Djoko Saryono *
/1/
Saya ingin mengeksplorasi lebih jauh perihal keterpesonaan sebagai koordinat nilai normatif estetika Jawa yang notabene merupakan estetika keselarasan-keseimbangan. Nilai keterpesonaan manusia Jawa di sini berkenaan ketertarikan, keterpikatan, dan bahkan keterpanaan rasa manusia Jawa tatkala berhubungan dan bertemu dengan sesuatu yang distilisasi dan diidealisasi yang disebut kesenian Jawa sehingga dirinya mengalami keadaan luluh atau lebur ke dalam keindahan dan keelokan.
Manusia Jawa yang dalam keadaan tertarik, terpikat, dan terpana oleh sesuatu yang sudah distilisasi dan diidealisasi (baca: seni Jawa) sehingga berada di puncak kenikmatan dapat disebut berada dalam keadaan terpesona. Di sini berarti, keadaan terpesona berkenaan dengan rasa kenikmatan yang tidak tepermanai, yang terbebas dari kepentingan instrumental, dan yang subtil-sublim.
Dalam budaya Jawa, keadaan terpesona ini teraktualisasi dan terartikulasi antara lain dalam konsep endah, elok, apik, resik, edi, peni, lango, dan alango. Endah berarti indah yang memikat; elok berarti bagus yang memikat; edipeni berarti anggun yang memak- nakan; lango berarti indah yang menjelma; dan alango berarti indah yang sangat memesonakan.
Keadaan endah, elok, apik, resik, edi, peni, lango, dan alango tersebut dapat terwujud atau tercipta bilamana terdapat kesesuaian dan keselarasan antara seniman, penikmat seni, dan karya seni dengan norma-norma estetik Jawa atau kaidah-kaidah estetik Jawa. Dengan kata lain, keterpesonaan manusia Jawa akan keindahan dan keelokan berlangsung ketika tercipta keserasian dan keselarasan seniman dengan norma-norma estetik Jawa, karya seni Jawa dengan norma-norma estetik Jawa, dan penikmat seni Jawa dengan norma-norma estetik Jawa.
Dalam budaya Jawa, keserasian dan keselarasan yang melahirkan ketertiban, keteraturan, dan kemapanan akan menimbulkan kenikmatan rasa manusia Jawa yang memesonakan. Di sinilah manusia Jawa berada dalam keterpesonaan. Penyimpangan, pemberontakan dan pembaruan (terutama secara radikal dan mengejutkan) yang melahirkan keberbedaan individual yang dilakukan oleh seniman, yang terdapat dalam karya seni, dan yang terdapat dalam horison harapan penikmat seni tidak akan membangkitkan keterpesonaan, tetapi justru kerusakan karena mengganggu keterpesonaan manusia Jawa.
Keterpesonaan manusia Jawa tersebut timbul dan bangkit bilamana manusia Jawa berhubungan dan bertemu dengan hal-hal yang menakjubkan, menegangkan, merang- sang, dan lucu dari kesenian Jawa. Perlu ditambahkan di sini bahwa hal-hal yang menakjubkan, menegangkan, merangsang, dan lucu tersebut tentu saja masih dalam kerangka keserasian dan keselarasan dengan norma-norma estetik Jawa.
Dalam budaya Jawa, hal-hal yang menakjubkan itu terartikulasi antara lain dalam konsep ngeh, gayeng, gumun regu, dan elok (tenanan). Hal-hal yang menegangkan terartikulasikan antara lain dalam konsep greget, wah, dan eram. Hal-hal yang merangsang atau menggairahkan terartikulasi antara lain dalam konsep sem, gemes, wijang, dan renggep. Selanjutnya, hal-hal yang lucu terartikulasikan antara lain dalam konsep lucu, cucut, dan banyol.
Jika manusia Jawa (pekerja seni dan penikmat seni) sampai/mampu menemui dan mengalami ngeh, gayeng, gumun, regu, greget, sem, gemes, lucu, cucut, dan banyol, maka dapat dikatakan dia terpesona atau mengalami keterpesonaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa nilai keterpesonaan manusia Jawa tereksternalisasi atau terjabar ke dalam nilai ketakjuban, nilai ketegangan, nilai ke(me)rangsangan atau kegairahan, dan nilai kelucuan.
/2/
Ketakjuban Jawa berkenaan dengan kekaguman, keheranan, kesuntukan, keterpukauan, dan keterpanaan manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa. Dalam budaya Jawa, hal itu terartikulasi dan tereksternalisasi dalam konsep ngeh, gayeng, edi, peni, resik, bening, gumun, regu, dan elok. Dalam tradisi kakawin konsep ketakjuban terartikulasi dalam adbhuta.
Konsep-konsep tersebut memancarkan makna perjumpaan dan atau persatuan “subjek” dan “objek” yang membangkitkan kekaguman, keheranan, kesuntukan, keterpukauan, dan keterpanaan. Ngeh pada umumnya diartikan sebagai memasuki kekaguman dan keheranan yang tidak terperi dan tidak tepermanai akibat berjumpa dan atau bersatu dengan lukisan, sastra, dan kesenian lain. Gayeng lazim diartikan mengalami kesuntukan dan keterpanaan yang tidak terperi dan tidak tepermanai akibat berjumpa dan bersatu dengan objek estetis kesenian Jawa. Edi biasa diartikan indah luar biasa. Peni biasa diartikan indah yang berharga. Resik biasa diartikan bersih yang memukau. Bening biasa diartikan jernih yang memikat hati. Kemudian gumun lazim diartikan mengalami keheranan yang tidak terkatakan dan tidak terlukiskan akibat bertemu dengan objek estetis. Selanjutnya, regu diartikan keterpukauan oleh kesesuaian rasa dan waktu. Adapun elok lazim diartikan sebagai mengalami keterpu- kauan dan keterpanaan batiniah yang tidak terperi dan tidak tepermanai akibat bersatu dengan objek estetis kesenian Jawa.
Perlu ditambahkan di sini, bahwa ngeh, gayeng, gumun, regu, dan elok tersebut bisa bangkit pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis yang bisa material (misalnya rupa, wadah, gerak), material-imaterial (misalnya, bahasa), dan imaterial (misalnya, isi atau makna). Dalam tari Jawa, misalnya, objek estetis itu — yang sekaligus mencerminkan nilai estetis — bisa berupa irama gerak dan makna gerak (wirama, wirasa, wiraga). Dalam seni pertunjukan Jawa, misalnya wayang kulit, objek estetis itu bisa berupa isi cerita (misal- nya, renggep), bentuk cerita (misalnya, gending, suluk), dan penampilan cerita (misalnya, sanggit, sabetan). Dalam macapat Jawa, sebagai contoh lain, objek estetis — yang sekaligus mencer- minkan nilai dan norma estetis — bisa berupa bahasa (sasmitaning tembang, sandiasma, cangdrasengkala), bentuk (titilaras, guru gatra, guru wilangan, guru lagu), dan isi (titi, tutur, wulang).
/3/
Di samping nilai ketakjuban di atas, nilai keterpesonaan Jawa juga terartikulasi ke dalam nilai ketegangan. Nilai ketegangan manusia Jawa di sini berkenaan dengan ke(ter)cekaman, “kengerian”, dan ke-rasa-tak-sabar-an batiniah manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa.
Orang Jawa yang merasakan nikmatnya tercekam, ngeri, dan rasa tak sabar pada waktu berjumpa dengan (pertunjukan) wayang kulit, misalnya, dapat dikatakan sedang mengalami ketegangan. Dalam budaya Jawa, ketegangan estetis ini terartikulasikan dan tereksternalisasi terutama dalam konsep greget atau dalam tradisi kakawin Jawa Kuno terartikulasikan dalam konsep bibhatsa, krodha, dan bhayanaka.
Dalam wayang kulit Jawa, misalnya, konsep greget adalah, jika sedang “keras” harus bersungguh-sungguh; maksudnya, apabila dalang sedang memainkan adegan yang tegang (misalnya marah), penonton harus benar-benar menjadi tegang. Tegang di sini diartikan bisa membangkitkan rasa tidak sabar menunggu apa yang terjadi berikutnya. Menurut Brandon, tegang diartikan kemampuan dalang untuk membuat penonton tercekam dalam menantikan akhir cerita (lakon).
Dalam novel-novel Jawa modern (akhir Abad XIX sampai dengan sekarang), keberadaan greget sebagai satuan nilai estetis tetap penting. Berdasarkan berbagai kajian diketahui bahwa greget dalam novel-novel Jawa modern dicapai dengan perkelahian dan cakapan kejengkelan-kemarahan-ejekan. Oleh sebab itu, konsep greget ini sangat penting sebagai satuan estetis dalam estetika Jawa. Menurut pandangan Jawa, kesenian yang tidak membangkitkan atau menimbulkan ketegangan batiniah, greget, kurang indah dan elok sehingga dapat dinyatakan di sini bahwa greget merupakan nilai yang perlu ada (conditio sine quanon) dalam setiap jenis kesenian Jawa.
/4/
Nilai ketakjuban dan ketegangan, ngeh dan greget, tersebut “didampingi oleh nilai ke(me)rangsangan atau kegairahan. Nilai ke(me)rangsangan atau kegairahan Jawa di sini berkenaan dengan kegemasan, kebernafsuan, kebirahian, keerotisan, dan keberasacintaan manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa. Di sini berarti, manusia Jawa yang bangkit nafsu, birahi, erotika, dan atau rasa cintanya pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan jenis tertentu kesenian Jawa dapat disebut mengalami ke(me)rangsangan, yang selanjutnya juga berarti mengalami keterpesonaan.
Ke(me)rangsangan ini sudah dianggap sebagai satuan nilai estetis yang tidak dapat dipisahkan dari kesenian Jawa. Dalam budaya Jawa sekarang, ke(me)rangsangan ini terartikulasi dan tereksternalisasi terutama dalam konsep sem dan gemes; dalam tradisi kakawin Jawa Kuno, yang dipengaruhi oleh tradisi estetik India, ke(me)rangsangan terartikulasi dalam konsep srngara dan rati. Sem dalam wayang kulit biasa diartikan sebagai kekuatan susunan kata-kata atau tindak-tanduk yang mampu memikat penonton dalam hubungannya dengan adegan (bernuansa) percintaan. Gemes dalam wayang kulit biasa diartikan kekuatan rasa sayang- kasih-cinta yang bercampur dengan rasa sebal-jengkel-geregetan. Baik sem maupun gemes tetap menjadi satuan nilai estetis dalam sastra Jawa modern khususnya novel Jawa modern. Sementara itu, srngara biasa diartikan rasa birahi atau asmara yang cerah, cantik, dan murni dalam jiwa, yang selanjutnya berpuncak pada rati, yaitu keadaan jiwa kekal bernama kasih.
Hal ini menunjukkan bahwa ke(me)rangsangan, sem dan gemes atau srngara dan rati, merupakan satuan NTJ yang penting dalam kesenian Jawa. Oleh karena itu, aspek-aspek kesenian Jawa (gerak, bahasa, isi, dan sebagainya) dituntut untuk “mengandung” satuan sem dan atau gemes agar dapat disebut indah dan elok menurut estetik Jawa.
/5/
Selanjutnya, nilai keterpesonaan manusia Jawa juga terartikulasi dan tereksternalisasi dalam nilai kelucuan. Nilai kelucuan Jawa di sini berkenaan dengan kejenakaan, kehumoran, kegelihatian, ketertawaan, dan ketersenyuman manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa.
Dalam budaya Jawa, kelucuan ini terartikulasi dan tereksternalisasi terutama dalam konsep lucu, banyol, dan cucut. Dalam tradisi Jawa Kuno, dalam hal ini tradisi kakawin, kelucuan ini terartikulasi dan tereksternalisasi dalam konsep hasa dan hasya. Lucu biasa diartikan keadaan jenaka atau humor. Dalam wayang kulit — juga dalam novel-novel Jawa modern — banyol biasa diartikan keadaan geli hati dan tertawa yang sesuai dengan tempat dan waktu (empan papan). Demikian juga cucut biasa diartikan daya yang membuat orang tertawa atau tersenyum. Selanjutnya, hasa diartikan keadaan penuh humor dan hasya lazim diartikan keadaan jiwa kekal yang menimbulkan keadaan komik atau tertawa.
Setiap seniman Jawa dituntut untuk menguasai lucu, banyol, cucut dan atau hasya supaya karya ciptanya dianggap memesona, yang sekaligus berarti indah dan elok. Begitu pula suatu karya seni Jawa dituntut untuk mengandung atau membangkitkan rasa lucu, banyol, cucut, hasa dan atau hasya agar dapat disebut karya seni yang memesona, yang sekaligus berarti indah dan elok. Perlu ditambahkan di sini bahwa lucu (lelucon), banyol (banyolan, lawakan), cucut dan atau hasya harus sesuai tempat dan keadaan (empan papan) sehingga tidak mengganggu dimensi etis, filosofis, dan religius budaya Jawa. Dengan kata lain, semua itu harus diletakkan dalam keserasian dan keselarasan agar menunjang atau mendukung dimensi etis, filosofis, dan religius dalam budaya Jawa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai lucu, banyol, cucut, dan atau hasya merupakan satuan nilai keterpesonaan (nilai estetis) yang keberadaannya relatif penting, tetapi keberadaannya itu harus tetap diserasikan dan diselaraskan dengan aspek-aspek budaya Jawa lainnya.
***
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/keindahan-keelokan-jawa-dalam-sastra-3/
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “KEINDAHAN-KEELOKAN JAWA DALAM SASTRA (4)”