DIBAWAH BENDERA REVOLUSI: TEKS YANG TERUS DITAFSIRKAN


Djoko Saryono *

Teks (tulisan) adalah tenunan kisah dan berita-pikiran yang dijaga akal. Ia otonom dan mandiri. Tak bergantung pada penulisnya, apalagi orang lain: pembaca ataupun orang ahli. Beda dengan omongan yang hidup dalam dunia kegaduhan banyak orang, teks lebih memilih hidup dalam dunia kesenyapan dan keheningan.

Justru di situlah teks terus hidup berbiak, melintasi waktu dan zaman. Seolah memiliki kaki, ia bergerak dan berderap hingga jauh sekali, menyapa sekian banyak subjek pembaca sekaligus penafsir. Tak heran, orang-orang besar selalu berusaha menciptakan teks sekaligus meninggalkan teks.

Plato, Aristoteles, Descartes, Renan, Walmiki, dan Al-Ghazali adalah contoh orang-orang besar masa lampau yang berhasil menciptakan teks cemerlang dan gemilang yang tetap dicari, dibaca, dan ditafsir banyak orang pada masa kini. Sjahrir, Hatta, dan Soekarno adalah tritunggal pendiri bangsa yang juga gigih menenun pikiran mereka ke dalam teks yang kokoh dan kukuh. Teks-teks ciptaan mereka juga elok-memukau sehingga banyak dicari, dibaca, dan ditafsir banyak orang. Agaknya, setiap teks yang elok, cemerlang, dan gemilang akan selalu dibaca dan ditafsir banyak orang dari pelbagai lintasan zaman berbeda.

Semua itu juga telah dibuktikan oleh teks Dibawah Bendera Revolusi karya Soekarno, pendiri bangsa dan proklamator negara kita. Teks itu benar-benar sebuah kisah dan berita pikiran pendiri bangsa kita yang sangat kukuh, kokoh, elok, dan gemilang sebab otonom dan mandiri; ia bukan sekadar pulungan atau comotan gagasan atau pikiran karena penulisnya pemikir, bukan pemulung pikiran orang lain; ia juga bukan sekadar jahitan pikiran orang lain karena penulisnya seorang produsen gagasan, bukan pialang gagasan.

Wajarlah, teks itu mampu bergerak dan berderap melintasi masa-masa yang memihaknya dan menentangnya; menyapa sekian banyak generasi bangsa yang berhasrat mengetahui kisah dan berita-pikiran di dalamnya, tapi juga mengusik sekian banyak anak bangsa yang justru hendak membungkam, bahkan memberangusnya. Ini semua lantaran horison harapan tiap pembaca teks berbeda-beda. Tak ayal, dalam sepanjang keberadaannya hingga sekarang, teks Dibawah Bendera Revolusi dicoba dikagumi sekaligus dibenci; diawetkan sekaligus dicoba dipunahkan (atau dilupakan; dan direproduksi sekaligus dimarginalisasi.

Tapi, kita tahu, teks adalah dunia keberaksaraan, yang tak gampang dilupakan (seperti halnya omongan), juga tak gampang dihilangkan atau dipunahkan, sekaligus tempat yang amat mudah dikunjungi oleh penggemarnya. Telah terbukti juga, dunia keberaksaraan menjadi tempat bertiwikrama teks. Dengan gamblang sekarang kita melihat teks Dibawah Bendera Revolusi bertiwikrama: muncul kembali di ruang-ruang publik dengan jumlah beribu-ribu. Ini membuktikan ia benar-benar awet.

Kenapa awet? Suatu teks awet lantaran keterbukaan teks itu. Ketertutupan suatu teks hanya mengakibatkan kematian teks. Kita tahu, Dibawah Bendera Revokusi adalah sebuah teks terbuka, bukan tertutup. Sebagai teks terbuka, ia bebas dibaca dan ditafsirkan, bahkan minta terus-menerus untuk ditafsirkan apapun rupa tafsirnya: menyanjung atau menghujatnya. Hingga sekarang, bisa jadi, sudah ada ribuan tafsir tentang teks Dibawah Bendera Revolusi. Hadirnya kembali teks tersebut dalam bentuk cetak ulang tentulah akan menambah tafsir-tafsir baru. Ini berarti lahirnya teks-teks tanggapan baru yang beraneka ragam bentuk dan isinya.

Teks-teks tanggapan ini bisa menjadi energi baru bagi teks Dibawah Bendera Revolusi. Begitulah, teks Dibawah Bendera Revolusi senantiasa berada dalam permainan tafsir yang begitu hidup-penuh-gairah dan menjadi titik-pusat lingkaran teks tanggapan terhadapnya. Adanya permainan tafsir dan teks-teks tanggapan terhadap teks Dibawah Bendera Revolusi menandakan bahwa teks tersebut terus hidup, bertenaga, dan berdaya juga punya kuasa.

Kenapa teks Dibawah Bendera Revolusi mampu bertahan dalam permainan tafsir yang terus-menerus dan malah melahirkan teks-teks tanggapan demikian banyak? Sebab ia teks yang menyegarkan, menggugah, memberdayakan, dan bahkan mentransformasikan diri pembaca. Itu terjadi karena ia teks Dibawah Bendera Revolusi itu menampilkan kisah dan berita-pikiran yang memikat-memukau pembaca sekaligus memenuhi hajat batin dan pikiran pembaca. Kisah dan berita pikiran apakah yang ditampilkannya? Kita bisa menyebutkannya berbeda-beda, bergantung pada penerimaan dan horison harapan kita.

Namun, yang jelas, kisah dan berita-pikiran yang ditampilkannya penuh gelora, gemuruh, dan impian yang kuat-dahsyat yang menyorongkan kita ke sebuah geografi imajinatif sekaligus geografi real bernama Indonesia. Di samping itu, ia juga teks yang ditenun dengan indah dan halus sekaligus penuh-kuasa oleh pembuatnya: tenunan kata-kata, kalimat-kalimat, dan gaya-gaya tutur yang hidup-bertenaga dan membimbing pembaca untuk berdiam berlama-lama dalam teks.

Kuasa kata-kata, kalimat-kalimat, dan gaya-gaya tutur yang ada di dalam teks Dibawah Bendera Revolusi demikian otentiknya, orisinalnya, ekspresifnya, dan inspiratifnya sehingga mampu menggiring atau menggerakkan orang untuk bertindak baik menyetujuinya ataupun menolaknya. Demikianlah, teks Dibawah Bendera Revolusi yang terus awet-hidup dan ditafsirkan oleh pembacanya. Ia tetap senantiasa menggoda pembacanya setelah sekian lama penulisnya berpulang ke alam baka.
***

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa ยป