Lima Puisi Ahmad Yulden Erwin tentang Syria


DI SYIRIA YANG LAIN

Ibu-ibu menangis
Di Syria, Syria yang lain

Sepasang bom
Meledak pagi itu
Atau di pagi-pagi yang lain

Batu apung, ampas nanas,
Perahu mengambang di laut,
Seakan coretan pada pasir.

Di pantai yang lain
Anak-anak menangis
Dan menyebut Ahriman

Sebagai harapan
Atau napas yang dingin.

‘Dunia jelas bukan rumus
Fibonacci, tapi jangan pula
Bertanya kapan kami akan mati.’

Tiga paku baja, tiga kawat
Berkarat, semacam rompi tua,
Dan sepasang bom di tengahnya.

AYAT PERDAMAIAN

Mereka menyatakan
Hidup adalah perdamaian

Dan kembali menjatuhkan bom,
Menembaki kepala balita
Atau ibu tua, sebelum
Menyusun sebuah rencana

‘Tak ada yang abadi
Bahkan untuk setiap surga
Di muka bumi, tak ada yang abadi.’

Mereka menyatakan
Hidup adalah keadilan, bahkan
Ketika kau dicekik mereka,
Tujuh anak kecil itu masih tertawa
Dan mengirimkan salam perdamaian

Di dasar neraka, yang muram
Dan sia-sia, Iblis mengirimkan ayat
Terakhirnya: ‘Semua adalah senjata!’

SEBELUM KAMP ZAATARI

Tiga belas jam dari sini
Kau akan melihat matahari

Dunia akan menyambut kita
Dengan terang cahaya

Di kamp pengungsi, kebenaran
Seakan roti, meski tanpa bumbu,
Kau akan lekas menyimpannya

‘Di sana tak ada mortir,
Tak ada bekas tembakan, Abi?’

Itu hanya kamp pengungsi, Amer,
Setiap anak akan melagukan barzanji

Di kamp pengungsi, keadilan
Adalah kata kerja, kemiskinan
Hanya lambung tanpa kurma, bisakah

Kau mengerti, Bana, tiga belas jam
Dari sini, kau tak akan melihatku lagi?

BAGI AMER ALMAOHIBANY, SYRIA

Balon-balon ini
Tidak akan hilang,
Kecuali kita siap melepasnya

Namun, selalu kau jaga balonmu
Dan terus bermain dengannya

Di antara puing rumah
Kau berlari di sana, di luar
Jam sekolah, dan sia-sia

Balon-balon ini
Tidak akan terbang,
Meski mereka berisi udara

Di sini kita akan melupakan
Semua, dan menyumpal perut kita
Dengan tawa, ketika pulang

Akan kau temui sepasang mayat,
Itulah ibu-bapak kita

‘Sekarang, kau siap melepas
Balon-balon itu, Kakak?’

Mungkin ya, mungkin juga tidak,
Mereka milik orang tua kita,
Mereka telah dirampas
Dari tangan Tuhan yang perkasa

LELAKI TUA DARI ALEPPO

Kau mendengarkan musik
Dan memandang reruntuhan
Di depan matamu, kamar itu

Seakan parade kebencian
Atau jazirah yang dikutuk malam
Dan kau terus menafsirnya

Sebagai asap pipa—atau aubade
Dari tanah yang dijanjikan—
Seakan doa atau hadrah Arab lama

Kamarmu, kamar dari masa lalu,
Atau hanya penjara terbakar,
Ketika satu gramofon terus bertahan

Di balik ingar, ‘Tiga puluh mobil antik
Yang dirampok dan dihancurkan,
Sekarang bertahan di dalam mimpimu.’

Tua adalah sebuah himne
Ketika tak ada lagi orang mendengarkan

April 2018

Catatan:
Lima puisi ini sudah dicetak dan diterbitkan di dalam buku puisi “Perawi Rempah”, Penerbit Lampung Literature, Juni 2018, karya Ahmad Yulden Erwin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *