IQRA’ JASSIN

Mutimmatun Nadhifah *

Untuk membuktikan tidak ada terjemahan yang radikal dalam Bacaan Mulia sebagaimana dulu pernah dituliskan Peter G. Riddell dan beberapa intelektual lain, kita bisa membuktikan dari terjemahan wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad: iqra’. Jassin menerjemahkan ayat pertama surat al-‘Alaq dengan tetap menggunakan frasa yang biasa digunakan oleh kebanyakan ahli tafsir dan penerjemah Alquran di Indonesia. Terjemah iqra’ yang dipertahankan dari masa ke masa semakin menyulitkan sebagian orang untuk mengerti kesejarahan juga makna mutakhir. Dari terjemah ke terjemah, dari generasi ke generasi, bahasa “bacalah” lebih diterima yang bisa kita duga sebagai bentuk kemudahan dalam penyebaran makna saja. Sejak kecil, terjemah ini diajar-hafalkan oleh Muslim di pengajian dan murid di sekolah. Bahkan, pernah dijadikan pertanyaan oleh guru saat murid duduk rapi jelang jam pulang. Murid yang berhasil menjawab cepat dan tepat, boleh pulang duluan. Akhirnya, sampai kita dewasa pun kelumrahan makna itu sulit memberi jejak maksud yang ingin dicapai dari makna iqra’.

Saat setiap terjemahan adalah tafsir, tentu pemilihan kata dalam bahasa terjemahan menjadi pertimbangan yang serius. Jassin pun pernah mengakui, penerjemahan tak bisa dilepaskan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memungkinkan ada penyelarasan kata yang diambil dengan situasi yang berlangsung di Indonesia. Tapi penggunaan bahasa yang sama seperti dalam kasus iqra’ seolah menjelaskan penerjemahan tak lebih dari pengalihan satu bahasa ke bahasa yang lain tanpa pertimbangan politik bahasa yang ketat.

Penerjemahan yang sama juga dijumpai dalam tafsir Alquran oleh M. Quraish Shihab. Biasanya protes semacam ini akan ditanggapi dengan anjuran untuk membaca beberapa buku lain yang ditulisnya. Ada anggapan yang mengarah kita melakukan pembacaan tekstual. Padahal, yang kita persoalkan adalah politik bahasa yang termuat dalam terjemah. Jika memang ada kesadaran bahwa terjemah bisa membuat orang salah arti atas maksud yang disampaikan oleh penerjemah maka kerja menerjemahkan perlu diseriusi daripada mengajukan perintah untuk membaca tafsir dengan seribu rujukan!

Jassin memang berhasil dalam “mewajahkan” Alquran ke bentuk puisi tapi ketidakberanian Jassin untuk mengajukan terjemah lain meragukan kita pada pengakuan Ali Audah (1987) saat bercerita keakraban dirinya dengan H.B. Jassin. Dalam tulisan persembahan ulang tahun Jassin yang ke-70, Audah mengakui pertemanan dengan Jassin terjalin lama dan terjadi dalam beberapa organisasi yang diikuti selain keterlibatan di majalah Horison. Audah menyebut organisasi Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) dan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Audah menegaskan: “Selain dalam KKPI, lebih erat lagi saya bekerja sama dengan H.B. Jassin dalam HPI. Di luar dugaan, ia begitu setia kepada organisasi penerjemahan ini. Pada hampir setiap rapat HPI atau kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan oleh HPI, Jassin hadir dan berpartisipasi penuh, di tengah-tengah kesibukan lain yang dihadapinya.”

Ketidakberanian Jassin juga mengingatkan kita pada tulisan Syed Farid Alatas (2017:111) dalam buku Ibn Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi. Berpijak pada keterangan Ibn Khaldun, Farid Alatas menulis: “Menurut skema klasifikasi ilmu (ashnâf al-‘ulûm) Ibn Khaldun, ada dua jenis ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di kota-kota. Jenis pertama, ilmu pengetahuan yang bersifat alami bagi manusia, dan ini dipandu oleh kemampuan berpikir manusia. Ini adalah ilmu-ilmu filsafat (al-‘ulûm al-hikmiyyah al-falsafiyyah). Manusia mencapai ilmu pengetahuan jenis ini melalui kemampuan berpikir. Pertimbangan menyangkut masalah, argumentasi, dan metode muncul dari persepsi manusia. Jenis kedua, ilmu pengetahuan tradisional (al-‘ulûm al-naqliyyah) berasal dari otoritas agama. Ilmu pengetahuan dalam kategori ini bersumber dari otoritas pewahyuan. Meski ada peran kecerdasan manusia dalam ranah ilmu pengetahuan tradisional, tetapi ciri-ciri dasar mereka tidak akan berubah. Ada jenis ketiga yang diangkat oleh Ibnu Khaldun, yaitu ilmu pengetahuan magis (‘ulûm al-sihr wa al-thalismât), yang dilarang oleh hukum agama.”

Kita sudah mengerti biografi intelektual juga sumbangan Jassin dalam kesusastraan dan keislaman di Indonesia tapi berdasar pada kasus terjemah iqra’, kita mengerti dengan mengutip klasifikasi pengetahuan Khaldun ada batasan-batasan keilmuan tradisional yang masih melekat dalam terjemahan Jassin dengan melihat “ciri-ciri dasar” yang tidak berubah. Jassin belum secara heroik menerjemahkan iqra’ dengan bahasa yang lebih menantang seperti bahasa “telitilah”, “risetlah”, “imajinasikanlah” dan beberapa bahasa lain yang memberi peluang pembaca Alquran tidak cukup membaca untuk mencapai pahala tapi juga penafsiran dan pengertian yang mendalam. Iqra’ yang berbasis keaksaraan sebagaimana dilakoni Jassin juga ahli tafsir di Indonesia, bukan sebaliknya iqra’ dengan basis kelisanan.

Quraish Shihab (1997) dalam buku Lentera Hati menulis dua esai berjudul Perintah Membaca dan Dampak Bahan Bacaan. Dua esai menegaskan tidak adanya batasan dari makna yang dicakup dalam kata iqra’. Quraish Shihab juga mengajukan makna lain dari iqra’ selain membaca, ada menelaah, meneliti, menghimpun dengan objek alam raya atau bacaan tercetak seperti koran, majalah juga buku. Keterangan yang diajukan Quraish Shihab adalah makna iqra’ mutakhir yang melibatkan teknologi cetak dan riset ilmiah. Capaian dari makna iqra’ ini sebagaimana penjelasan lanjut dari Quraish Shihab untuk meniscayakan manusia sebagai “makhluk membaca” sebagaimana keniscayaan sebagai “makhluk sosial” dan “makhluk berpikir”.

Jassin telah menjadi pemula dan pionir penerjemahan Alquran puitis di Indonesia meski karyanya belum menjadi terjemahan otoritatif sebagaimana pengakuan dunia terhadap terjemah Alquran dalam bahasa Inggris karya Yusuf Ali. Permulaan Jassin menjadi sindiran keras terhadap ahli Alquran untuk melakukan kerja serupa bahkan mengembangkannya! Kita terus menunggu penyegaran dalam penerjemahan yang memadai untuk mewaikili pesan Allah dalam bahasa Indonesia.

*) Mutimmatun Nadhifah, Esais asal Sumenep.
https://100tahunhbjassin.wordpress.com/2017/07/23/iqra-jassin/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *