Muhidin M. Dahlan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!


Fatah Anshori *

“Kalian sedang melempari batu—kalian yang ingin membunuh wanita ini—kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satu pun di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya? Kalau ada, biarkan dia melemparkan batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini.”

Sebelum membaca isi buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Kita akan membaca cuplikan cerita, atau semacam sepenggal tragedi yang dikutip dari Anand Krishna, Surat Al-Fatihah bagi Orang Modern. Entah kenapa sepenggal cerita itu terasa sangat kuat dan selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Itu adalah sebuah kisah di mana seorang pelacur hendak dibunuh, dengan dilempari batu oleh pemuka agama, tokoh masyarakat bahkan anak-anak kecil yang tidak mengerti apa itu “pelacur” atau “zina” juga ikut melempari perempuan itu dengan batu. Lalu datanglah lelaki itu, yang kata orang adalah Nabi Isa. Ia lantas berujar pada orang-orang yang hendak membunuh perempuan malang itu sebagaimana paragraf pertama dalam tulisan ini.

Sebenarnya ini adalah buku memoar, sebuah buku yang ditulis berdasarkan kisah nyata seseorang. Sebelumnya saya juga pernah membaca buku The Seven Good Years, Etgar Keret. Juga semacam buku memoar. Namun perbedaannya, buku Etgar Keret itu ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami penulisnya sendiri sementara, buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! ditulis bukan berdasarkan kisah nyata Muhidin M. Dahlan, namun berdasarkan kisah seorang perempuan bernama Nidah Kirani yang dalam buku tersebut berperan sebagai tokoh utama sekaligus narator. Sehingga, ketika memperdebatkan apakah seluruh isi ini benar-benar nyata dari si perempuan atau ditambah-tambahi dengan argumen penulis kita tidak tahu.

Memang membaca buku ini kurang lebih seperti membaca novel, ceritanya mengalir dari mulut Nidah Kirani, atau yang dalam cerita kerap dipanggil Kiran. Kiran mulanya adalah perempuan yang taat pada syariat agama Islam. Ia rajin beribadah, mengikuti diskusi-diskusi tentang Islam, juga mengikuti organisasi-organisasi bernafaskan Islam. Ia merasa seperti itulah hidup yang sempurna. Dan aktivitas lain adalah kesia-siaan. Ketika ia sudah merasa pemahamannya tentang Islam sudah mencapai puncak, ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan suatu kelompok yang mengatakan dirinya adalah kelompok Islam Kaffah. Dan ketika sudah resmi menjadi anggota kelompok tersebut, yang bahkan bercita-cita menegakkan negara Islam. Saat menjadi anggota kelompok itu, Kiran melakukan apapun, menginfaqkan seluruh harta yang ia punyai, juga berjihad sambil mengajak beberapa orang untuk ikut dengannya. Namun setelah lama berada dalam kelompok itu dan merasa apa yang anggota kelompok itu ucap-ucapkan tidak sama dengan perbuatannya, Kiran merasa kecewa. Dan memutuskan untuk melarikan diri sekaligus keluar dari anggota itu.

Saat itulah kehidupan Kiran berbalik 180 derajat, Kiran merasa kecewa, terasing, bahkan tidak memiliki harga diri. Ia merasa menjadi makhluk paling rendah. Dan mulai dari sinilah, konfliknya dengan tuhan dimulai. Ia memiliki pemahaman beragama yang berbeda dari kebanyakan orang. Seakan-akan ia ingin menjadi antitesis dari pemahaman beragama secara umum. Ia ingin melanggar seluruh aturan beragama yang telah ditetapkan dalam agama tersebut, yang tentu saja aturan-aturan yang telah termaktub dalam sebuah kitab yang mana kita tahu, sebuah kitab dalam agama Kiran, diyakini dibuat oleh Tuhan itu sendiri. Yang isinya diharapkan menjadi pelajaran, pedoman atau panduan hidup seluruh umatnya. Sementara yang dilakukan Kiran sebagai umat dalam agama tersebut adalah sebaliknya. Ia ingin menentang ketentuan Tuhan, ia ingin melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama tersebut sebagai sebuah pencarian. Entah kenapa Kiran dalam tokoh buku ini, mengingatkan saya pada kisah Nabi Ibrahim, yang berusaha mencari tuhan dengan menyembah matahari, bulan, bintang. Sebelum akhirnya bertaubat dan menemukan Tuhan yang ia percaya dan yakini sebagai tuhan yang selama ini ia cari-cari. Begitu juga dengan Kiran, ia memutuskan untuk menyelami jurang kegelapan, memutuskan untuk melewati jalan yang berbeda sebagai tujuan hidupnya. Sebagaiamana dalam pengantar dikatakan oleh Muhidin, “Kita boleh sama membaca Quran dan Sunnah, tapi gambaran di dalam kepala kita bisa jadi berwarna banyak.”

Menurut saya secara garis besar buku ini berbicara banyak tentang ketuhanan, pemahaman dan konsep beragama, juga disinggung peran laki-laki dan perempuan dalam beragama, asal muasal kerusakan dunia, juga eksistensi kita sebagai manusia. Dan terakhir sebagai buku memoar yang kurang lebih hampir mirip dengan novel saya belum bisa menyamakan buku ini dengan Perawan Cantik yang Terlelap-nya Yasunari Kawabata, Norwegian Wood-nya Haruki Murakami, atau Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan dalam urusan erotisme di sebuah buku.
***

*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *