Mihar Harahap *
Harian Analisa, 22 Mar 2014
Sebenarnya Budi Hatees (BH) sedang mengesai H. B. Jassin dalam tulisan “Kritik Sastra atau Apresiasi Sastra”(Analisa, 16 Maret 2014). Entah mengapa, kemudian mencatut nama Mihar Harahap (MH) dengan mengatakan kritik MH bukan kritik, tetapi esai. Kalau benar kritik saya adalah esai, lalu mengapa mencatut nama saya ketika sedang mengesai H. B. Jassin, kritikus sastra Indonesia. Ini namanya mencari gara-gara.
Mencermati gelagat ini, pemahaman saya, BH merasa kesal pada saya. Soalnya setiap cerpennya dimuat di Analisa ini, pasti saya kritik bersama pecerpen lainnya. Tampak dari tulisan sebelumnya, BH tidak siap menerima kritik saya. Ketika itu tulisannya tidak saya gubris. Tulisan kali ini, terpaksa saya tanggapi, karena sudah kelewat batas atau tidak sehat lagi. Begitupun saya tidak perlu meradang, menerjang.
Biarlah BH tidak mengakui saya sebagai kritikus, walaupun saya pernah meraih Hadiah Kreativitas Sastra dari DKM dalam bidang kritik, malah di atas Herman KS (guru saya). Kalau Yulhasni menyebut saya kritikus strukturalisme, Arie A. Nasution menyebut saya kritikus apresiatif (seperti Rachmat Djoko Pradopo menyebut Herman KS) maka Damiri Mahmud (diskusi di TBSU) menyebut kritik saya mirip kritik H.B.Jassin.
Terus terang saya sebetulnya merasa terhormat disebut sebagai esais sastra ketimbang kritikus sastra. Mengapa? Menurut saya lebih sulit menulis esai daripada menulis kritik. Kalau kritik sastra bahannya dari orang lain (sastrawan), puisi, prosa, drama. sebaliknya esai sastra bahannya dari diri sendiri. Persoalannya bukan itu, -hormat atau tidak- melainkan prihal kritik sastra saya disebut BH sebagai esais sastra.
Sayangnya, pernyataan BH -sai sastra bukan kritik sastra- tidak didukung sepe rangkat ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pernyataan ini dianggap ilegal, terlalu pribadi dan sangat subjektif. Sayapun menolak pernyatan ini. Atau saya menanti BH dapat membuktikan pernyataannya pada tulisan lain. Bila perlu dalam diskusi, sehingga saya dapat mempelajari dan mempertimbangkannya.
Tulisan ini kelihatannya sembrono dan melingkar-lingkar. Misal, disatu paragraf dikatakan kiritikan saya menunjukkan kekuatan tradisi ilmiah atau kemampuan berteori yang mumpuni, namun di paragraf lain dia katakan kritikan saya tidak membutuhkan teo- ri/tradisi akademis. Mana yang benar? Sayang, BH kurang tahu atau tak mau tahu, pada-hal dalam tulisan/diskusi saya sudah memaparkan meoda saya mengeritik.
Menurut kamus, apresiasi (Inggeris,appreciation = penghargaan) adalah 1). kesadaran terhadap nilai seni/budaya, 2). penilaian/penghargaan terhadap sesuatu. Menurut ahli, kritik adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan, klarifikasi, penerangan dan penilaian terhadap teks karya sastra. Jadi, apresiasi sastra dan kritik sastra berarti ganda dan sama. Kritik merupakan ilmu/sistem dalam apresiasi karya sastra.
Kritik sebagai ilmu dalam apresiasi karya sastra dapat dipelajari, misalnya di kam pus, kebetulan saya dosen mata kuliah kritik sastra itu. Sesuai kurikulum/silabus, dipelajari pengertian kritik sastra, sejarah, sifat, fungsi, jenis, metoda, penulisan, penilaian, latih an dan lainnya. Itu sebab, ketika BH menyatakan kritik sastra saya adalah esai sastra, timbul pertanyaan, apakah BH paham perbedaan kririk sastra dengan esai sastra?
Memang teori kritik sastra berasal dari barat. Soalnya, tidaklah tepat bila mengeri tik karya sastra Indonesia menggunakan teori barat itu. Layaknya, gunakanlah teori Indonesia agar sesuai dengan budaya, cara pikir-rasa dan kondisi Indonesia. Sudah ada kesa- daran itu sejak lama, tetapi entah mengapa hingga kini, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM belum juga membuat metoda kritik sastra itu.
Saya mencoba membuat metoda Tebekule, sudah saya kenalkan ke media publik, dalam diskusi bahkan saya lakukan ketika mengeritik karya sastra.Tebe, tema dan bentuk, merupakan perwujudan dari makna apresiasi/kritik bersifat pemahaman, penghayatan dan penguasaan karya sastra. Kuncinya, apa (tema:isi, tujuan, pesan) dan bagaimana (bentuk: plot, karakter, setting, bahasa). Keduanya, tergantung pada karya sastra itu.
Kule, kuat (kekuatan) dan lemah (kelemahan) karya sastra. Hal ini perwujudan dari makna apresiasi/kritik bersifat penghargaan, penilaian baik-buruknya karya sastra. Ibarat memerah susu sapi, saya perah cerpen/novel untuk mencari/menemukan Tebenya (kata BH menceritakan kembali/kompilasi kisah). Baru saya tahu enak-tidaknya susu sapi itu untuk merasakan Kule-nya (BH diam saja mengenai ini). Kenapa?
Semestinya, frekunsi Tebe harus berbanding sama dengan Kule (50%-50%). Bila dipecah lagi, tema = 25%, bentuk = 25%, kekuatan = 25% dan kelemahan = 25%. Memahami kondisi pengarang Sumut yang belum dewasa, maka pemerataan frekuensi ti- dak stabil. Siasatnya, dilihat siapa pengarang dan mutu karangannya. Itupun terkadang tidak tepat. Terbukti BH, tetapi jumlahnya berangsur-angsur relatif menurun.
Terkait catatan di bawah tulisan: “penulis adalah kritikus sastra Indonesia di Su- mut”, rasanya tak begitu penting, namun dilirik BH juga bahkan menjadi aset besar untuk menyudutkan saya. Dulu, pengarang menulis alamat rumah/tanggal mengarang. Kini, nama profesi, jabatan atau organisasi. Semula, saya tulis nama profesi (kritikus sastra) serta jabatan (Dekan FKIP), sekarang hanya nama profesi saja. Salahkah?
Kalau Hasan Al Bana menyebut pandai fiksi, maka saya menyebut kritikus sastra (walau BH tak mengakui). Di jurnal internasional, nama profesi malah wajib ditulis. Majalah Horison bahkan foto dan biodata singkat. Di Kompas terkadang ada. Kalau saya me nulis di Jurnal Nasional Jakarta nama profesi diganti redakturnya menjadi dosen. Padahal saya lebih suka disebut kritikus sastra (apalagi esais sastra) ketimbang dosen.
Lebih dari itu, catatan di bawah tulisan adalah komitmen saya terhadap perkemba ngan sastra Indonesia di Sumut. Mungkin hanya saya yang mengatakan siap mengeritik karya sastra Sumut dan tidak yang lain (kecuali hal tertentu). Saya tetap menggelorakan karya sastra Sumut adalah karya sastra Indonesia dan bukan monopoli Jakarta. Biar tidak populer, biar tak menulis lain. (kecuali rindu). Inilah perjuangan saya.
*) Penulis adalah kritikus sastra Indonesia di Sumut, dan sebagai Ketua Forum Sastrawan Deli Serdang.