: TEMA SOSIAL
Tema-tema sosial dalam sastra sufistis bersangkutan dengan masalah-masalah kehidupan duniawi-kemasyarakatan yang kemudian dimuarakan, dipulangkan, dan atau dikembalikan pada semangat profetis, religius, dan transendental. Maksudnya, masalah-masalah sosial yang dijadikan tema sastra tasawuf dipulangkan ke prinsip-prinsip ajaran tasawuf, bahkan ajaran keagamaan yang profetis, religius, dan transendental. Masalah-masalah itu dalam sinaran cahaya ajaran tasawuf atau dalam sorotan sinar ajaran agama.
Segala masalah sosial-duniawi dalam kehidupan modern dewasa ini bisa dijadikan tema sosial dalam sastra tawasuf ini. Masalah kealpaan manusia kepada Tuhan, kehampaan makna hidup, ketidakadilan sosial, keserakahan, keingkaran, ketakcukupan, gaya hidup hedonistis-materialistis, kepalsuan dan pelanggaran moral dan etik, dan lain-lain bisa menjadi tema tasawuf yang sosial. Jadi, tema sosial tasawuf ini sangat luas.
Tema kealpaan manusia kepada Tuhan, misalnya, banyak digarap oleh Emha Ainun Najib dan juga Sutardji Calzoum Bachri. Dalam pelbagai kumpulan puisinya — terutama 99 untuk Tuhanku, Asma’ul Husna, Cahaya Maha Cahaya, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, dan Lautan Jilbab – Emha menggelar, malah menyindir kealpaan manusia modern akan Tuhannya. Demikian juga dalam sebagian puisi yang terhimpun dalam O, Amuk, dan Kapak dan lebih-lebih puisi tahun 1980-an, Sutardji banyak menguarkan problem kealpaan manusia modern kepada Tuhan.
Dalam balutan diksi dan larik-larik yang amat lugas, akrab, dan kuat, renungkan ihwal kealpaan dalam puisi Tuhan Sudah Sangat Populer karya Emha Ainun Nadjib berikut ini.
Satu
Tuhan sudah sangat populer
Nama-Nya dihapal luar kepala
Sehingga amat jarang ada
Orang yang sungguh-sungguh mengingat-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Seperti matahari tak pernah tak bercahaya
Sehingga hanya kadang-kadang saja
Orang menyadari ada dan peran-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Baik di kota maupun di desa
kalau terasa tak ada, orang menanyakan-Nya
Ketika jelas, ada orang melupakan-Nya
Meskipun menggunakan kata yang akrab dengan kita, namun dengan kepiwaian memilih kata dan menata kata dalam larik, betapa tegas kekuatan puisi Walau Sutardji CB di bawah ini dalam menggambarkan kealpaan manusia.
walau penyair besar
takkan sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai
pasir tamat
jiwa membubung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang-bilang
nyeri hati mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas Allah
Dengan gaya ironis, bahkan cenderung sarkastis atau ‘nyinyir’ disertai ketegasan diksi dan larik, tema puisi Emha tersebut jelas kealpaan manusia modern kepada Tuhannya karena sebab-sebab tertentu, padahal betapa jelas dan terang benderang Tuhan Yang Mahaesa. “Ketika jelas, orang melupakan-Nya”, ujar Emha. Dengan gaya yang berbeda, tidak ironis dan sarkastis, tetapi penuh kekuatan diksi dan bahasa bertenaga-bernas, tema puisi Sutardji di atas jelas problem keterasingan atau ke-pangling-an manusia modern dari Tuhan sekalipun sudah berusaha mendekatkan diri: larik walau huruf habislah sudah, tapi alifbataku belum sebatas allah tampak menggambarkan kenanaran manusia kepada Tuhan.
Di samping itu, tema kehampaan-kekosongan makna hidup akibat dehumanisasi dan demoralisasi juga banyak diangkat oleh penulis. Renungkan pula kutipan syair drama Arifin C. Noor berjudul Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I berikut.
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Awan membentuk barisan
Angin memenuhi ruangan
Hujan memerintah lautan
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Gunung bergerak perlahan
Hutan meranggas kerontang
Sungai mampat di hulu dan muara
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Syair di atas secara tersirat mengatakan betapa manusia modern lebih banyak mendengarkan suara mereka sendiri, yang egois dan narsis; lebih banyak berbicara dengan diri sendiri dan bagi diri sendiri; dan bertindak atas pertimbangan aturan yang diciptakannya sendiri. Akibatnya, manusia modern bukan hanya asing, bahkan melupakan Tuhan kendati nama Tuhan selalu diseru dan diucapkan. Tak ayal, manusia diterungku dehumanisasi dan demoralisasi.
Selain itu, syair di atas juga merupakan jawaban yang diberikan oleh Arifin C Noor untuk mengatasi masalah kealpaan manusia kepada Tuhan yang dibalut dehumanisasi dan demoralisasi kehidupan modern sekarang. Kutipan di atas menyarankan agar manusia berhenti bicara sendiri atau nerocos melulu dan mendengarkan diri sendiri pada satu pihak dan pada pihak lain manusia hanya mendengarkan bicara Tuhan atau firman Tuhan: /Biarkan Tuhan bicara/ Dengarkan Tuhan bicara/. Ini semua dikemukakan secara repetitif, ekstensif, dan intens dalam naskah drama Dalam Bayangan Tuhan. Hal ini membawa kesan kekhusukan dan pencerahan batin karena meminta kepada manusia untuk menyimak dan mengikuti firman-firman Tuhan atau ajaran-ajaran Tuhan; bukan omongan manusia belaka!
Ketidakadilan sosial dan pelanggaran moral yang disertai dengan keserakahan, hedonisme, akal bulus, kecongkakan politik, dan sejenisnya yang diteropong dengan spiritualitas atau transendentalitas digarap secara ekstensif dan dituangkan secara gamblang oleh Danarto dalam kumpulan cerpen Berhala, Gergasi, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril. Cerpen Dinding Anak, Dinding Ibu, Rembulan di Dasar Kolam, Kolam Merah, Kursi Goyang, Sembako, Buku Putih Seorang Preman, Jakarta 2020 atawa Holobot, dan Monumen Reformasi, misalnya, mengekspresikan dan mendedah persoalan-persoalan sosial politik kontemporer di atas.
Sebagai contoh, dalam cerpen Rembulan di Dasar Kolam dengan amat subtil diceritakan seorang laki-laki kaya raya yang korup dan suka menyeleweng, tapi istri dan anaknya sangat tulus dan berpenglihatan tajam. Dalam Dinding Ibu digambarkan seorang ayah yang kaya raya yang memiliki ratusan perusahaan. Dia memiliki empat anak. Ketika sakit, dia merasa didatangi oleh malaikat penjemput nyawa. Dia mencoba melindungi dan menyembunyikan anaknya. Dalam Sembako Danarto bercerita tentang krisis multidimensional menjelang kejatuhan Soeharto yang serakah, penuh kepalsuan, serakah, dan korup. Adapun dalam Kursi Goyang digambarkan kecongkakan dan keangkuhan politik atau kekuasaan yang berakhir dengan tumbangnya sang penguasa setelah kerusuhan massa terjadi di mana-mana.
Gaya hidup hedonis-materialistis yang dibungkus oleh keserakahan dan kepalsuan tersamar digarap oleh banyak sastrawan sufistik atau sastrawan sufi. Salah satunya ialah Kuntowijoyo. Novelnya Kotbah di Atas Bukit merepresentasikan tokoh Barman yang hidup sangat hedonis-materialistis, punya banyak harta dan perempuan muda sebagai istri muda. Akan tetapi, kehidupan seperti itu tidak membuatnya bahagia dan tenteram. Sampai kemudian Barman menemukan seorang tokoh spiritual bernama Humam.
Berkat ajaran-ajaran Humam itulah kemudian Barman mencampakkan gaya hidup hedonis-materialistis, seluruh harta dan juga istri muda nan molek bernama Poppy. Dia mengikuti ajaran-ajaran tasawuf, yaitu hidup zuhud atau asketis, meninggalkan segala kelimpahan dan kenikmatan duniawi. Pada akhirnya, Barman mati dalam puncak kedamaian dan keselarasan:/”Tidak ada lagi kebahagiaan”/”Tidak ada lagi kesedihan”/Dan yang ada adalah hidup kita!”/Yang sempurna!”/Yang kosong …”/Tidak ada lagi yang bertentangan”/. Ini semua menunjukkan, novel Kotbah di Atas Bukit mengamanatkan bahwa kemabukan harta benda keduniaan hanya menjadikan manusia terhalang jalannya menuju kesempurnaan spiritual.
Uraian di atas memperlihatkan betapa luas dan kayanya tema-tema sosial-duniawi yang terdapat dalam atau dapat digarap oleh sastra tasawuf sekaligus sastrawan pengamal tasawuf. Masalah-masalah sosial manusia modern dapat diangkat menjadi tema sastra tasawuf atau sufistik. Tema ini niscaya tidak akan ada habisnya. Soalnya, masalah-masalah sosial selalu dihadapi oleh manusia, apalagi masalah sosial dalam dunia modern yang dihadapi oleh manusia modern. Jika sastra tasawuf menguarkan berbagai tema masalah sosial, maka tampilkah keberagaman atau kemajemukan tema sosial dalam sastra bernafas tasawuf.
Sebelumnya: https://sastra-indonesia.com/2020/05/wajah-tasawuf-dalam-sastra-3/
_______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “WAJAH TASAWUF DALAM SASTRA (4)”