan marga yang kalah dan bagaimana pula marga yang menang memperlakukan mereka. Keadaan kebanyakan kita perdapat dari keterangan pengarang.

Pada bab kedua diceritakan perlakuan Ronggur yang baik terhadap Tiur dan rencananya untuk memerdekakan. Ke­inginannya, kuat untuk memulai perjalananan mengharungi Sungai Titian Dewata. Di sini terungkap, ayah Ronggur sebelumnya pernah mengharungi sungai. Niatnya sama bersama bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsahit Lipan, namun tewas digulung arus sementara sang datu selamat. Bab ini akan lebih menarik apabila masalah perbudakan yang disinggung tidak semata diterang­kan tapi lebih dideskripsikan.

Bab tiga, Ronggur bersama Tio memulai pekejaan membuat perahu yang mencari bahannya jauh di dalam hutan. Dalam bab ini terlihat penguasaan pengarang terhadap latar yang menghidupi cerita. Terkuak pula rencana masing-masing marga memperebutkan hutan untuk memperluas wilayah dan persawahan. Masalah ini misalnya diungkap pengarang secara lebih meluas akan cukup menarik karena hal itu cu­kup relevan, hingga ke hari ini.

Dalam bab empat rencana keberangkatan Ronggur dibahas dalam rapat lengkap. Di sini dipertentangkan dua karakter yang saling menyala: kubu rasional yang diwakili oleh Ronggur dan kubu irrasional oleh pihak kerajaan dan masyarakat umumnya. Ronggur tetap pada pendiriannya walaupun dia dikutuk dan dikeluarkan dari silsilah marga. Dalam bab ini menyentuh hati respons ibu Ronggur yang sudah renta di mana dia memberikan sugesti sebagai ibu yang tabah meskipun dia akan memanggung resikonya.

Bab lima Ronggur berangkat ditemani Tio dan anjingnya. Diantar oleh ibunya dan bekas datu, sementara kerajaan dan masyarakat dilarang untuk memberikan perhatian. Di sini ada renungan Tio yang menarik tentang arti kemerdekaan untuk diri yang menjadi motivasinya untuk ikut. Lebih meyakinkan lagi kalau renungan itu diuraikan dengan jalan pikiran Tio sendiri tanpa harus diken­dalikan oleh pengarang.

Dalam bab ini muncul tokoh yang menarik, Lolom. Dia mau ikut meski dengan niat dan motivasi yang bertolak belakang. Lolom adalah sosok dari kelompok marjinal dan berada di luar sistem kemasyarakatan dan kerajaan. Seorang penjudi kelas berat namun punya watak jujur dan terus terang. Kenapa keinginannya ditolak Ronggur? Saya membayangkan sekiranya dia ikut serta, novel ini tidak sekedar linear dan hitam putih. Dengan adanya sebuah ironi dan seolah stigma, menurut hemat saya novel akan lebih berkembang da­lam kerumitan dan variasi yang lebih menarik. Penolakan ini juga terasa sebuah romantisisme terhadap sesuatu yang dianggap ideal dan tak boleh dicemari dan digangu-gugat.

Dalam petualangan ini muncul renungan filosofis dan peng­amatan alam yang cukup dikuasai pengarang, sehingga mengurangi kemonotonan. Dalam kelelahan, dan ketakutan serta putus asa dalam diri Tio, dia dimerdekakan, yang menghidupkan kembali harapannya.

Pada bab enam, karena tak tahan dengan arus yang menggila, perjalanan diteruskan dengan jalan darat menembus hutan dan bukit. Di sini mereka bertemu dengan fenomena yang aneh. Ternyata matahari. Kemudian mereka menjumpai air terjun, yang dipercayai selama ini sebagai ujung dunia tempat arwah nenek moyang tersimpan.

Dalam bab tujuh, mereka kem­bali meneruskan perjalanan dengan berperahu karena ternyata hilir air terjun terus mengalirkan sungai-sungai. Di sini menemukan air pasang dan danau tak bertepi (laut). Ini daerah impi­an mereka. Mereka lalu bertani dan mendapatkan seorang anak.

Bab delapan perjalanan pulang ke kampung halaman mem­beritakan keber­hasilan mereka. Ronggur sadar, menaklukkan alam jauh lebih mudah daripada mengubah kepercayaan yang telah berurat berakar.

Pada bab sembilan dipaparkan penolakan kerajaan marga atas temuan mereka. Diputuskan mereka dihukum mati. Pada saat yang genting mereka ditolong oleh orang-orang yang disisihkan dan melarikan diri kembali ke daerah baru yang menjanjikan. Masih diteruskan dengan pengejaran pasukan marga. Mereka dapat ditawan Ronggur. Sebagian kecil diutus kembali ke marga untuk mengikat perjanjian perda­maian. Diceritakan juga setelah itu, ramai para pendatang merambah jalan-jalan baru.

Di sini ada satu pertanyaan. Apakah inspirasi novel ini berupa imajinasi pengarang semata. Saya berkesimpulan, cerita ini telah hidup sebelumnya sebagai sastra lisan di tengah masyarakat Batak. Hal ini juga dibayangkan pengarang di halaman 30 ketika menyinggung peran ampangardang semacam awang batil atau pendidong, yang mewartakan wiracarita dari klan masing-masing.

Berhadapan dengan sastra lisan atau folklore kita akan selalu ber­temu dengan legenda dan mitos. Kedua ciri ini pun tampaknya sangat lekat terlihat dalam novel. Untuk kepentingan itulah, untuk keperluan melegendakan tokoh dan membangun mitos-mitos baru, adanya paparan dan narasi dalam bab delapan dan sembilan. Kesempurnaan tokoh hero tergambar tidak saja dalam keberhasilan pengelanaannya tapi juga dari kesuksesannya keluar dari hukuman dan kematian, meski didukung faktor kebetulan yang muncul di saat-saat yang genting. Ini menjadi bumbu yang sedap diulang-ulang oleh para ampangardang untuk mengorbitkan sebagai tokoh yang legendaris, di samping penemuan dan penamaan daerah baru yang memunculkan mitos-mitos yang menguatkan ketokohannya.

Satu hal yang perlu diingat, legenda dan mitos yang dipilih pengarang untuk dimunculkan dalam novelnya ini benar-benar terpilih.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *