MERDEKA BERBAHASA DAN BERSASTRA UNTUK MERDEKA BELAJAR

Djoko Saryono *

Salah satu persoalan mendasar kebudayaan dan pendidikan kita ialah terbatasnya daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi bangsa kita sehingga kreativitas dan inovasi bangsa masih jauh dari harapan dan kalah dibandingkan dengan berbagai bangsa lain, padahal masa depan bangsa kita sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi. Di samping karena ekosistem dan ruang berpikir, berimajinasi, dan berekspresi yang masih terbatas dan belum kondusif, hal tersebut disebabkan oleh tidak atau kurang merdekanya bangsa kita dalam berpikir, berimajinasi, dan berekspresi.

Ekosistem dan ruang simbolis, sosial, dan material yang ada sering tidak mendukung atau malah membatasi kemauan, kegemaran, dan kebiasaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi bangsa kita secara maksimal. Demikian juga ketakbebasan, ketakberanian (ketakutan), kemalasan, dan ketakmandirian berpikir, berimajinasi, dan berekspresi mengakibatkan ketakmerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi, yang selanjutnya hal tersebut dapat menimbulkan “kemiskinan” daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi bangsa. Di sinilah diperlukan kebijakan dan program pemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi.

Merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu selalu menggunakan sekaligus berada di dalam sistem simbol mengingat manusia makhluk simbolis (homo symbolicum/animal symbolicum) di samping di tengah konteks sistem sosial (masyarakat dan komunitas, misalnya) dan sistem material (teknologi dan ekonomi, misalnya). Artinya, manusia atau orang (termasuk bangsa Indonesia) tak mungkin (mustahil) dapat berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di luar sistem simbol.

Bahasa dan sastra merupakan salah satu sistem simbolis terpenting yang dimiliki oleh manusia atau bangsa Indonesia sehingga merdeka tidaknya manusia atau bangsa Indonesia berpikir, berimajinasi, dan berekspresi (secara) selalu menggunakan sekaligus berada di dalam sistem bahasa dan sastra. Di sinilah bahasa dan sastra terutama bahasa dan sastra Indonesia menjadi palang pintu kebebasan, keberanian, dan kemandirian berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu.

Implikasi pokoknya ada dua. Pertama, penguatan merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi harus dilandasi dan didukung oleh sistem bahasa dan sastra yang memungkinkan adanya kebebasan, keberanian, dan kemandirian pemakai bahasa dan sastra. Kedua, politik bahasa dan sastra Indonesia harus selaras dan diselaraskan, bahkan diarahkan pada terwujudnya merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di dalam ekosistem dan ruang simbolis, sosial, dan material tertentu.

Untuk itu, haluan, desain, dan format politik bahasa dan sastra (di) Indonesia yang diperlukan sekarang dan masa depan adalah politik bahasa dan sastra yang mampu menjadi integrator sekaligus instrumen kemerdekaan (baca: kebebasan, keberanian, dan kemandirian, bahkan keotentikan) berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu. Pemerintah yang memiliki lembaga [ter]-penting bidang kebahasaan dan kesastraan (di) Indonesia harus memastikan politik bahasa dan sastra berjalan dan bekerja di atas rel perwujudan kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan bereskpresi. Konkretnya, kebijakan, program, dan kegiatan kebahasaan dan kesastraan perlu difokuskan dan ditujukan demi terwujudnya merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi di dalam suatu eksosistem dan ruang kehidupan.

Berkenaan dengan itu, semua program dan kegiatan pelindungan, pengembangan, dan pembinaan, bahkan pemanfaatan bahasa dan sastra (di) Indonesia diabdikan bagi terciptanya kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi manusia atau bangsa Indonesia di dalam ekosistem dan ruang kehidupan yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan. Guna mendukung hal tersebut, perlu diperkuat tata kelola bahasa dan sastra yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan di tengah lanskap kebangsaan dan keindonesiaan. Di samping itu, perlu diperkuat infrastruktur (i) linguistis dan literer-estetis, (ii) intelektual dan kultural, (iii) institusional, dan (d) fisikal (antara lain teknologi dan tempat).

Bahasa dan sastra sebagai sistem simbolis yang mampu menjadi pengintegrasi sekaligus instrumen berkembang dan menguatnya daya pikir, daya imajinasi, dan daya ekspresi manusia atau bangsa Indonesia tersebut dapat menjadi prakondisi merdeka belajar. Mengapa? Merdeka belajar – dalam arti kebebasan, keberanian, kemandirian, ketangguhan, dan keontentikan belajar – niscaya sulit, malah mustahil terealisasi bila tanpa landasan merdeka berpikir, berimajinasi, dan berekspresi secara kritis, kreatif, dan inovatif. Lebih lanjut, kemerdekaan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi hanya dimungkinkan oleh sistem simbolis bahasa dan sastra (di) Indonesia yang terbuka, inklusif, dan kaya.

Itu semua menunjukkan, prakondisi keberhasilan merdeka belajar adalah tersedianya sistem bahasa dan sastra yang bisa menjadi instrumen sekaligus pengintegrasi kebebasan, keberanian, kemandirian, dan ketangguhan berpikir, berimajinasi, dan berekspresi tentang sesuatu. Haluan, desain, format, dan tata kelola politik bahasa dan sastra Indonesia harus ditujukan untuk mencapai hal tersebut. Inilah kerja kita ke depan di bidang kebahasaan dan kesastraan.
***

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *