Sastra yang Mendefinisikan Indonesia

Eka Kurniawan
JawaPos, 9 Mar 2019

Diskusi panas terjadi mengiringi pernyataan yang ditulis Pamela Allen dan diterbitkan National Center for Writing, Inggris, berjudul ”Where are all the Indonesian writers?”

Esai itu diterbitkan dalam rangka menyambut Indonesia sebagai Market Focus dalam perhelatan London Book Fair yang berlangsung minggu depan. Ia antara lain menulis:

“Bahkan sejak ‘permulaan’ kesusastraan Indonesia modern pada awal abad ke-20, para penulis terlibat dengan proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas Indonesia, sebuah upaya yang berkembang dari gerakan nasionalis. Kesusastraan dipandang tak sekadar produk konsumsi dan hiburan, tapi juga bagian penting dari proyek pembangunan nasional.”

Esai tersebut sebetulnya sudah terbit beberapa waktu di jurnal In Other Words dengan judul berbeda. Selepas memancing polemik dan mengundang beberapa esai bantahan, entah kenapa, National Center for Writing menghapus esai tersebut dari lamannya semula.

Tulisan itu kurang lebih mencoba menjawab kenapa kesusastraan Indonesia tak begitu tampil di dunia. Melanjutkan pernyataan di atas, ia mencoba menjawab, “… apresiasi penuh atas banyak karya sastra Indonesia bergantung pada pemahaman atas konteks sosial-politik”, yang akhirnya, “untuk beberapa pembaca, ‘keliyanan budaya’ ini terlalu menantang, terlalu kompleks, atau memang terlalu sulit.”

Di sinilah saya kira masalahnya muncul. Pertama, adakah yang salah dengan proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas nasional? Hampir sebagian besar kesusastraan negara-bangsa di dunia, langsung tidak langsung, terlibat dalam proyek semacam ini.

Amerika tak hanya dibangun oleh para pemburu emas, tapi juga oleh Huckleberry Finn dan Moby Dick. Bahkan Cien años de soledad tak hanya disebut memberikan imajinasi bagi Kolombia, tapi bahkan bagi Amerika Latin.

Kedua, apakah “keliyanan budaya” membuat sebuah karya jadi sulit dibaca? Tentu saja saya akan sedikit bersusah payah untuk membaca Shakespeare dengan konteks sosial dan bahasa Inggris abad ke-16.

Saya juga harus susah payah membaca novel-novel Hungaria, Ceko, atau Polandia pada masa cengkeraman komunisme, sesuatu yang tak terpikirkan oleh pembaca Indonesia di mana orang-orang komunis justru dibantai habis.

Dengan segala kesusahpayahan tersebut, apakah kedongkolan harus ditujukan kepada Shakespeare, László Krasznahorkai, Bohumil Hrabal, atau Witold Gombrowicz beserta kesusastraan nasional mereka? Saya kira tidak.

Setiap karya sudah pasti memberikan tantangan bagi pembaca. The Tin Drum karya Günter Grass sudap pasti berkaitan erat dengan Jerman di antara dua Perang Dunia. Demikian pula Midnight’s Children Salman Rushdie memiliki keterkaitan dengan sejarah dan nasionalisme India.

Kita tak hanya menghadapi keliyanan budaya, tapi juga kelas, sejarah, agama, termasuk gender. Dalam tingkat tertentu, semua karya bisa menyulitkan bagi sembarang pembaca. Justru di situlah salah satu fungsi kesusastraan, untuk menjembatani dinding-dinding pemisah keliyanan tersebut.

Ketiga, tanpa menampik keberadaan “keliyanan budaya” yang sama, kita juga sebaiknya curiga dengan apa itu proyek penciptaan dan pendefinisian identitas Indonesia ini. Kenapa ia cenderung mengabaikan kesusastraan yang “sekadar” produk konsumsi dan hiburan? Lihat, misalnya, bagaimana periodisasi kesusastraan Indonesia secara umum sejalan dengan lini masa peristiwa sosial-politik besar.

Banyak hal menarik dalam esai Pamela Allen. Satu hal yang menjadi perdebatan panas adalah kenapa pertanyaan mengenai kesusastraan Indonesia itu justru dijawab pengamat luar -meski ia telah sangat lama mempelajari dan menerjemahkan karya sastra Indonesia.

Saya tak akan masuk ke pembicaraan tersebut, yang telah banyak diperbincangkan para penulis dengan baik, dan akan kembali ke masalah proyek menciptakan dan mendefinisikan identitas Indonesia.

Telaah-telaah semacam Novel Populer Indonesia karya Jacob Sumardjo, misalnya, seberapa sering memperoleh tempat yang baik? Juga karya-karya yang dibahasnya, di mana tempatnya dalam kesusastraan Indonesia?

Proyek-proyek penerjemahan karya sastra, sebagaimana mengiringi perhelatan semacam Frankfurt dan London Book Fair, lebih sering meng-kelas-dua-kan mereka.

Tentu banyak masalah di luar sana. Dalam konteks kesusastraan global, rezim dan selera penerbit-penerbit asing yang bisa jadi sangat “Barat” merupakan satu masalah. Dominasi bahasa Inggris adalah masalah lain. Mentalitas kolonialisme sebagai struktur dunia, yang pengaruhnya tetap kuat hampir seabad setelah Perang Dunia II, juga menjadi catatan.

Namun, jejaring-jejaring di dalam kesusastraan Indonesia sendiri, saya rasa, perlu memperoleh sorotan. Jejaring seperti Lontar Foundation jelas memberikan banyak pengaruh kuat terhadap ilusi mengenai identitas Indonesia dalam karya sastra ini. Tentu beserta akibatnya: pengabaian terhadap kecenderungan-kecenderungan kesusastraan yang lain.

Pengaruh itu bisa jadi karena posisi mereka dalam distribusi karya sastra maupun kekuatan kapital yang mampu menggerakkan aktivitas mereka secara berkesinambungan. Lontar, sebagai salah satu contoh, memperoleh momentum yang penting di antara pergelaran Frankfurt dan London Book Fair, di mana karya-karya sastra Indonesia dalam terjemahan menjadi produk yang dipamerkan.

John McGlynn, editor penerbit Lontar, dalam wawancara dengan The Jakarta Post pada 2017 mengatakan, “Penerbit (asing) tak mencarimu, mereka mencari Indonesia.”

Jika dia percaya dengan apa yang dikatakannya, lantas seperti apa “Indonesia” yang dia maksud? Bukankah dia tak perlu mencari genius-genius kesusastraan? Dia hanya perlu mencari para penulis yang cocok dengan bayangannya tentang Indonesia –dan tepat di titik seperti inilah salah satu masalah kesusastraan Indonesia berawal. (*)

https://www.jawapos.com/opini/09/03/2019/sastra-yang-mendefinisikan-indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *