KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (3)

Djoko Saryono *

/1/
Sebagai estetika kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan, estetika Jawa kurang atau malah tidak mengedepankan jarak estetis. Yang diutamakan dalam keindahan dan keelokan menurut rasa manusia Jawa bukanlah tegangan estetis, melainkan keleburan atau keluluhan yang menimbulkan kenikmatan tanpa pamrih. Dari sini jelaslah bahwa keluluhan atau keleburan menjadi dasar estetika Jawa.

Implikasinya, keadaan luluh atau lebur dalam puncak kenikmatan keindahan dan keelokan (jumbuhing rasa lan kang dirasakake atau manunggaling suraos lan wangun) menjadi teras estetika Jawa. Keadaan luluh atau lebur ini terekspresikan dan terartikulasikan dalam pelbagai konsep, antara lain adalah konsep endah, elok, apik, edi, peni, edipeni, sengsem, resik, alus, luhur, bening, laras, trenyuh, enak/seketja, lango, kalangon, lengeng, dan lengleng.

Pada dasarnya, konsep-konsep tersebut menyiratkan makna keadaan luluh atau lebur dalam nikmat keindahan dan keelokan yang sangat memesonakan diri (endah, apik, resik, bening, sengsem, laras, lango, dan lain-lain) dan menghanyutkan diri (raos prana, kalangon, lengeng, lengleng, dan lain-lain). Hal ini berarti, keadaan luluh dan luber tersebut merupakan keterpesonaan dan keterhanyutan atau keadaan terpesona dan terhanyut secara tidak tepermanai dan tanpa pamrih oleh seni Jawa dicirikan oleh adanya stilisasi dan idealisasi serta simetri yang demikian kuat-tegas.

Stilisasi dan idealisasi serta simetri ini malah dianggap Lombard dan Quinn merupakan asas estetika Jawa yang membangkitkan keterpesonaan dan keterhanyutan. Karena itu, dapat dikatakan di sini bahwa koordinat normatif estetika Jawa adalah nilai keterpesonaan dan nilai keterhanyutan yang tidak tepermanai dan tanpa pamrih yang disebabkan oleh adanya stilisasi dan idealisasi sesuatu yang disebut seni (baca: seni Jawa).

/2/
Nilai keterpesonaan manusia Jawa dberkenaan dengan ketertarikan, keterpikatan, keterpanaan, kerawanan, ke(berasa)sedapan dan atau ke(berasa)senangan rasa, batin, atau sanubari manusia Ja­wa yang tidak teper­manai pada waktu berhubungan dan berte­mu dengan objek este­tis yang dalam hal ini berupa sastra. Dengan begitu dia merasa menyatu dengan objek estetis itu; mencapai persatuan dengan ob­jek estetis (jum­buhing rasa lan kang dirasakake, ma­nunggaling suraos lan wa­ngun). Di dalam keadaan terpesona oleh objek estetis ini, rasa, batin, atau sanubari manusia Jawa terasa tertawan oleh objek estetis sehingga keterpe­sonaan selalu terle­kati kualitas ketertawanan.

Dalam bahasa Jawa, nilai keterpesonaan itu terartikulasi antara lain dalam isti­lah-istilah umum en­dah, elok, apik, resik, edi peni, lango, dan alango. Semua istilah ini bermedan semantis keterpesonaan. Secara deno­tatif-umum, istilah endah ber­arti indah yang menyedap­kan-menyenang­kan rasa hati atau batin; elok ber­arti bagus yang menyedapkan-merawan­kan rasa hati se­hingga membuat hati terpukau dan terpana; apik berarti rapi dan teratur yang tampak bagus-menawan menurut rasa hati; resik ber­arti bersih yang menye­nang­kan dan memikat hati; edi peni berarti anggun-luhur yang luar biasa indah sehingga memana­kan dan merawankan rasa hati; lango berarti indah yang menjelma ke da­lam bentuk yang memikat-menyenang­kan hati; dan alango berarti indah yang sangat memesonakan hati.

/3/
Nilai keterpesonaan manusia Jawa dapat meninggi atau memuncak ke arah yang le­bih sublim, kontemplatif, spiritual, dan atau transenden sehing­ga membuat orang atau penikmat seni terhanyut. Dalam momen atau tahap pencapaian este­tis inilah hadir atau mengada nilai keterhanyutan ma­nusia Jawa. Kare­na itu, nilai ke­terhanyutan manusia Jawa berkenaan dengan kemeng­aliran, keter­ikutan, keterbawaan, kelaratan, dan atau keterangkatan rasa, batin, atau sanubari manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan ob­jek estetis. Dalam keadaan demikian rasa manusia tersebut terangkat, terbenam, lebur atau luluh ke dalam situasi dan keada­an penuh keindahan dan ke­elokan yang sublim, kontemplatif, spiritual, atau transen­den.

Hal tersebut menunjukkan bahwa rasa manusia Jawa yang mam­pu meng­alir, ikut, terbawa, larat, dan atau terangkat pada waktu ber­jumpa atau bersatu de­ngan objek estetis sehingga lebur atau luluh dengan kein­dahan dan keelok­an yang sublim, kontemplatif, spiritual, dan atau transenden dapat dise­but rasa ma­nusia Jawa yang terhanyut atau berada dalam keterhanyutan. Seba­gai contoh, jika ada orang Ja­wa menikmati wa­yang kulit, kakawin, gancaran atau maca­pat sampai meng­alami atau menca­pai taraf sublimasi, kontempla­si, spiritualisa­si, dan atau tran­sen­densi estetis, maka orang itu dapat disebut mengalami keter­hanyutan atau berada dalam keterhanyut­an yang sublim, kontemplatif, spiritual, dan atau transenden.

Dalam bahasa Jawa, nilai keter­hanyutan tersebut terartikulasi atau ter­eksternalisasi antara lain dalam isti­lah lengeng, lengleng, kalangon, kalang­wan, jalal/jalil, jamal, kamal, kamil, enges atau nges, nglangut, nglangen,dan pra­na. Dapat dikata­kan, istilah-istilah ini merupakan ikon sentral dan lokus ni­lai keterhanyut­an ma­nusia Jawa karena semuanya mengandung substansi keterhanyutan. Istilah le­ngeng, leng­leng, kalangon, dan kalangwan – yang me­rupakan sumbangan sekaligus warisan sangat ber­harga este­tika India bagi estetika Jawa – secara umum berarti terserap hingga terbenam, tengge­lam, dan tercebur ke dalam kein­dahan dan keelok­an yang sublim, spiritual, dan transen­den.

Perwujudan lengeng, lengleng, kalangon, dan kalangwan dapat ditemukan dalam tradisi sastra ka­kawin, sebuah genre sastra Jawa Kuno yang banyak menimba bahan dari tradisi estetika India. Kakawin Ra­maya­na, Arjunawi­waha karya mpu Kanwa, Hariwangsa, Bha­rata­yudha, dan Gatotkacasraya kar­ya mpu Sedah dan Panuluh, Smaradaha­na karya mpu Dharmaja, Suma­nasan­taka karya mpu Monaguna, dan Lub­dhaka karya mpu Tanakung, mi­salnya, me­rupakan penjelmaan alango, lengeng, lengleng, dan kala­ngon.

Selain itu, konsep ja­lal/jalil, jamal, kamal, dan kamil – yang dari namanya jelas me­rupakan sumbangan sekaligus warisan sangat berharga Islam khusus­nya estetika Islam atau estetika sastra sufi/sufistis bagi este­tika Jawa – secara umum berarti keagung­an, keindah­an, kesem­purnaa­n, dan betapa sempurnanya ke­manung­galan keagungan de­ngan keindahan yang ti­dak ter­peri dan teper­mania. Perwujudan jalal/jalil, jamal, ka­mal, dan kamil ini dapat ditemukan dalam tradisi sastra sufistis Jawa baik yang ber­kembang di pesan­tren-pesantren maupun berkem­bang di keraton-keraton Jawa. Berbagai suluk dan syi’ir, misal­nya Suluk Seh­tekawardi, Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Kidung Bonang, Suluk Besi (Habsy), Suluk Selobrangti, Suluk Paesan Wajib, dan Serat Wirid Hida­yat Jati, merupakan penjelmaan nilai estetis yang berlokus atau berporos pada jalal/jalil, jamal, kamal, dan kamil.

Selanjutnya, kon­sep enges atau nges, nglangut, ngla­ngen, dan prana – yang boleh disebut local genius budaya Jawa – secara umum berarti keharuan yang mengalirkan dan atau membawa manusia Ja­wa ke dalam situasi dan keadaan yang tidak tepermanai dan terpe­ri, yang subli­matif, dan yang bebas dari kepentingan instrumental. Perwujudan enges/­nges, nglangut, nglangen, dan prana ini dapat ditemukan an­tara lain dalam tradisi wayang kulit dan sastra Jawa modern. Dalam wayang kulit, misalnya, pertunju­kan dan dalang yang dianggap bagus-baik adalah pertun­jukan dan dalang yang mampu membangkitkan enges/nges, nglangut, dan atau prana, bisa menimbul­kan keharuan yang sedemikian sublimatif, spiri­tual, bahkan transendental kepada penonton. Kajian Djoko Damono juga menunjukkan bahwa novel-novel Jawa modern tetap menampilkan enges/nges dan prana sebagai satuan nilai estetis yang penting. Bobot estetis novel-novel Jawa modern, menurut Djoko Damono, tetap bertolak dari enges/nges dan prana.
***

Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-2/

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (3)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *