Naskah Teater; Jaka Modo

Naskah Drama Karya: Rodli TL *

Sinopsis
Andong Sari terusir dari istana, lantaran cemburu berujung fitnah. Ia harus membawa lari bayi lelakinya ke hutan utara, sampai Gunung Ratu dengan di temani seekor garangan dan kucing. Bayi itu ia beri nama Joko Modo.

Joko Modo, Gajah Mada adalah toko sentral Majapahit yang mencapai kejayaannya dengan pusat pemerintah di Wilwatikta. Dinasti yang didirikan Raden Wijaya ini mencapai puncak kejayaan di era Hayam Wuruk.

Joko Modo, Gaja Madah seringkali mengalahkan pemberontakan yang dipimpin Ra Kuti terhadap Raden Wijaya yang dianggap tidak pantas menjadi raja, lantaran Raden wijaya bukan keturunan asli jawa, namun berdara campuran.

Joko Modo, Gajah Mada terus melawan pemberontak dengan semangat Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara.

Adegan 1
Musik gamelan dan rancak bambu.
Para penari bergerak seperti ular, gerakannya lincah dan menggelombang. Gerakannya nampak indah. Dari tubuh tarian ular itu muncul garangan dan kucing menari dengan tarian yang lucu, namun tetap seirama dengan kelompok penari lain.

Adegan 2
Beberapa menit kemudian, muncul perempuan yang menggendong bayi dengan tariannya. Ia adalah Dewi Andongsari.

Adegan 3
Kelompok penari ular bergerak mengelilingi Dewi Andongsari, lalu pergi meninggalkannya.

Adegan 4
Dewi Andongsari menari sendiri. Lalu menyampaikan harapan anaknya.

Dewi Andongsari : Bersama engkau aku menari, anakku. Engkau adalah gunung sebagai pasak kehidupan. Kehidupan itu bernafas sejuk, nafasnya diantara akar-akar tanah. Engkau adalah lelaki keturunan raja. Semoga engkau menjadi lelaki pengikat bumi, seperti gunung dan pepohonannya. Anakku, Engkau aku beri nama Jaka Modo.

Musik
Dari kejauhan tiba-tiba muncul teriakan kasar kepada Dewi Andongsari.

Suara-Suara: Andongsari, engkau adalah perempuan rendah. Jangan engkau harap, anakkmu menjadi pewaris majapahit. Pergi, pergi, pergi! Jangan engkau injak tanah istanah. Dewi Andongsari dan anaknya harus enyah!

Musik keras dengan tarian yang mengamuk. Garangan dan kucing mengaum. Joko Modo yang masih ada di gendongan ibunya menangis keras. Dewi Andongsari berlarian kesana kemari.

Adegan 5
Musik melemah. Andongsari menangis terpojok. Dewi Andongsari bergumam menyanyi
Dewi Andongsari : (menari dan menyanyi dengan tidak bertenaga)
Tiada kekuatan yang buat untuk lawan
Duh Gusti, di atas kahyangan
Tolong, tolong, Sang Maha Penyayang.

Adegan 6
Dewi Andongsari, awalnya ia larut sedih, namun ia cepat sadar. Ia harus bersemangat dan kuat membesarkan anaknya. Dewi Andongsari menari lucu mengudang anaknya.
Muncul Garangan dan Kucing ikut menari dan menemani. Mereka sangat bergembira menghibur Jaka Modo.

Dewi Andongsari: Ayo teruslah berjoget, kucing! Lo kenapa engkau berhenti berjoget, Garangan?
Garangan: (Mengaum ngambek).
Dewi Andongsari: Walah, cemburu, ngambek… ya kalau yang berjoged hanya kucing, ya tidak ramai. Ayo Garangan, kamu harus berjoged juga. Agar Jaka Modo tertawa senang.

Dewi Andongsari tersenyum. Ia menari pelan. Tariannya menggambarkan seorang ibu yang sedang merawat anaknya dengan kasih sayang.

Garangan, kucing dan semuanya menari dengan tarian seperti yang dilakukan Dewi, merawat anak dengan kasih sayang, dengan suasana gembira.

“Anak kita adalah cinta
Tumbuh besar menjadi cita
Dirawat, dididik menjadi jiwa
Jiwa-jiwa kebesaran nusantara.

Dewi Andongsari: Garangan dan kucing. Saya mau turun ke telaga. Tolong jaga sebentar Jaka Modo. Menari dan menyanyilah agar tidak menangis.

Garangan dan kucing berisyarat bersedia dengan senang. Mereka cepat bertingkah ngudang si bayi. Akhirnya mereka kelelahan dan istirahat menjahu dari bayi.

Dari kejauhan terdengar suara desis ular. Suasana seperti mengancam. Ular itu langsung mendekat pada bayi dan melilitnya, bukan untuk memakannya, namun bermaksud memeluk dan melindunginya.

Ular: Si bayi ini keturunan dari pasangan yang jauh berbeda, raja dan selir. Lalu menjadi nasib yang seperti yang tidak ditanggung hidup. Bayi ini harus dilindungi sebab dari tubuhnya tercium bau kebesaran cinta tanahnya.

Garangan dan kucing terjaga, kaget melihat ular yang sedang melilit bayi Jaka Modo. Mereka saling melihat. Kucing dan Garangan mau menyerang ular berusaha merebut dari lilitan ular. Ular berusaha bertahan bermaksud menjaga Jaka Tarub dari serangan Garangan dan Kucing. Mereka saling menyerang. Akhirnya tubuh ular berhasil tercakar dan lepaslah lilitannya. Bayi terlempar ular terkapar.

Garangan dan kucing melompat menyelamatkan bayi, namun dihadapannya sudah muncul Dewi Andongsari.
Dewi Andongsari marah sebab menganggap Garangan dan kucing memakannya.

Dewi Andongsari: Ternyata kalian mengikuti betul-betul bermaksud membunuh anakku. Menunggu saat yang tepat melaksanakan tugas Ratu. Garangan dan kucing kalian puas telah memakan Jaka Modo. Sekerang mendekatlah dan terkamlah tubuhku. Bila tidak, kepala kalian akan pecah dengan kayu ini. (Bergerak dengan kayu di tangan. Menjerit seperti kesurupan) Ayo terkamlah tubuhku, makanlah seperti engkau memakan anakku Jaka Modo!

Garangan dan kucing sangat ketakutan, mereka mundur pelan-pelan dan akhirnya pukulan kayu itu berkali-kali menampar kepalanya. Garangan dan Kucing akhirnya tekapar mati.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tangisan bayi. Dewi Andongsari mendengarnya. Cepat ia berlarian mencarinya. Dewi Andongsari kaget kala menemukan tubuh anaknya yang bergerak utuh. Ia melihat disampingnya ada seekor ular yang besar yang tergeletak. Dewi Andongsari menyesal, Cakar, mulut dan tubuh Garangan dan kucing yang berlumuran darah itu bukan darah bayinya, tapi darah ular. Dewi Andongsari menangis menyesal.

Dewi Andongsari: (berjalan kesana kemari dengan sedih)
Tiada kekuatan yang buat untuk lawan
Duh Gusti, di atas kahyangan
Tolong, tolong, Sang Maha Penyayang.

Adegan 7
Musik dan tarian gembira dengan suasana anak-anak bermain. Muncul Jaka Modo telah menjadi bocah yang besar. Ia mengembala kerbau.

Adegan 8
Saat Jaka Modo mengembala, ia berunlangkali melihat pertarungan dan peperangan di lereng yang nampak dari atas bukit.

Adegan 9
Dari beberapa peristiwa perang tersebut Jaka Modo bercita-cita mendamaikannya.
Jaka Modo menjadi pemuda besar. Akhirnya ia menjadi Pati Majapahit dan mengucapkan Sumpah Palapa.

Sira Gajah Mada Pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa
Sira Gajah Mada lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa
Lamun kalah ring gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.

Panggung menjadi tarian para prajurit yang gagah menyatukan nusantara.

Lamongan, Jawa Timur, 13 Juli 2017.
_____________________________
*) Rodli TL, seorang dramawan Jawa Timur yang telah menulis puluhan naskah drama sekaligus menyutradarainya. Ia lahir di Lamongan pada tanggal 17 Juni 1976. Sejak lulus dari Teater Tiang di Universitas Jember tahun 2004, ia mendirikan sanggar anak Sang_BALA, Kelompok Belajar Bermain Drama yang sampai sekarang memiliki ratusan anak asuh yang terus-menerus berlatih di sanggar yang berdiri kokoh, serta memiliki tempat pertunjukan permanen di kampung halamannya, Candi Tunggal, Kalitengah, Lamongan. Ia juga dosen CCU, Creative Writing, Sastra dan Film di Universitas Islam Darul Ulum Lamongan. Di tahun 2008, mendapatkan penghargaan dari Mendiknas sebagai pengajar kreatif di bidang seni pertunjukan anak pada Festival Seni Internasional. Tahun 2010, karyanya kembali menjadi yang terbaik di Festival Seni Internasional tersebut. Puluhan naskah drama yang telah ditulisnya; ‘Mulut’ 2000, ‘Tarian Tanah’ produksi 2001, ‘Eksekusi Suatu Hari Kemudian’ 2002, ‘Ketinggalan Kereta’ 2003, ‘Adam Hawa,’ produksi 2004, ‘Si Lita’ 2004, ‘Ubah Bintang’ 2005, ‘Kibar Bendera Sarto’ 2006. Novel ‘Dazedlove’ diterbitkan Pustaka Ilalang 2005, ‘Hah’ 2007, ‘Kapak Berhala’ diterbitkan PUstaka puJAngga 2008, ‘Mimpi Buruk Penari’ 2007, ‘Bunglon dan Kupu-Kupu’ 2005, ‘Past Game’ Festival Seni Internasional 2008 PPPPTK Seni Budaya Yogyakarta, ‘Ibu Bumi,’ diproduksi Teater Nafas Kata 2009, ‘Kesetiaan Sang Istri,’ produksi Teater Roda dan DISBUDPAR JATIM 2009, ‘Perempuan Bunga Kamboja’ 2009, ‘Roh Jahat’ 2009, ‘Membunuh Hayalan’ produksi Teater Kotak Hitam 2010, ‘Dewi Sri’ karya pertunjukan terbaik Festival Seni Internasional PPPPTK Seni Budaya Jogjakarta 2010, ‘Wasiat Gelap’ 2010, ‘Anoman Kecil’ 2012, ‘Manusia Kardus’ 2012, ‘Orang Asing’ 2012, ‘Kadet Suwoko,’ Sutradara Terbaik Lomba Teater Bulan Bahasa UM 2011, ‘Prahara Amitunon’ 2013, ‘Kupatan,’ pertunjukan terbaik II Drakolah Jawa Timur 2014, ‘Nyanggring’ 2013, Novel Pertunjukan ‘Anak Kalap’ 2013, ‘Raja Kasa’ 2013, ‘Klebon Grasak’ 2014, ‘Situ Bagendit’ 2014, ‘Ada Yang Menangis Sepanjang Hari’ 2014, ‘Dhaeng Sekara’ 2014, ‘Iblis Menangis’ 2014. Puluhan naskah drama tersebut telah menjadi bagian penting perkembangan dunia teater di Lamongan sampai ke panggung Internasioanal.

Leave a Reply

Bahasa »