Dawuk, sebuah novel peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Novel epik karya Mahfud Ikhwan, pria kelahiran Lembor, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Cover terlihat ikonik dengan gambar ular dan kalajengking yang ditutup dengan block hitam, lalu terdapat tulisan “dawuk” di atasnya. Tulisan “dawuk” tersebut kalau dilihat lebih jeli ternyata terdapat pola seperti batik pada huruf-hurufnya. Desain cover dengan background kuning terkesan sederhana tapi bagus.
Kata/judul “Dawuk” diambil dari julukan si tokoh utama dalam cerita. Plesetan dari nama Muhammad “Dawud”. Dawuk juga bisa diartikan warna kusam, yang dalam bahasa Indonesia, warna yang bisa dibilang paling menyerupainya adalah abu-abu. Warna dawuk ini penyebutan pada warna kambing, tentunya jenis kambing yang kusam. Tentang kambing berwarna dawuk ini pernah disinggung Mahfud Ikhwan dalam novel sebelumnya, yaitu “Kambing dan Hujan.”
Sedangkan ilustrasi ular dan kalajengking diambil dari cerita pada novel ini. Di mana istri Mat Dawuk -si tokoh utama- diperkosa oleh dua orang, yaitu seorang pegawai perhutani, dan seorang blandong kayu. Ketika hendak ke hutan mencari buah kecacil untuk istrinya yang ngidam, Mat Dawuk bertemu dua orang itu, dan bercakap-cakap sejenak. Setelahnya, Mat Dawuk tetap meneruskan perjalanan ke hutan. Dua orang tadi menaiki motor, dan melaju ke gubuk (rumah) Mat Dawuk untuk memperkosa istrinya. Sementara di hutan, Mat Dawuk mendapat firasat ketika ia digigit ular, dan disengat kalajengking. Seketika ia berlari ke rumah, bahkan bisa dibilang terbang. Namun ketika sudah sampai rumah, ia menemukan istrinya tergeletak dengan banyak darah. Kedua pemerkosa tadi ketakutan lalu salah seorang mengambil kapak, dipakai memukul Mat Dawuk, tapi ternyata mengenai temannya sendiri. Darah muncrat, dan ia melarikan diri. Mat Dawuk membawa istrinya ke puskesmas dengan berlari kencang, dan bisa dikatakan benar-benar terbang. Nyawa istrinya tak tertolong, malah ia dituduh membunuh si pemerkosa istrinya -pegawai perhutani. Mat Dawuk diamuk massa sampai tubuhnya remuk, dan gepeng sepertu kertas. Absurd.
Di sini Mahfud Ikhwan terlihat sudah sekelas Andrea Hirata. Bahkan gaya berceritanya, kearifan lokalnya mengingatkan pada gaya Andrea dengan kearifan minangnya. Hanya saja Mahfud Ikhwan lagi-lagi memakai latar tempat pesisir utara Lamongan, di sebuah desa di kecamatan Brondong. Di desa bernama Rumbuk Randu, yang pada cerita ini ternyata adalah tetangga desa Tegal Centong -latar novel Kambing dan Hujan. Bagi saya pribadi, lebih suka kisah novel Dawuk daripada Kambing dan Hujan.
Gaya berceritanya begitu kuat. Untuk menggambarkan nama tokoh saja ada cerita-cerita di baliknya. Jadi nama-nama tokoh bukan sesuatu yang dipilih secara serampangan. Itulah sebabnya nama tokoh dalam novel ini begitu melekat di ingatan. Sebut saja Warto Kemplung, si pencerita kisah Mat Dawuk. Adalah seseorang yang suka bercerita, dan cerita-ceritanya bisa kita anggap kibul saja. Seperti kisah Dawuk yang sebenarnya kibulan dari Warto Kemplung tersebut. Makanya namanya Warto (warta/memberitakan) Kemplung (kibul). Inilah menariknya, berhubung kisah ini cuma kibulan dari Warto Kemplung, jadi kita banyak menemui cerita-cerita absurd, mistis, lucu sekaligus menjengkelkan. Seperti ketika Mat Dawuk bisa terbang, tubuhnya gepeng seperti kertas, tapi beberapa hari berangsur kembali seperti semula, dan juga tokoh Mat Dawuk yang sebenarnya -di akhir novel disebutkan- menaiki motor RX King berjaket kulit. Imajinasi kita dibuat melayang-layang oleh Warto Kemplung sialan itu.
Penggambaran asal-usul tokoh dan penyebab-penyebab konflik bisa diterima sekalipun novel ini absurd. Meski cerita itu kibul, tapi pembaca pasti sekali waktu pernah juga tertipu oleh ucapan kibul bukan? Karena penggambarannya begitu natural.
Hanya saja pada novel-novel Mahfud Ikhwan termasuk Dawuk ini, ada penulisan yang tak biasa. Yaitu penggunaan penjelasan peristiwa di dalam kurung. Hal ini biasa ditemukan di buku nonfiksi, tapi pada novel sangat jarang terjadi. Mahfud Ikhwan sendiri mengungkapkan kalau ia tak suka novel dengan catatan kaki, sehingga menggunakan tanda kurung. Para penulis lain ada yang menggambarkan penjelasan peristiwa atau hal tersebut lewat narasi pada cerita dan sebagainya. Tapi Mahfud Ikhwan memilih menggunakan tanda kurung, dan mengambil jarak dari cerita (seperti pendapat pribadi seorang dalang ketika menceritakan sebuah lakon). Selain itu, novel “Dawuk” dan “Kambing dan Hujan” banyak ditemukan tanda elipsis. Bisa jadi, penggunaan tanda kurung dan tanda elipsis ke depan akan menjadi ciri khas si pengarang.
***
Novel Dawuk ini mengingatkan buah kecacil yang pernah saya incipi sekali, sewaktu SMP, dan hanya sekali itu saja. Sampai bertahun-tahun ingin mencicipi buah itu lagi, tapi tak pernah kesampaian.
___________________________
*) Ahmad Farid Yahya, lahir di Desa Kebalankulon, Sekaran, Lamongan (LA) 9 Agustus 1996. Riwayat pendidikannya, MI Ma’arif NU Kebalankulon, SMP Negeri 3 Babat, MAN 2 LA, melanjutkan kuliah di UNISDA LA jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (angkatan 2016). Penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) tahun 2018/2019, dan 2019/2020. Anggota BEM UNISDA periode 2019. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai, dan tulisan lain dimuat di berbagai media; Amanah, Suara KPK, Gelanggang FKIP, Radar Bojonegoro. Di buku antologi; Jejak yang Tertinggal (2017), Manunggaling Kawula Muda (2018), Memoar Purnama di Kampung Halaman (2019), Coretan Tinta Kecil (2019), Apa Kabar Lamongan? (2020). Dan buku tunggalnya; Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020). instagram @ahmad.faridyahya. Blognya sastrakelir.blogspot.com