Ibu-ibu menangis
Di Syria, Syria yang lain
Sepasang bom
Meledak pagi itu
Atau di pagi-pagi yang lain
Batu apung, ampas nanas,
Perahu mengambang di laut,
Seakan coretan pada pasir.
Di pantai yang lain
Anak-anak menangis
Dan menyebut Ahriman
Sebagai harapan
Atau napas yang dingin.
‘Dunia jelas bukan rumus
Fibonacci, tapi jangan pula
Bertanya kapan kami akan mati.’
Tiga paku baja, tiga kawat
Berkarat, semacam rompi tua,
Dan sepasang bom di tengahnya.
AYAT PERDAMAIAN
Mereka menyatakan
Hidup adalah perdamaian
Dan kembali menjatuhkan bom,
Menembaki kepala balita
Atau ibu tua, sebelum
Menyusun sebuah rencana
‘Tak ada yang abadi
Bahkan untuk setiap surga
Di muka bumi, tak ada yang abadi.’
Mereka menyatakan
Hidup adalah keadilan, bahkan
Ketika kau dicekik mereka,
Tujuh anak kecil itu masih tertawa
Dan mengirimkan salam perdamaian
Di dasar neraka, yang muram
Dan sia-sia, Iblis mengirimkan ayat
Terakhirnya: ‘Semua adalah senjata!’
SEBELUM KAMP ZAATARI
Tiga belas jam dari sini
Kau akan melihat matahari
Dunia akan menyambut kita
Dengan terang cahaya
Di kamp pengungsi, kebenaran
Seakan roti, meski tanpa bumbu,
Kau akan lekas menyimpannya
‘Di sana tak ada mortir,
Tak ada bekas tembakan, Abi?’
Itu hanya kamp pengungsi, Amer,
Setiap anak akan melagukan barzanji
Di kamp pengungsi, keadilan
Adalah kata kerja, kemiskinan
Hanya lambung tanpa kurma, bisakah
Kau mengerti, Bana, tiga belas jam
Dari sini, kau tak akan melihatku lagi?
BAGI AMER ALMAOHIBANY, SYRIA
Balon-balon ini
Tidak akan hilang,
Kecuali kita siap melepasnya
Namun, selalu kau jaga balonmu
Dan terus bermain dengannya
Di antara puing rumah
Kau berlari di sana, di luar
Jam sekolah, dan sia-sia
Balon-balon ini
Tidak akan terbang,
Meski mereka berisi udara
Di sini kita akan melupakan
Semua, dan menyumpal perut kita
Dengan tawa, ketika pulang
Akan kau temui sepasang mayat,
Itulah ibu-bapak kita
‘Sekarang, kau siap melepas
Balon-balon itu, Kakak?’
Mungkin ya, mungkin juga tidak,
Mereka milik orang tua kita,
Mereka telah dirampas
Dari tangan Tuhan yang perkasa
LELAKI TUA DARI ALEPPO
Kau mendengarkan musik
Dan memandang reruntuhan
Di depan matamu, kamar itu
Seakan parade kebencian
Atau jazirah yang dikutuk malam
Dan kau terus menafsirnya
Sebagai asap pipa—atau aubade
Dari tanah yang dijanjikan—
Seakan doa atau hadrah Arab lama
Kamarmu, kamar dari masa lalu,
Atau hanya penjara terbakar,
Ketika satu gramofon terus bertahan
Di balik ingar, ‘Tiga puluh mobil antik
Yang dirampok dan dihancurkan,
Sekarang bertahan di dalam mimpimu.’
Tua adalah sebuah himne
Ketika tak ada lagi orang mendengarkan
April 2018
Catatan:
Lima puisi ini sudah dicetak dan diterbitkan di dalam buku puisi “Perawi Rempah”, Penerbit Lampung Literature, Juni 2018, karya Ahmad Yulden Erwin.