Dia cuma seorang penyair. Tidak lebih. Bernama Murahwi Satroyu. Namanya aneh. Tubuhnya kurus. Tapi tidak kelaparan. Kedua matanya bulat besar seperti bola golf. Kalau kau memandang kedua matanya, kedua bola mata itu seolah-olah akan melompat dari tempatnya lalu mengenai kepalamu. Kepalanya besar. Rambutnya keriting. Tapi ia menyebut rambutnya “yang berombak bagai ombak”.
Dasar penyair! Pikir Rosa Larasati.
Ia seorang perempuan muda. Dan menurut Murahwi Satroyu, Rosa Larasati tak cantik-cantik amat. Tapi punya wajah yang asik. Kedua matanya bening, teduh, dan menyimpan cerita entah apa. Kedua mata bening yang tak terlupakan. Rambutnya legam. Tebal. Seperti alis matanya yang melengkung tenang pada kulitnya yang putih. Hidungnya mancung. Orang mengira ia keturunan bule. Umurnya masih 21 tahun. Dan tak pernah punya kekasih. Bukan tak ada yang mengutarakan cinta padanya, tapi tak ada seorang pun dari sekian banyak laki-laki yang bisa mengisi atau menaklukkan hatinya.
Tapi penyair Murahwi Satroyu nekat. Ia menyapa Rosa Larasati melalui WA dan inbox. Rosa Larasati tak menanggapinya. Semua laki-laki gombal. Apalagi penyair! Pikir Rosa Larasati. Entah dia tahu dari mana perihal itu.
Kenekatan Murahwi Satroyu tak terbendung. Ia nekat menyatakan cintanya pada Rosa Larasati. Di gedung sekolah tinggi, di pojok sana Rosa Larasati seringkali menyendiri menatap langit. Melahap es krim. Murahwi Satroyu mendekatinya. Dadanya bergetar tatkala sekilas menatap kedua mata Rosa Larasati yang bening, mengerjap indah bagai bintang kejora. Hanya selintas. Tapi sungguh jauh membekas. Sang penyair tak sanggup menatap kedua mata bening itu berlama-lama.
“Mau apa?” Rosa Larasati berkata pada Murahwi Satroyu yang mendekatinya.
“Hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting. Lebih penting dari nyawaku,” jawab Murahwi Satroyu gugup dan ringkuh.
“Kamu itu jangan sering WA dan inbox aku dengan puisi-puisimu! Gak ada kerjaan sih.”
“Maaf.”
“Ada penting apa? Jangan bertele-tele. Aku gak suka laki-laki yang bertele-tele, pakai puisi segala. Emang kamu kira aku suka puisi? Gak! Puisi bikin kepalaku pusing!”
“Rosa Larasati. Kalau boleh aku mengatakan sesuatu.”
“Apa?”
“Aku jatuh cinta padamu.”
“Apa?! Jatuh cinta? Buang cintamu ke tong sampah!”
Rosa Larasati berlalu. Ia berbaur dengan kawan-kawannya. Pojokan gedung sekolah tinggi itu sepi seketika. Tinggal Murahwi Satroyu. Sang penyair yang tertunduk lemas. Cintanya ditolak. Puisi-puisinya tidak berguna. Ia melangkah lemas menuruni satu persatu anak-anak tangga gedung sekolah tinggi itu. Bayangan Rosa Larasati tak mau hilang dari ingatannya. Sang penyair yang bernama Murahwi Satroyu berpikir membuang semua puisinya ke selokan, biar dibawa air banjir, lalu musnah di lautan. Langit hendak runtuh rasanya. Apa lagi yang dimiliki penyair kurus kering bagai tengkorak itu selain kata-kata? Ia terjatuh dalam kisah klise perihal cinta sang penyair yang berabad-abad selalu tertolak, patah hati, menyendiri, dan terkutuk. Atau menanti sampai tua bangka.
Lokomotif tua dalam dadanya, teronggok tak berdaya. Tetapi menyimpan kenangan suatu pertemuan. Puisi-puisi Murahwi Satroyu semakin muram. Ia mengingat Kovalev yang tak berdaya di hadapan perempuan sejak hidungnya hilang secara gaib dalam kisah Nikolai Gogol. Tapi Kovalev tak merasa sakit, sehingga ia tak perlu pergi ke dokter untuk mempertanyakan kenapa hidungnya hilang. Kovalev malah melaporkan hidungnya yang hilang pada polisi. Cerita jahanam! Pikir Murahwi Satroyu.
Dasar penyair tolol! Sudah tahu ditolak, ia terus berusaha kembali mengungkapkan cintanya pada perempuan yang bernama Rosa Larasati. Setelah peristiwa penolakan cinta yang berat dan menggemparkan hati itu, Murahwi Satroyu menghilang. Ia menghilang entah ke mana. Pihak sekolah tempatnya mengajar telah menghubunginya via WA dan inbox, tapi tak ada jawaban. WA dan akun Fb Murahwi Satroyu tidak aktif. Kehilangan Murahwi Satroyu menimbulkan misteri. Rumahnya pun kosong. Ia lenyap. Tak ada yang tahu kecuali Tuhan. Dan Tuhan tidak pernah membocorkan di mana keberadaan Murahwi Satroyu kepada kepala sekolah.
Sebulan kemudian, tepat ketika matahari pagi memancarkan cahaya harapan, Murahwi Satroyu tiba-tiba kembali. Ia mengajar sebagaimana biasa. Pihak sekolah memberinya peringatan. Penyair yang merangkap sebagai guru itu tertunduk menerima peringatan keras dari kepala sekolah. Ia menyadari kesalahannya.
Di pojok gedung sekolah tinggi itu, Murahwi Satroyu pelan-pelan kembali mendekati perempuan idamannya yang bermata bening, yang tengah sendiri melahap es krim, memandang langit.
“Kamu lagi! Mau apa?” Rosa Larasati menampakkan wajah tak suka.
Tapi di hadapan Murahwi Satroyu, wajah itu tetap begitu cantik begitu asik begitu pelik. Ia hanya sekilas menatap kedua mata perempuan pujaan hatinya, kulit pipinya putih bercahaya, dengan alis tebal yang melengkung tenang memesona. Tak berani berlama-lama.
“Rosa. Maafkan,” kata Murahwi Satroyu dengan gugup, menundukkan kepala dalam-dalam, bersikap sopan sebagaimana seorang guru teladan.
“Maukah kau menerima cintaku, menerimaku menjadi kekasihmu? Kupinang kamu dengan puisi-puisiku.”
“Nekat kamu! Aku sudah ada yang punya. Tahu kamu. Gak mungkin aku menerima cintamu, apalagi berdamai dengan puisi-puisimu yang bikin pusing kepala dan mengotori inbox dan WA. Nanti aku blokir semua akunmu!”
Rosa Larasati tahu dirinya telah berbohong. Dia masih sendiri. Belum punya kekasih. Ia hanya tak ingin terus menerus diganggu oleh Murahwi Satroyu, penyair tolol dan nekat itu.
Rosa Larasati berlalu meninggalkan Murahwi Satroyu. Tinggal Murahwi Satroyu sendirian di pojok gedung sekolah tinggi itu. Sepi menyayat hati. Ada tangis yang teriris tipis-tipis. Ia menundukkan kepala. Dalam sekali. Lunglai. Dan hampa. Ia ingin menjadi sungai. Sungai yang dialiri air. Dan air itu adalah Rosa Larasati. Hati siapa yang tak luluh memandang kedua bola matamu yang bening bercahaya, Rosa! Desahnya. Siapa yang tak akan tergelincir jatuh ketika menghirup aroma tabuhmu, dan siapa yang tak akan terjebak pada kulit pipimu yang putih bercahaya. Di dalam mata itu, ada cerita indah entah apa. Murahwi Satroyu kembali menghilang. Kehilangan yang misterius. Ia mengalami dua kali penolakan cinta yang sungguh dahsyat. Sakit dan menyayat. Hatinya patah mendengar perempuan yang dicintainya sudah ada yang punya.
Sebulan kemudian. Penyair yang merangkap guru sekolah menengah itu kembali. Kali ini kepala sekolah tidak bisa memaafkan. Murahwi Satroyu dipecat! Sekarang dia hanya seorang penyair saja. Tidak lagi merangkap sebagai guru sekolah.
Ia kembali ke pojok gedung sekolah tinggi itu. Menemui perempuan pujaan hatinya, Rosa Larasati. Ia kembali menyatakan cinta. Dan Rosa Larasati kembali menolaknya.
Penyair nekat!
Diam-diam Rosa Larasati menantikan kembali kehadiran Murahwi Satroyu di pojok gedung sekolah tinggi itu. Ia menanti Murahwi Satroyu kembali menyatakan cinta padanya, dan ia akan kembali mengusir atau meninggalkannya sebagai bentuk penolakan. Setiap bulan. Sudah hampir sepuluh kali peristiwa itu terus berulang seperti rekaman video yang diulang-ulang. Bagai cerita ganjil Hamsad Rangkuti “Sukri Membawa Pisau Belati”.
Tapi kepergian Murahwi Satroyu kali ini tidak sebulan. Ia menghilang hampir empat bulan. Rosa Larasati bertanya-tanya, kenapa kali ini Murahwi Satroyu tak datang setiap bulan sebagaimana biasa, mengutarakan cinta padanya. Diam-diam Rosa Larasati mengingat wajah Murahwi Satroyu yang tampak tolol itu. Tapi sebenarnya manis dan pendiam. Diam-diam Rosa Larasati mengintip puisi-puisi Murahwi Satroyu yang pernah dikirimkan padanya, dan selalu dikirimkan padanya. Puisi tentang kesepian dan rindu, cinta dan harapan, juga pujaan-pujaan yang begitu dalam begitu agung dan muram. Dan gombal!
Rosa Larasati merasa sepi. Tak terlihat lagi seorang penyair berbaju rapi, memperjuangkan cinta dengan tertatih, dengan gaji seorang guru honorer yang kecil sekali. Ah kenapa ia memikirkan laki-laki yang ditolaknya berkali-kali? Ia mendengar kabar Murahwi Satroyu dipecat dari selokah. Tiba-tiba ada kesedihan membayang di pelupuk matanya yang bening.
Di pojokan gedung sekolah tinggi itu, Rosa Larasati memakan es krim. Tapi tak bersemangat. Hatinya serasa kulkas. Ke mana gerangan penyair tolol yang selalu nekat menyatakan cinta padanya? Ia ingin didatangi lagi, diberi ungkapan cinta lagi, kemudian menolak dengan ketus sekali. Pojokan gedung sekolah tinggi itu sepi. Ia sendiri. Tapi kini ia merasa jauh lebih sendiri. Langit mendung. Dan hujan jatuh. Banjir menghanyutkan sampah ke lautan. Mungkin juga puisi. Sekilas tampak oleh kedua matanya yang bening, lelaki kurus kering kehujanan. Murahwi! Pekiknya pelan. Tak sadar, ia bahagia. Penyair tololnya datang. Rosa Larasati berpura-pura membuang tatapannya jauh ke sana. Ia berpura-pura tak tahu kalau Murahwi Satroyu menghampirinya di pojokan gedung sekolah tinggi itu. Ia tersipu malu. Disembunyikannya senyumnya. Langit hujan. Beberapa lama, tak ada siapa pun yang datang. Hujan semakin deras. Banjir menghanyutkan sampah ke lautan. Kali ini tak ada siapa-siapa. Ia salah duga. Tak ada lagi puisi. Dan tak ada yang tertatih memperjuangkan cinta buatnya. Rosa Larasati menyapukan pandangannya. Tak ada siapa-siapa. Ia pun pulang. Pulang melewati jalan yang dihantam hujan.
Dan di tempat lain yang sangat rahasia, seorang penyair menuliskan puisi cintanya pada layar android. Batuk-batuk. Ia tak hendak mengirimkan puisinya itu kepada siapa-siapa. Dan ia tak ingin seorang pun bertanya kenapa.
Tembokrejo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.